Saya punya anjing, namanya si Jepol. Si Jepol ini lucu dan menggemaskan. Pintar dan ahli kalau soal menyenangkan hati. Lenggak lenggok ekornya kian kemari dibarengi juluran lidahnya yang panjang, menjadikan ia tampak lucu. Apalagi posturnya yang gempal dengan bulu halus warna kelabu.
Tapi sayang Jepol suka sekali kencing sembarangan. Padahal menurut para tetangga yang sudah berpengalaman memelihara anjing, kalau dia suka kencing sembarangan, sediakan saja suatu tempat di mana dia paling biasa kencing, lalu pindahkan ke tempat lain maka dia akan kencing terus di situ. Tetapi setelah semua itu aku lakukan, tetap saja dia kencing sembarangan. Dasar anjing….
Tetapi yang namanya niat memelihara anjing, walaupun kencing sembarangan, ya harus tetap memelihara. Sayang juga kalau dibuang apalagi dijadikan RW. Kasihan, nanti dia mau tidur di mana.
Selain kencing sembarangan, meskipun sudah dikasih makan dengan baik, dirawat dan kencingnya dibersihkan tetap saja si Jepol suka menggonggong saya kalau baru saja pulang keluar rumah. Menggemaskan kan. Kadang kalau dia sudah seperti itu, ada juga niat untuk membuat dia lebih berguna, dijadikan RW. Tapi kembali lagi, itu kan anjing, jadi pantas kelakuannya seperti itu.
Yang namanya anjing tidak akan mengerti sebaik apa tuannya. Dia melakukan ini itu, yak arena dia memang melakukannya, bukan karena ia tahu dan mengerti bahwa tuannya menyayangi dia. Saya juga berkeyakinan demikian pada anjing-anjing baik di keluarga orang lain, kelihatan baik dan menyenangkan, karena ia memang sudah seperti itu.
Ternyata bukan hanya anjing
Kalau anjing berkelakuan seperti itu, masih bisa dimaklumi dan itu biasa, karena dia memang binatang, ya maunya suka-suka. Sudah menjadi kodrat binatang bebas melakukan apa yang dia mau tanpa terikat dengan nilai-nilai moral.
Berbeda dengan anjing, manusia punya hati, akal budi dan psikis, yang berguna untuk memanusiakan manusia. Karena ada hati, akal budi dan psikis, maka manusia memiliki nilai-nilai moral yang melekat dalam diri manusia.
Ada seseorang yang saya tahu, seorang terpandang, punya jabatan dan punya kekayaan, berpendidikan serta pernah menempati jabatan penting di negaranya, sedang melakukan apa saja yang dia mau yang banyak orang menilainya sebagai suatu yang di luar akal sehat. Dia bergeming terhadap masukan dan kritikan yang datang kepadanya. Kesalahannya seperti ini.
Misalnya yah. WC itu untuk buang air kan yah, atau untuk mandilah kalau di WC umum loket bus antar-kota antar-provinsi. Fungsinya memang untuk itu kan yah. Kalau pun orang menggunakannya untuk tempat mandi, pasti karena ada hal tertentu yang memaksanya demikian. Jadi masih di ambang batas kewajaran, atau masih bisa diterima akal sehat.
Coba kalau WC itu digunakan untuk tidur, apakah masih masuk akal? Apalagi kalau tidak ada hal yang mendesak. Ini bukan soal ‘hanya orang gila yang mau disuruh tidur di WC’, melainkan soal ke mana orang akan BAB dan BAK kalau ada orang tidur di situ. Lalu kalau di tanya, dijawab yang suruh, itu adalah keberpihakan kepada yang mau tidur.
What the ….. Lalu kalau dikritik, malah balik menuduh kita sirik dan cemburu. Masya Allah…. Ngapain coba, kita sirik ke seseorang yang menyuruh orang tidur di WC. Siapa pula yang cemburu pada orang yang tidur di WC, amit-amit dach….. Sudah seperti itu, masih saja membela diri sebagai yang menjunjung keberpihakan dan keberadilan.
Tak memedulikan apa-apa
Tidak berhenti sampai di situ bro… Ini nih yang paling parah. Anjing kan yah, kalau sudah berniat mau main-main, tidak peduli mau sesuatu itu masih baru atau tidak, dipakai atau tidak, baik atau tidak, tuan rumah marah atau tidak, asal gigit saja bawa ke sana ke mari sambil menggonggong kecil kegirangan. Pokoknya, kalau sudah senang, tidak peduli dengan apa pun dan dengan siapa pun. Yang penting main…
Yah ada juga manusia seperti itu loh. Ada di tetangga sebelah rumah tetangganya tetangganya tetangga temannya temanya saudaranya saudara teman saya, yang kalau sudah menginginkan, tidak ada yang bisa menghalangi. Katanya nih, tanah, yang sudah dijual ke tetangganya, yang sudah mengantongi sertifikatnya, menggugat kembali tanah itu. karena tanah itu selalu menghasilkan panen yang banyak, dia menginginkan tanah itu lagi. Lalu dia pergi ke pihak terkait untuk mencabut dan membatalkan sertifikat tanah itu, lalu mau saja mengembalikan uang pembelian tanah itu.
Tetapi pihak terkait menolak permintaan itu. Karena menurut pihak terkait, tanah itu sudah sah milik tetangganya secara hukum. Kalau mau menggugat harus melalui proses hukum. Itu pun kemungkinan besar akan kalah.
Siapa coba, yang mau mengembalikan dengan senang hati sesuatu, yang dibeli secara sah, jika diminta kembali. Apalagi mau dibayar sesuai dengan harga sebelumnya, ya jelas gak mau kan yah. Selain itu, katanya membatalkan sertifikat. Mana ada hukumnya seperti itu. Kecuali dia mau membeli kembali, yah harus membeli sesuai harga yang dipatok pemiliknya. Emang soal mau memiliki itu seperti anjing, yang penting ‘pokoknya’ ada di hadapan, tidak peduli apa pun, langsung hantam.
Tetapi itulah kalau manusia bermental titik-titik. Kadang masih mending anjing, dibentak berhenti. Kalau manusia bermental titik titik ini, dibentak semakin menjadi.
Tapi yang namanya sudah terlanjur memelihara anjing, seperti yang sudah saya sebutkan di atas, bagaimanapun kelakuannya sudah terima saja. Sebab kepada sesuatu yang tidak menghayati nilai-nilai moral, kita tidak bisa berbuat apa-apa, selain tak henti-hentinya mengingatkan. Hei anjing, kencinglah pada tempatnya.
Salam Indovoices