Sebulan terakhir ini kita dihadapkan dengan berbagai berita mengenai tindak kekerasan yang terjadi dimana-mana, ambil saja contoh penyerangan terhadap Pengasuh Pesantren Al-Hidayah Santiong, Kecamatan Cicalengka. Kabupaten Bandung, Jawa Barat, KH Umar Basri yang belakangan pelakunya tertangkap dan diduga gila.
Lalu beredar juga kabar mengenai penganiayaan seorang Ustadz di Bogor yang ternyata merupakan kabar Hoax, setelah diperiksa oleh pihak yang berwajib, ternyata merupakan penganiayaan terhadap petani duren oleh tetangganya. Kemudian muncul lagi berita mengenai pengusiran terhadap seorang biksu dari tempat tinggalnya di Legok Tangerang Selatan dan yang terakhir adalah penyerangan di Gereja Lidwina, Jogja yang dilakukan oleh pelaku bersenjata tajam pada hari minggu kemarin.
Bahkan sehari sebelumnya beredar video persekusi terhadap tunawisma yang dituduh komunis di Kampung Dayeuh, Kecamatan Cileungsi. Kejadian tersebut terjadi pada Sabtu, 10 Februari 2018 dini hari. Dan kenyataan yang terjadi merupakan settingan yang dibuat oleh 6 pelaku yang kemudian berhasil diamankan oleh pihak Polres Bogor.
Semua itu menimbulkan tanda tanya, ada apa sebenarnya?. Bila kita klasifikasikan berita berita tersebut, dapat digolongkan menjadi dua bagian, bagian pertama adalah tindakan-tindakan yang bernuansa Sara, yang kedua adalah komunis. Dua isu utama yang selalu digunakan lawan untuk menyerang Jokowi selain beberapa isu-isu lainnya seperti Pro Asing dan Aseng.
Aktor utamanya siapa lagi kalau bukan lawan-lawan politik pemerintah yang ingin menjatuhkan pemerintah saat ini?. Isu-isu demikian sebenarnya adalah isu basi yang terus menerus diungkit. Selain dengan tujuan untuk menimbulkan keresahan di masyarakat, menghilangkan kepercayaan masyarakat kepada pemerintah khususnya Jokowi serta memanaskan suasana memasuki tahun politik 2018 ini. Siapa yang paling diuntungkan atas berkembangnya isu-isu seperti ini?
Coba perhatikan, para penebar hoax yang berhasil dibongkar oleh pihak berwajib, dapat dikatakan kalau bukan anggota, ya simpatisan partai tertentu seperti PKS dan Gerindra. Ambil contoh saja fitnah dan tuduhan keji kepada Buya Safii mantan Ketua Umum Muhammadiyah yang mengunjungi Gereja Lidwina, ternyata dilakukan oleh Asyhadu Amrin (Satria Dirgantara). Yang merupakan kader partai PKS, dan salah satu pasukan Cyber Army PKS yang tergabung dalam organisasi Militan Keadilan. Serta kuat dugaan anggota Ormas radikal FPI.
Bulan Desember 2017 kemarin, bila pembaca masih ingat, seorang dokter wanita yang berumur 51 tahun, Siti Sundari Daranila alias Binarti alias Gusti Sikumbang yang menyebarkan berita hoax terhadap panglima TNI, ternyata merupakan simpatisan partai Gerindra, dua contoh tersebut hanya sebagian kecil dari sekian banyak kasus yang terungkap yang ujung-ujungnya dilakukan oleh kader atau simpatisan kedua partai tersebut.
Bahkan Syaiful Mujani Research and Consulting (SMRC) memaparkan hasil survei nasional mengenai Isu Kebangkitan PKI pada Jumat, 29 September 2017 yang lalu, mengatakan opini kebangkitan PKI di masyarakat tidak terjadi secara alamiah, melainkan hasil mobilisasi opini terkuat politik. Hal ini dibuktikan dengan hasil survey terhadap responden yang setuju dengan adanya isu PKI dari 2 kelompok partai yang mendominasi yakni PKS 37 persen, Gerindra 20 persen.
Menurut SMRC lagi, bila keyakinan adanya kebangkitan PKI itu alamiah maka keyakinan itu akan ditemukan secara proporsional di pendukung Prabowo dan Jokowi, baik di PKS, Gerindra, dan partai lain, namun kenyataannya tidak.
Hal ini menandakan ada kekuatan dibelakang tindakan yang terstruktur, massif dan sistematis untuk menanamkan opini PKI dalam benak pendukungnya. Tujuannya apalagi kalau bukan untuk menimbulkan militansi kepada para pendukungnya serta menciptakan kebencian kepada pemerintah yang dicap pro PKI.
Yang satunya mengaku sebagai partai nasionalis, satunya lagi menjuluki dirinya partai dakwah, tapi cara-cara yang dipergunakan kader atau simpatisannya teramat kotor. Untuk memperoleh kemenangan, mereka tidak segan melemparkan isu, fitnah dan hoax yang hakikatnya merupakan hal yang bersifat memecah belah, menyebabkan pertentangan antar masyarakat. Bahkan tanpa malu mereka memutarbalikan fakta.
Ambil contoh tuduhan pro Komunis yang mereka lontarkan kepada Jokowi, fakta ternyata membuktikan kebalikan dari yang dituduhkan selama ini. Ini buktinya,
nasional.kompas.com/read/2013/04/22/15031164/PKS.Akrab.dengan.Partai.Komunis.China
https://nasional.tempo.co/read/256790/pks-dekati-partai-komunis-cina
Bagaimana dengan tuduhan pro Asing?. Berbicara soal asing, nama yang tidak bisa kita kesampingkan adalah Nathaniel Philip Rothschild (Nat). Hashim Djojohadikusumo (adik Prabowo Subianto) sendiri mengakui kedekatannya dengan Nat.
https://m.detik.com/finance/bursa-valas/2173923/pengakuan-hashim-djojohadikusumo-dukung-rothschild-singkirkan-bakrie-di-bumi
Apalagi ketika Presiden Jokowi berhasil memaksa Freeport untuk mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada Indonesia dan tebak, siapa pemilik saham terbesar Freeport? Yup, benar, Nathaniel Philip Rothschild (Nat). Sudah terlihat keterkaitannya bukan?.
Secara logika, bila benar Jokowi pro asing, tidak akan mungkin Jokowi mau memaksa Freeport untuk mendivestasikan 51 persen sahamnya kepada pemerintah Indonesia. Bahkan kita tidak akan mendengar berita mengenai penenggelaman kapal pencuri ikan selama kepemimpinan Jokowi bila seandainya benar beliau pro Asing dan Aseng.
Dugaan saya, menjelang semakin dekatnya pilpres 2019, maka isu-isu yang dipergunakan walaupun themanya hanya dari itu ke itu saja, namun frekwensinya akan semakin meningkat.
Jadi bisa dibilang militansi sukarelawan Jokowi benar-benar diuji, selain mengcounter isu-isu negatif seperti itu, juga harus tetap menyebarkan keberhasilan pemerintah di bawah kepemimpinan Jokowi agar diketahui masyarakat luas.
Berbeda dengan pihak anti Jokowi yang hanya fokus memproduksi dan menyebarkan berita-berita hoax untuk menyudutkan pemerintah saja, karena minus prestasi sehingga tidak ada yang dapat ditonjolkan oleh tokoh yang mereka dukung, sungguh menyedihkan sekali. Karena tidak mampu bersaing secara sehat, lantas menggunakan cara busuk.
Berlanjut tidaknya Jokowi untuk periode kedua, terletak di tangan rakyat. Bila mereka agresif menyebarkan berita hoax, maka kita juga harus lebih agresif menyebarkan berita pembangunan yang dilakukan oleh Jokowi.
Untuk membendung berita-berita hoax yang mereka sebarkan, dapat kita tempuh dengan melaporkannya ke pihak yang berwenang seperti kominfo dan polri divisi cyber crime agar ditindaklanjuti. Dengan demikian, kita bisa memaksa mereka bertarung di arena yang sportif, yaitu beradu ide, program dan gagasan untuk kemajuan bangsa ini.