Di sebuah media saya membaca berita yang menyebutkan instruksi dari Ketua Badan Pemenangan Nasional (BPN) Prabowo-Sandi, Jenderal (Purn) Djoko Santoso yang memberikan arahan untuk memenangkan Prabowo-Sandi di Pilpres mendatang. Salah satunya adalah menandai rumah pendukung dengan pemasangan bendera.
Djoko menginstruksikan tim pemenangan agar memastikan bahwa di setiap rumah pendukung harus terpasang bendera Prabowo-Sandi.Pada hari pencoblosan nanti, lanjutnya, semua tim pemenangan dan relawan juga tidak boleh lengah. jangan sampai jika dalam hitung-hitungan dianggap akan menang kemudian menjadi mengendorkan semangat untuk menyoblos.
“Habis nyoblos, jangan pulang dulu. Di situ, sekalian pantau hitung suara,” lanjutnya.
Jujur membaca hal tersebut terutama yang terkait instruksi pemasangan bendera di rumah pendukungnya, membuat saya merasa Djoko Santoso sedang menggunakan cara-cara yang intimidatif. Bagaimana tidak? Pemilihan Umum (Pemilu) sendiri selama ini digaung-gaungkan sebagai pesta demokrasi dari rakyat oleh rakyat dan untuk rakyat. Prinsip dalam pemilu yang kita kenal adalah Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia (Luber).
Lantas bila menggunakan cara-cara yang disebut oleh Djoko Santoso, dimana letak umum, bebas dan rahasianya?. Yang ada malah menimbulkan pengkotak-kotakan di masyarakat.
Saya rasa banyak warga masyarakat yang karena satu dan lain alasan menolak untuk memberitahukan dukungannya. Bisa jadi untuk menjaga perasaan orang yang berbeda pilihan dengan dirinya, bisa jadi juga untuk menghindari terjadinya perselisihan dengan sesama anggota masyarakat.
Belum lama berselang kita tentu pernah membaca berita kejadian tragis. Kisah tragedi yang memakan korban jiwa dimana dua orang yang berselisih karena berbeda pilihan politik di dunia maya lalu memutuskan bertemu di dunia nyata hanya untuk saling bunuh-bunuhan.
Sekarang si Djoko justru memerintahkan pendukung capresnya memasang bendera tanda dukungan, Djoko Santoso terlihat berupaya memperuncing perbedaan antar masyarakat. Kalau yang tidak memasang bendera secara otomatis di-cap bukan pendukungnya, sementara yang memasang bendera adalah pendukungnya.
Lantas bagi yang tidak memasang bendera mau diapakan? Diancam? Diintimidasi? Dipersekusi ala preman? Bila demikian halnya masih layakkah pemilu yang berlangsung disebut Langsung, Umum, Bebas dan Rahasia? Masih layakkah pemilu disebut sebagai pesta rakyat atau pesta demokrasi?
Saya rasa sudah cukup pilkada DKI menjadi contoh nyata dimana tindakan intimidasi nyata adanya, mulai dari larangan mensholatkan jenazah pendukung penista agama, larangan menguburkan jenazah pendukung penista agama, intimidasi atau ancaman berkedok Tamasya Al Maidah, belum lagi menjelang pencoblosan ada banyak isu beredar ancaman untuk membakar rumah bagi yang mencoblos petahana. Tindakan-tindakan barbar seperti itu kini mau diulangi lagi dengan berkedok memasang bendera bagi pendukung Prabowo.
Yang menjadi pertanyaan adalah dimana Bawaslu? Karena jelas-jelas apa yang disampaikan oleh Djoko Santoso adalah pelanggaran kampanye yang mengancam prinsip-prinsip Luber dan Jurdil yang menjadi roh bagi semangat pesta demokrasi itu sendiri. Apakah Bawaslu masih akan tetap berdiam diri?
Masihkah Bawaslu malas turun ke lapangan?, hanya memantau dari televisi di ruangan ber-AC, lalu mengeluarkan press release tidak ada pelanggaran kampanye? Sementara suami salah satu anggotanya ternyata merupakan bagian dari gerombolan yang terang-terangan mengikuti kampanye berkedok reuni seperti yang terjadi beberapa hari yang lalu?
Apakah Bawaslu masih bisa dipercaya netralitasnya? Lantas bila Bawaslu saja netralitasnya sudah tidak dipercaya oleh rakyat, kepada siapa lagi rakyat harus menggantungkan harapan akan pemilu yang dapat terselenggara dengan jujur dan adil?
Berbagai komentar pun disampaikan oleh warganet.
Diantaranya oleh Pak Herman yang menganggap apa yang dilakukan Djoko Santoso mirip-mirip dengan kejadian pemberontakan PKI 1965 serta kerusuhan 1998 yang lalu.
“Ini macam PKI dulu ditandai mana terduga PKI mana gak….ini macam tahun 98 zaman Soeharto, waktu orang orang coretin rumahnya sendiri INI PUNYA PRIBUMI ASLI supaya massa gak gasak rumah mereka”
Sementara Ibu Dede lebih menyoroti masalah instruksi Djoko Santoso yang meminta pendukungnya menunggu di TPS, sebagai akal-akalan karena duit sudah habis untuk membayar saksi.
“Duit dah hbs buat byr saksi, jd buat gampangnya pendukung disuruh nungguin di tps..? trus Lubernya dimn?”
Kalau menurut pembaca sendiri? Apa komentarnya?