Meskipun Anies-Sandi terpilih sebagai Gubernur dan Wakil Gubernur periode 2017-2022, hati ini merasa sangat sedih. Apalagi jika kita melihat proses kampanye yang begitu menjijikkan dengan memainkan ayat dan mayat demi meraup suara dari masyarakat. Akan tetapi, mau tidak mau sebagai warga negara di negara yang menjunjung tinggi demokrasi, kita harus menerima hasil dari pemilihan yang “demokratis” ini.
Ketika saya berselancar di akun-akun sosial media saya, masih banyak yang belum menerima hasil dari Pilgub tersebut. Wajar saja, Ahok-Djarot yang menjadi lawan Anies-Sandi ketika itu merupakan pertahana dan kinerjanya benar-benar bisa dirasakan oleh seluruh warga Jakarta. Kebanyakan dari mereka berkata bahwa mereka yang memilih Anies-Sandi pasti akan menyesal karena pilihan politik mereka tersebut.
Saya sendiri hanya tersenyum saja melihat adu argumen yang berujung saling hujat itu. Yang saya harapkan ketika itu adalah semoga hal tersebut tidak terjadi dan Anies-Sandi minimal bisa menyamai kinerja Ahok-Djarot yang fenomenal itu.
Mendekati pelantikannya, saya berharap agar mereka bisa memberikan yang terbaik bagi warga Jakarta dan bisa membenahi Jakarta yang semerawut ini. Namun apa yang terjadi? Pidato pertama pasca ia dilantik sungguh menyesakkan dada.
Saat raga ini sudah bertekad untuk mendukung pemerintahan Anies-Sandi, sang gubernur malah membuat pidato yng memuat kata pribumi dalam naskahnya. Anies sudah sangat jelas melanggar instruksi Presiden (Impres) nomor 26 tahun 1998 yang menginstruksi kepada para pejabat untuk menghentikan istilah pribumi dan non pribumi dalam semua perumusan dan penyelenggaraan kebijakan, perencanaan program, ataupun pelaksanaan kegiatan penyelenggaraan pemerintahan. (Sumber)
Hal ini kembali merubah saya yang mulanya simpati menjadi antipati karena pernyataan Anies yang aneh tersebut. Pernyataan lainnya yang membuat saya semakin antipati kepada beliau adalah pernyataan yang menyatakan bahwa Belanda hanya menjajah Jakarta dan daerah lain hanya melihat dari jauh. Ini juga pernyataan yang asal bunyi dan tidak bermutu sama sekali. Anies benar-benar melupakan bahwa di Surabaya pernah ada pertempuran 10 November. Ia juga melupakan bahwa Bali pernah melakukan perang puputan guna mengusir penjajah yang mencoba menguasai daerah mereka. Belum lagi berbagai perlawanan di Kalimantan, Sulawesi, Maluku, dan daerah-daerah lain. Pernyataan Anies seolah-olah mengecilkan peran pahlawan nasional kita yang berasal dari daerah lain. Padahal mereka semua bersatu untuk memerdekakan bangsa kita.
Saat mereka yang memilih Ahok-Djarot mengatakan bahwa 58% pemilih Anies-Sandi akan menyesal, saya merenungi perkataan tersebut. Saya berpikir bahwa mereka mungkin akan menyesal, tapi itu terjadi dua atau tiga tahun setelah mereka memimpin. Namun perkiraan saya ternyata meleset. Belum genap satu bulan mereka memimpin, saya mendapati banyak dari mereka yang akhirnya menyesal dan terlalu terpengaruh dengan emosi saat Pilgub lalu.
Hal ini dikarenakan banyak janji-janji yang pada akhirnya tidak terealisasi. Yang pertama adalah janji untuk menggratiskan tiket masuk ke Ancol. Seperti yang terlampir dalam berita di Kapanlagi.com pada tanggal 20 Januari 2017, Anies Baswedan mengatakan bahwa hanya di Jakarta yang mahal bila ingin menikmati pantai. Sementara di daerah lain, beberapa pantai cenderung digratiskan. Gagasan tersebut diungkapkan oleh Anies-Sandi saat mereka berkampanye di kawasan Lebak Bulus, Jakarta Selatan.
Sumber: https://m.kapanlagi.com/plus/jika-anies-jadi-gubernur-pantai-ancol-bisa-dinikmati-gratis-d590a9.html
Janji tinggallah janji, setelah terpilih dan menjabat, janji tersebut urung direalisasikan. Sandiaga Uno mengatakan bahwa rencana tersebut urung direalisasikan karena pemerintah masih harus membuat kajian agar keputusan yang dibuat nantinya tidak menyalahi aturan. Apalagi selama ini mayoritas pengunjung Ancol berasal dari kalangan menengah ke atas. Dengan kata lain, jika digratiskan maka tidak akan memberikan rasa keadilan karena yang mendapat subsidi justru orang-orang mampu.
Sumber: https://metro.tempo.co/read/1031878/ancol-batal-gratis-sandiaga-pengunjung-mayoritas-orang-mampu
Janjikan dulu kepada masyarakat, setelah tidak relevan baru melakukan kajian ulang. Aneh. Selain janji masuk Ancol gratis, Anies-Sandi juga pernah berjanji untuk menaikkan upah minimum provinsi (UMP) DKI Jakarta. Bahkan, Anies-Sandi menandatangani kontrak politik dengan para buruh di Jakarta.
Salah satu poin dari kontrak politik tersebut adalah menetapkan upah minimum provinsi DKI Jakarta lebih tinggi dari yang ditentukan dalam PP 78/2015 melalui mekanisme dewan pengupahan. Serta menetapkan upah sektoral dan struktur skala upah sesuai dengan UU Ketenagakerjaan nomor 13 tahun 2003 (lihat poin pertama).
Namun pada akhirnya, UMP provinsi DKI Jakarta diambil berdasarkan acuan PP 78/2015. Selain itu UMP hanya ditetapkan sebesar Rp. 3.648.035 naik 8,71 persen dari tahun sebelumnya. Namun angka ini jauh dari tuntutan buruh yang menginginkan upah minimum provinsi berada dikisaran 3,9 juta rupiah.
Buruh jelas kecewa dengan penetapan UMP tersebut. Mereka menuding Anies-Sandi menyebar janji manis dan pada akhirnya memberikan harapan palsu kepada mereka. Mereka bahkan mempertimbangkan dukungan mereka untuk Anies-Sandi karena dinilai ingkar janji.
Sekarang, menyesal tidak ada gunanya lagi. Banyak yang sudah mewanti-wanti agar memilih pemimpin yang tidak hanya menebar janji-janji manis. Namun pada akhirnya, banyak juga dari mereka yang termakan janji, meskipun pada akhirnya sakit hati karena janjinya teringkari.
Yang perlu kita lakukan sekarang adalah mengawal terus pemerintahan Anies-Sandi di Jakarta dan memberikan kritik-kritik membangun dan disertai solusi demi kemajuan ibu kota kita tercinta. Semoga Jakarta bisa lebih baik lagi.
Salam satu tanah air Indonesia!