Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan menghadiri peringatan 90 Tahun lembaga pendidikan Kolese Kanisius di Hall D JIExpo Kemayoran Jakarta Pusat pada Sabtu malam tanggal 11 November 2017 kemarin. Namun ketika Anies sedang menyampaikan pidatonya, para tamu melakukan aksi walk out dari ruangan. Setelah Anies selesai berpidato dan meninggalkan tempat, mereka yang walk out kembali memasuki ruangan acara.
Salah satu orang yang pertama kali melakukan aksi walk out adalah Ananda Sukarlan, pianis kenamaan Indonesia yang juga merupakan alumni Kanisius. Ananda saat ini dikenal sebagai pianis, komponis, pendidik, penulis dan aktivis kebudayaan Indonesia. Ia adalah orang Indonesia pertama, dan saat ini satu-satunya, yang tercantum di 2000 Outstanding Musicians of the 20th century.
Kiprahnya dalam dunia musik di antaranya mendirikan Yayasan Musik Sastra Indonesia (YMSI) yang bertujuan memberikan pendidikan musik bagi anak-anak tidak mampu. Ia menulis “Rapsodia Nusantara” yang berdasarkan pada lagu-lagu daerah dari berbagai provinsi di Indonesia agar para pianis dunia dapat menemukan identitas musik klasik Indonesia. Ia juga menulis karya-karya musik untuk anak difabel (cacat).
Pada acara malam itu, Ananda adalah 1 dari 5 orang alumni yang mendapatkan penghargaan. Dalam pidatonya ketika meraih penghargaan, selain menyampaikan terima kasih, Ananda juga menyampaikan kritik kepada panitia penyelenggara.
“Anda telah mengundang seseorang dengan nilai-nilai serta integritas yang bertentangan dengan apa yang telah diajarkan kepada kami. Walaupun anda mungkin harus mengundangnya karena jabatannya, tapi next time kita harus melihat juga orangnya. Ia mendapatkan jabatannya dengan cara-cara yang tidak sesuai dengan nilai Kanisius. Ini saya tidak ngomong politik, ini soal hati nurani dan nilai kemanusiaan.” (Sumber)
Ketika dikonfirmasi oleh salah satu media hari ini, Ananda yang seorang Jawa beragama Islam juga menyebutkan pidato pelantikan Anies yang menyinggung istilah “pribumi”. Ia merasa nilai-nilai yang diusung oleh Anies tentang perbedaan, pribumi dan non pribumi bertentangan dengan apa yang selama ini diajarkan di Kanisius.
Banyak yang salut dengan Ananda karena ia berani menyuarakan apa yang dipikirkan oleh banyak orang. Mungkin ada sebagian kecil yang tidak setuju dengan pernyataan sikap Ananda karena dinilai tidak menghormati tamu undangan, tapi tentu saja banyak juga pihak yang berpendapat bahwa seseorang yang telah begitu jahat menggunakan segala cara demi memenangkan jabatan politik meskipun dengan konsekuensi perpecahan dan pertikaian bangsa, tidak pantas untuk dihormati.
Belum genap 1 bulan sejak pelantikannya, Anies terus menghiasi berita dengan berbagai pernyataan dan tindakannya yang memicu kontroversi. Dimulai dengan pidato pelantikannya yang membuat banyak orang terperangah, karena tanpa rasa jengah sedikitpun ia membawa kembali istilah pribumi dan non pribumi yang dinilai banyak pihak sengaja diucapkan untuk membangkitkan kembali isu sektarian. Terbukti ia berhasil dengan satu kata pemicu itu, dengan mulai maraknya acara yang mengusung tema pribumi bangkit, seakan-akan selama ini terjadi diskriminasi terhadap pribumi oleh non pribumi. Suatu hal yang tidak masuk akal, mengingat pembuat kebijakan di negara kita selama ini bukan dipegang oleh non pribumi.
Selanjutnya adalah sikap dan pernyataan Anies dan wakilnya yang dinilai tidak sesuai dengan janji kampanye mereka, misalnya tentang UMP buruh, rumah dengan DP nol persen, menghentikan reklamasi, menggratiskan tiket masuk Ancol, juga pernyataan mereka tentang pejalan kaki dan trotoar.
Di satu sisi saya bisa merasakan betapa berat beban yang dipikul oleh Anies Baswedan saat ini, harus melebihi atau setidaknya menyamai standar tinggi yang sudah diterapkan oleh gubernur sebelumnya. Semua mata warga Jakarta tertuju kepadanya. Sedikit saja kesalahan yang ia lakukan, maka tak segan warga mencibir dan mencemooh. Namun di sisi lain, saya tidak bisa menyalahkan mereka yang mencibir tersebut.
Hukum sebab akibat berlaku di sini. Apa yang telah diperbuat harus dipertanggungjawabkan. Anies lah yang telah mengoyak tenun kebangsaan itu, membelah warga DKI Jakarta pada masa Pilkada kemarin dengan istilah muslim dan kafir, mengancam mayat, dan seusai Pilkada kembali mengayunkan pedang pembelahnya, mencoba menciptakan jurang di antara pribumi dan non pribumi.
Namun nasi telah menjadi bubur. Yang bisa Anies lakukan saat ini adalah bekerja dengan setulus hati demi kepentingan masyarakat, seberapa beratpun itu. Buktikan bahwa 58 persen warga tidak salah memilihmu. Percayalah, masyarakat zaman now bisa menilai ketulusan seorang pemimpin, cepat atau lambat. Jangan lagi beretorika, pencitraan ataupun mencoreng wajah sendiri dengan mengubah kebijakan gubernur sebelumnya yang sudah berjalan dengan baik.
Jika tidak, jangan heran jika akan muncul lagi Ananda-Ananda lain yang menyuarakan sikap mereka. Kanisius sebagai salah satu sekolah yang sudah sering mencetak kader-kader berprestasi di tingkat nasional maupun internasional terbukti memang mendidik siswanya dengan sangat baik, sehingga menjadi manusia yang menjunjung tinggi integritas, kebenaran dan kejujuran. Apa yang disuarakan dan dinyatakan oleh Ananda Sukarlan mungkin pahit bagi Anies atau pendukungnya, tapi itulah kejujuran.
Referensi :
https://id.wikipedia.org/wiki/Ananda_Sukarlan
Baca juga :