Sebutan untuk Jokowi kemarin bertambah lagi. Setelah disebut mantan tukang kayu, petugas partai sekarang disebut anak sopir truk. Bukan pembenci Jokowi yang menyematkannya, tapi Jokowi sendiri yang bercerita di depan ribuan sopir truk saat deklarasi keselamatan pengendara dan tertib lalu lintas Minggu 17/03/19.
Notomiharjo membesarkan ke 4 anaknya sekaligus membiayai kuliah Jokowi dari upah menjadi sopir truk dan bus. Jokowi tidak malu apalagi jaim menceritakan latar belakang kehidupannya. Bandingkan dengan Sandiaga yang pada saat debat cawapres kemarin mengaku pengangguran atau lebih tepatnya tidak perlu pekerjaan karena terlahir dari keluarga kaya. Atau Prabowo yang kental didikan luar negeri lengkap dengan warisan dari orang tua plus mantan mertuanya.
Jokowi jauh beda kelas, ibarat langit dan bumi dalam hal latar belakang keluarga dan perekonomian. Namun Jokowi membuktikan bahwa seorang sopir bisa menghasilkan anak dengan kualitas Presiden.
Apapun profesi seseorang saat menjadi kepala rumah tangga adalah wujud tanggung jawab keluarga yang paling mulia. Jokowi sedang memberi contoh keuletan menghadapi keterbatasan ekonomi hingga kini menjadi Presiden diawali dari keluarga. Tidak ada yang bisa merubah masih seseorang kecuali dari dirinya sendiri. Menjadi sopir bukanlah cita-cita Notomiharjo, tetapi menjalani hidup dengan optimis ibarat menitipkan cita cita baru kepada anak cucunya.
Seseorang yang pernah merasakan kesulitan hidup, saat sudah berada di ruang keberhasilan ada 2 kemungkinan yang terjadi. Dia akan dendam pada kemiskinannya dulu, lalu menutupnya rapat-rapat, atau dia menganggap kemiskinan adalah tahapan proses alami dalam mencapai kesuksesan. Jokowi memilih kemungkinan yang terakhir.
Menjadi Presiden yang dibatasi waktu bukanlah puncak keberhasilan. Apalah arti sukses jabatan jika masih banyak orang di bawah jabatannya yang belum terentaskan kesulitan hidupnya. Jokowi sedang menyebarkan virus optimisme dengan menjadikan dirinya sebagai contoh. Karena sesungguhnya kemiskinan terjadi bukan karena seseorang malas, tetapi karena orang kaya yang diam saja tak sudi melihat ke bawah. Itulah kesenjangan mental.
Bukan orang kaya peduli pengangguran lalu menyulapnya menjadi Oke-Oce. Bukan pula Capres yang memanjakan rakyatnya dengan menakut nakuti rakyat miskinnya dengan syndrom Indonesia bubar. Tetapi seorang Jokowi yang berupaya mengembalikan hak hak rakyatnya yang puluhan tahun dicuri orang kaya tamak dan korup.
Anak sopir jadi Presiden. Menyiratkan pesan bagi kita untuk tidak takut bermimpi, jangan malu bercita cita dan tidak menyerah pada kenyataan. Karena kitalah yang menciptakan kenyataan baru, bukan pasrah merenungi nasibnya di saat waktu tak pernah berkompromi dengan kesedihan. Waktu yang terus berputar menjadikan menuntut kita berada di pusaran sejarah atau justru menjadi penonton di sudut peradaban.