Bagi yang bisa menterjemahkan lebih dalam himbauan Jokowi dalam kaitannya perintah pendukungnya untuk turun ke lapangan, bisa di artikan sebagai “kode keras” untuk tim kampanyenya. Jokowi sedang menyinggung “mesin mesin partai” dan para relawan yang di anggap belum maksimal bergerak ke masyarakat.
Pilpres dan Pileg yang dilaksanakan bersamaan tidak bisa dipungkiri melahirkan fenomena fokus dualisme. Para caleg dari partai yang tergabung dalam koalisi Jokowi sesungguhnya punya tanggung jawab paling besar atas penurunan elektabilitas Jokowi. Merekalah mesin mesin politik yang bekerja dengan biaya besar. Setiap caleg pasti punya tim sukses mensosialisaikan sosok sesuai daerah pemilihannya. Mereka yang bersaing berebut suara dengan caleg lain dari partai yang sama maupun antar partai. Namun pada aktifitas sosialisasinya mereka lupa punya kewajiban lain memenangkan capres pilihan koalisi partainya.
Strategi mesin tim suksespun masih banyak yang “asal-asalan” sekedar pasang baleho, spanduk besar besaran yang jelas bernilai ekonomis, sebar pamflet, kalender stiker, blusukan dari rumah ke rumah asik menyebut nama calegnya namun lupa memperbincangkan tentang Jokowi-Ma’ruf. Celakanya pula beberapa caleg juga enggan memasang sosok capres koalisinya dalam media perangkat kampanye, menjadi bentuk pengingkaran paling nyata di mata masyarakat.
Masyarakatpun jadi mengenal caleg pilihannya namun lupa siapa capres yang juga harus dipilihnya. Tim lapangan yang turun ke rumah-rumah atas nama caleg tidak semuanya memperkenalkan Jokowi sebagai capresnya entah karena instruksi dan ego politiknya memang sebatas itu. Kekhawatiran caleg kehilangan suara gegara ikut mempromosikan Jokowi ibarat memakan buah nangka. Ingin manis buahnya tapi tidak berikut getahnya.
Dalam tim kampanye nasional Jokowi – Ma’ruf memang ada pembagian tugas tersendiri. Mereka para relawan yang di rekrut dari partai maupun non partai. Para relawan yang juga bergerilya punya misi khusus mensosialisasikan Jokowi-Ma’ruf. Yang membedakan relawan dengan mesin politik partai/caleg hanya pada penguasaan areanya. Tim sukses lebih menguasai dapil calegnya dikarenakan mereka tinggal dan beraktifitas di wilayah tersebut. Mereka ada di setiap RW, desa, kelurahan, kecamatan hingga kota. Berbeda dengan para relawan yang hanya mewakili area tertentu.
Jadi kalau pendukung Jokowi di vonis kurang militan, barangkali harus sedikit dikoreksi. Mereka juga rajin dan berkeringat tiap hari keluar masuk gang. Bergerak kompak di setiap acara deklarasi. Berdiskusi aktif di berbagai medsos dan puluhan WAG se aliran. Mereka hanya lupa memberi doktrin tentang Jokowi kepada penghuni rumah rumah yang dikunjungi. Apalah artinya kemenangan caleg jika dia harus berada di bawah kekuasaan presiden yang bukan pilihannya? Pertanyaan tersebut tidak perlu di jawab, karena dalam politik apapun komitmen bisa berubah.
Inilah kesalahan dasar mesin politik dan relawan. Mesin politik sibuk membawa “bendera” dan “costum” sendiri-sendiri hingga lupa menyampaikan di “toko” mana mereka mendapatkan itu semua. Dan para relawan yang mendadak panik dan militan memadamkan api yang tiba tiba muncul tak terduga di mana mana.
Semoga faham.