Paham radikalisme bukanlah paham yang dapat dianggap enteng begitu saja. Paham ini menyelusup dengan sangat massif ke berbagai kehidupan masyarakat hingga pemerintahan beberapa tahun terakhir ini. BBC Indonesia pernah menurunkan laporan akhir tahun kemarin dengan menyitir info dari Badan Intelijen Negara (BIN).
Terungkap dalam laporan tersebut setidaknya ada 41 dari 100 masjid di lingkungan kementerian, lembaga serta Badan Usaha Milik Negara (BUMN) yang terindikasi telah terpapar radikalisme. Jadi tidaklah mengherankan bila kita banyak menemukan para Aparat Sipil Negara (ASN) yang radikal, tercermin dalam berbagai postingan mereka di sosial media.
Di dunia pendidikan sendiri, ajaran radikal juga menyelusup hingga ke berbagai tingkatan, dari SD, SMP, SMU/SMK hingga perguruan Tinggi, bahkan PAUD juga tidak lepas dari cengkeraman kaum radikal ini. Salah satu contoh yang bikin miris dan sempat viral adalah saat peringatan 17 Agustus 2018 kemarin, di mana dalam acara pawai karnaval anak-anak TK dan PAUD di Probolinggo, menggunakan pakaian bercadar dan menenteng senjata mainan model AK47.
Beberapa hari yang lalu bahkan sempat viral postingan di WAG tentang organisasi Komunitas Royatul Islam (Karim) yang dianggap sebagai wajah baru organisasi terlarang HTI, sedang mengadakan roadshow ke berbagai SMU di Bogor bertopengkan sosialisasi bendera Tauhid. Karim juga mengajak para siswa SMU untuk bergabung.
Selain postingan tentang kegiatan Karim, ada postingan dari Simon Syaefudin, yang juga beredar di WAG. Dirinya meminta agar para orang tua hati-hati bila memasukkan siswanya ke Sekolah Dasar Islam Terpadu (SDIT). Pasalnya menurut Simon, banyak SDIT yang mengajarkan pelajaran agama berbau radikal. Bahkan menurutnya lagi, kedua anaknya sudah terpapar ajaran Islam radikal sehingga menolak bergaul dengan anak seusianya yang berbeda agama.
Hal senada juga pernah diakui oleh Menteri Riset Tekonologi dan Perguruan Tinggi (Menristekdikti) Mohamad Nasir yang tidak menutupi jika institusi pendidikan telah disusupi kelompok-kelompok radikal. Bukan hanya tingkat Perguruan Tinggi, melainkan hingga sekelas Sekolah Dasar (SD) juga terindikasi terpapar ideologi terlarang itu.
Bila diibaratkan negara adalah rumah dan para generasi mudanya adalah tiang kayu utama yang menunjang berdirinya rumah, maka ajaran radikalisme adalah rayap yang saat ini sedang menggerogoti tiang kayu tersebut. Bila dibiarkan sama artinya kita menunggu waktu robohnya negara ini.
Bila dibiarkan terus, anak-anak PAUD, TK, SD yang terlihat lucu menggemaskan hari ini dan saat ini, 10-20 tahun ke depan akan tumbuh menjadi monster mengerikan yang haus darah. Begitu gampangnya menyembelih orang atau kelompok yang dianggap berbeda pandangan dengannya. Begitu mudahnya menyerang pihak yang dianggap berseberangan dengan mereka.
Dan bayangkan bila orang-orang seperti itu yang nantinya akan mengisi jabatan di berbagai posisi pemerintahan, tanpa perlu dikudeta pun Indonesia akan hancur berkeping-keping dengan sendirinya.
Sudah saatnya pemerintah berperan lebih aktif lagi untuk menangkal ajaran radikal ini. Salah satunya dengan melakukan reformasi di bidang pendidikan. Tidak saja kurikulum harus ditata ulang, namun juga menempatkan menteri pendidikan yang memiliki keberanian untuk mengikis habis ajaran radikal.
Bila ditanya siapa orang yang cocok untuk mengisi jabatan sebagai menteri pendidikan, maka yang terlintas dalam pikiran saya hanya ada satu nama, yakni Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid. Pembaca kenal? Saya yakin banyak pembaca yang masih asing dengan nama tersebut.
Zannuba Ariffah Chafsoh Rahman Wahid atau yang lebih kita kenal dengan nama Yenny Wahid, merupakan putri Gusdur, Presiden Indonesia yang ke-4. Sama seperti Gusdur, Yenny yang lahir dalam lingkungan keluarga Nahdlatul Ulama, lebih mengedepankan Islam yang moderat, menghargai pluralisme dan pembawa damai.
Sebagai putri Gusdur, Yenny Wahid juga dianggap memiliki pengaruh yang cukup besar di kalangan Nahdliyin, sebutan untuk warga masyarakat yang berafiliasi atau sebagai anggota ormas NU (Nahdlatul Ulama) yang merupakan ormas Islam terbesar di Nusantara, bahkan di dunia.
NU sendiri selama ini kita ketahui selalu berdampingan dengan pemerintah melawan ancaman radikalisme. NU bahkan ada di garis depan sejak Indonesia merdeka dalam menghadapi kelompok-kelompok yang berusaha mengancam keutuhan NKRI.
Melalui Yenny Wahid, NU dapat dilibatkan untuk lebih berperan aktif dalam menangkal radikalisme di sektor pendidikan. Misalnya dengan mengeluarkan peraturan menteri (Permen), yang mewajibkan guru-guru agama untuk menjalani pendidikan atau bimbingan ulang di mana akan disaring guru-guru agama yang terindikasi radikal dan tidak.
Bagi yang terindikasi radikal, akan dilakukan deradikalisasi dengan bimbingan Ustad-ustad NU. Bagi yang lulus akan mendapat sertifikasi, berbekal setifikasi itulah para guru tersebut mendapat ijin untuk mengajar. Dan itu dapat diterapkan tidak hanya untuk guru agama di sekolah-sekolah negeri, namun juga pesantren maupun sekolah swasta.
Dunia pendidikan sendiri sebenarnya bukanlah bidang yang asing bagi seorang Yenny Wahid. Wahid Institute yang kemudian berubah nama menjadi Wahid Foundation, di mana Yenny duduk sebagai direktur, banyak bersinggungan dengan dunia pendidikan.
Bahkan salah satu kegiatan Wahid Foundation di Indonesia adalah mendorong munculnya pemikir muda dan aktivis untuk mewujudkan komitmen dan visi Gus Dur. Wahid Foundation juga berperan menyelenggarakan pendidikan untuk pemuda, peningkatan kapasitas bagi ulama Muslim untuk menghasilkan pemahaman lintas-agama, lintas-budaya, dan dialog lintas-etnis, dan mempromosikan mereka untuk berpartisipasi secara aktif dalam proses membangun kesejahteraan ekonomi, keadilan dan pemerintahan yang baik.
Artinya apa yang beliau jalankan di Wahid Foundation dapat juga diimplementasikan di dunia pendidikan Indonesia dalam rangka deradikalisasi serta mengikis habis unsur-unsur radikalisme di bidang pendidikan.
Tudingan-tudingan anti Islam yang biasa ditiupkan oleh kaum radikalis terhadap kebijakan menteri yang dianggap merugikan kepentingan mereka, tak akan laku terhadap Yenny. Siapa yang berani meragukan ke-Islaman seorang Yenny Wahid, putri tokoh sekelas Gusdur?
Bukan itu saja, dengan latar belakang pendidikan Yenny Wahid yang sempat menempuh studi Psikologi di Universitas Indonesia. Kemudian menekuni studi Jurusan Visual di Universitas Trisakti. Lalu dilanjutkan lagi dengan studi administrasi publik di Universitas Harvard, Boston. Membuat Yenny tidak asing dengan pemikiran milenial dalam menghadapi perkembangan teknologi di era Revolusi Industri 4.0 ini.
Hal ini juga sejalan dengan harapan Presiden Jokowi yang akan memfokuskan pengembangan Sumber Daya Manusia (SDM) Indonesia di periode kedua pemerintahannya. Sehingga pilihan terhadap Yenny Wahid adalah pilihan yang tepat menurut saya. Dari sisi pembersihan radikalisme dapat, sedangkan pengembangan sumber daya manusia juga terpenuhi.
Dukungan juga mengalir dari kalangan ulama, yang mendorong Yenny menjadi menteri agama. Namun, bisa juga masuk bursa menteri pendidikan dan kebudayaan atau menteri sosial.
“Yenny Wahid bagus juga menjadi mendikbud. Pendidikan itu adalah penentu kemajuan peradaban,” kata DR KH Abdul Moqsith Ghazali dalam diskusi Ramadan yang dibesut Wahid Foundation di Jakarta, Kamis 9 Mei 2019.
Jadi apalagi yang perlu diragukan? Toh para ulama juga sudah memberi restu bagi Yenny untuk maju menjadi Mendikbud.
Harapan saya hanya satu, bila Yenny benar-benar menjadi Mendibud, di balik wajahnya yang lembut ala keibuan, semoga Yenny berani tegas ala kebapakan serta punya kaki kuat ala kesebelasan untuk menendang paham radikalisme jauh-jauh dari dunia pendidikan di negeri ini. Setujukah anda?