Secara kebetulan saya membaca sebuah berita di detik yang menceritakan peluncuran sebuah buku di Gramedia, yang membuat buku tersebut terasa istimewa adalah menceritakan mengenai sisi lain seorang Basuki Tjahaya Purnama yang biasa dikenal dengan nama Ahok.
Salah satu cerita yang disampaikan dan saya kutip secara menyeluruh adalah cerita mengenai Ayu Kartika Dewi yang merupakan pegawai magang serta salah satu penulis buku tersebut. Demikian kutipannya:
Sabtu, 21 November 2015, Ayu Kartika Dewi berada dalam posisi dilematis. Alumnus Duke University di Amerika Serikat itu baru beberapa waktu magang di Balai Kota DKI Jakarta.
Di akhir pekan itu dia ternyata punya kewajiban untuk tetap ngantor karena sang bos, Basuki Tjahaja Purnama (Ahok) juga masuk kerja. Padahal hari itu adalah jadwal konser penyanyi favoritnya, Iwan Fals. Dia sudah jauh-jauh hari membeli tiket agar bisa menontonnya.
Meski sangat respect terhadap si bos, tapi keinginanya untuk dapat menonton konser sang musisi legendaris juga begitu menggebu. Akhirnya usai makan siang dia memberanikan diri menghampiri Ahok di ruang kerjanya. “Bapak, saya izin sebentar, ya. Mau nonton konser Iwan Fals. Nanti saya balik lagi,” ujarnya.
Ahok yang tengah duduk di meja kerja sambil membaca surat-surat mengangkat kepalanya. Dia berhenti membaca, dan sambil terkekeh berujar, “O…ada konser Iwan Fals? Ya ya ya, sana kamu nonton dulu.”
Sambil tersenyum lebar saya sudah hampir melangkahkan kaki keluar ruangan ketika Ahok melanjutkan, “Gue suka tuh lagunya Iwan Fals yang judulnya Ibu”. Lalu dengan suara yang serak dan sumbang, Ahok menyanyikan lagu Ibu. Beberapa katanya keliru, dan sambil tergelak Ayu mengoreksi lirik agar Ahok melanjutkan lagi nyanyinya sampai selesai.
Sebelum Ayu benar-benar menghilang dari ruangan, Ahok sempat berseru, “Nanti rekamin lagu Ibu buat gue, ya.” Ayu membalas, “Siap, Pak!”.
Ayu sendiri disebutkan sebagai salah satu dari puluhan anak muda cerdas, berbakat, dan punya kepedulian untuk memperbaiki pelayanan birokrasi di lingkungan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta di era Ahok. Mereka menyebut dirinya “Anak Bawang Balai Kota”, dan 21 orang di antaranya menuangkan pengalaman dan kesaksian mereka tengan Ahok dalam buku Ahok dan Hal-hal yang Belum Terungkap. Buku setebal 319 halaman terbitan Gramedia itu diluncurkan, Jumat 6 April 2018 di sebuah mal di kawasan Senayan.
Ayu Kartika Dewi yang baru lulus kuliah semula cuma berniat magang dua bulan sekedar untuk mencari pengalaman dan mengisi waktu luang. Lalu masa magang itu diperpanjang hingga 4 bulan, dan kemudian dia malah memutuskan untuk bekerja menjadi staf Ahok selama 2 tahun sejak 2015.
Pada bagian lain tulisannya, Ayu menyebut Ahok bukan sosok pongah, serta selalu merasa serba tahu dan benar. Sebaliknya, tulis Ayu, mantan Bupati Belitung itu juga rendah hati, mau mendengar dan belajar dari anak muda.
“Jika kalian memang pinter (lebih paham tentang sesuatu) ajari gue. Tapi jika kalian tidak paham-paham amat, maka sini gantian gue yang ngasih instruksi. Kalian tinggal menuruti,” tutur Ahok seperti dikenang Ayu.
Salah satu materi yang diajarkan Ayu kepada Ahok dan kemudian diterapkan menjadi kebijakan pemerintah provinsi adalah terkait virtual office yang mulai diusulkannya pada 2015.
Setelah dijelaskan dan pentingnya virtual office bagi Jakarta, Ahok kemudian menyetujui untuk diterapkan. Berkat kebijakan itu, pengurusan perizinan menjadi jauh lebih mudah.
Ahok bukanlah seperti yang digambarkan oleh para bajingan sebagai sosok yang kasar, pongah, sombong, namun bila yang dimaksud kasar, pongah dan sombong kepada para koruptor, penipu, pengusaha hitam, itu memang benar adanya dan mereka layak mendapatkannya.
Namun kepada masyarakat umum, bahkan kepada karyawan yang bekerja dengan dirinya, yang bisa dibilang hampir seharian menemaninya, justru kesan sebaliknya yang didapat. Ahok ternyata masih mau belajar bila dia merasa yang muda memiliki kepintaran yang lebih dari dirinya, bahkan tidak segan-segan menerapkan usulan dari bawahannya.
Mungkin di republik ini untuk saat ini, hanya ada 2 tokoh yang mampu merebut perhatian dan hati masyarakat sedemikian besarnya, yang satu bernama Joko Widodo, satunya lagi bernama Basuki Tjahaya Purnama.