Ketika mendengar kata Revolusi Putih yang dititipkan Prabowo kepada Anis, ingatan saya langsung kembali ke beberapa bulan yang lalu. Kata ini pernah didengungkan oleh seorang habib yang kabur dari Indonesia akibat chatsex-nya. Saya membayangkan bila kata Revolusi Putih si habib yang sekarang dipanggil “daddy” oleh anaknya di Arab sana, sama maknanya dengan Revolusi Putihnya Prabowo, entah butuh berapa miliar unta betina untuk diperas susunya dan ditumpahkan ke Indonesia.
Namun demikian, artikel ini tidak akan membahas si habib cabul tersebut, biarlah dia tenang di tempatnya, semoga amal ibadahnya diterima dan diberikan tempat yang layak di sana.
Yang akan saya bahas kali ini adalah Revolusi Putih atau Revolusi Susunya Prabowo, ups kata “nya” disini maknanya adalah ide kepunyaan Prabowo lho, jadi jgn berpikir kemana mana. Seperti yang kita ketahui, Prabowo menitipkan programnya berupa Revolusi Putih kepada Anis, yaitu berupa pemberian susu kepada siswa tidak mampu di DKI Jakarta, setiap hari sekolah, artinya sang siswa dapat mengkonsumsi susu secara rutin 22 hari setiap bulannya, bagus bukan?
Dan kemungkinan yang dimaksud adalah susu bubuk, karena bila diasumsikan susu sapi perahan, rasanya tidak mencukupi untuk diberikan kepada seluruh siswa tidak mampu di DKI Jakarta ini. Seandainya ide ini terlaksana, berapa biaya yang harus digelontorkan oleh Pemprov DKI?
Asumsikanlah jumlah siswa tidak mampu di DKI lebih kurang 200 ribu, bila setiap harinya mendapatkan susu selama sebulan (22 hari sekolah) dan nilai susunya kita asumsikan 10.000, maka hitung hitungannya akan menjadi:
200.000 siswa x 22 hari x 10.000 rupiah = 44 miliar rupiah/bulan
Bila program ini dijalankan selama 1 tahun penuh (12 bulan), maka nilainya akan menjadi 528 miliar.
Darimana uang sebanyak itu diambil? Apakah dari APBD? Dana CSR? Atau apa? Ini yang belum kita ketahui walau rasanya APBD lah yang akan menjadi sasaran tembaknya, mengingat jumlahnya yang lumayan besar.
Berikutnya, bagaimana dengan sistem pemilihan supplier yang memasok susu tersebut? Apakah melalui penunjukan langsung atau lelang? Bila lelang, lelangnya terbuka atau tertutup? Ditahap inilah kongkalikong sangat berpotensi terjadi, apalagi bila menggunakan penunjukan langsung atau lelang tertutup, siapa yang akan mengawasinya dan menjamin bahwa prosedurnya sudah dilaksanakan dengan baik dan benar?
Pemberian susu untuk menambah asupan protein memang bagus, tapi apakah hanya itu satu satunya cara?. Bayangkan seandainya anak Anda diberikan susu setiap hari tanpa ada alternatif lain, kebosanan sudah pasti melanda, bahkan bisa menimbulkan trauma, takut ke sekolah karena dipaksa minum susu? Belum lagi bila susunya basi karena terlalu lama disajikan sehingga menyebabkan keracunan, siapa yang harus bertanggung jawab?
Dari sekian banyak alternatif, kenapa harus susu? Kenapa bukan telur atau bubur kacang yang tentu lebih murah dan kandungan gizi yang tidak kalah dengan susu. Bila bisa menyediakan makanan yang kandungan gizinya sama dan lebih murah, kenapa harus pilih yang lebih mahal?
Keefektifan program tersebut juga layak dipertanyakan, apakah akan tepat sasaran atau jangan jangan susunya dijual lagi oleh oknum oknum yang tidak bertanggung jawab dan uangnya masuk ke kantong oknum tersebut. Dari sekian banyak permasalahan yang berpotensi timbul, bagaimana cara mengatasinya?
Entahlah, hanya pasangan Anis dan Sandi yang bisa menjawabnya. Bisa jadi Revolusi Putih tidak seputih namanya.
Bagaimana menurut Anda?