Saya tinggal sudah lebih dari 15 tahun di Jerman, terhitung sejak saya berhenti mengikuti demo mahasiswa pada tahun 1998 yang lalu. Suatu ketika, di akhir tahun 2016, kakak saya mulai membicarakan seseorang yang bernama Ahok. Walaupun yang diceritakan baru sekedar garis besarnya saja dan meskipun saya ketika itu belum mengenal siapa Ahok itu, namun karena penasaran, saya pun mencoba mencari informasi tentang sosok yang bernama Ahok ini di Google.
Berkat pencarian itulah yang membawa saya secara resmi menjadi anggota Save Ahok di bulan Mei. Perjuangannya yang besar dan berani membuat saya kagum. Sudah lama Indonesia tidak mempunyai pejuang seperti dia. Setelah menjadi anggota Save Ahok, dengan cepat Facebook saya penuh dengan orang yang ingin berteman dengan saya, sehingga mengharuskan saya untuk menyortir atau mem-filter pertemanan.
Beragam orang saya temui saat melakukan penyortiran. Ada yang berprofesi sebagai dokter, para manajer, para santri, para kiai, para politikus dan lainnya. Namun banyak juga saya jumpai anak-anak tanggung yang putus sekolah dan harus bekerja di usia muda. Saya sebut dengan istilah lingkaran yang terputus. Yakni orang-orang muda yang berjuang untuk menunjukkan eksistensi (keberadaan dirinya).
Orang-orang ini sering ditolak, dan jarang ada orang yang mau menerima keberadaannya. Mereka adalah orang-orang yang tidak mempunyai atau bahkan tidak dapat menikmati masa kanak-kanak maupun masa remajanya, mereka tidak saja harus memikirkan kelangsungan hidupnya namun juga kelangsungan hidup bagi keluarganya.
Kemampuan mereka untuk bertahan hidup sungguh luar biasa, tapi ada lingkaran kehidupannya yang hilang. Di saat anak-anak lain atau remaja lain menikmati masa mudanya dengan baik, mereka harus bertanggungjawab terhadap diri mereka, bahkan mungkin juga terhadap keluarga.
Banyak contoh yang dapat kita lihat di sekeliling kita, mulai dari anak gelandangan, anak-anak yang kehilangan salah satu atau kedua orang tuanya, atau anak-anak yang dilahirkan oleh orang tua yang tidak bertanggungjawab dan tidak diurus atau dirawat sebagaimana mestinya.
Dimana masa kanak dan remaja mereka? Bagaimana dengan perkembangan mental, perasaan dan emosi mereka? Seperti yang dikatakan Sigmund Freund “In der Kindheit hat man kein größeres Bedürfnis als das Gefühl, von den Eltern beschützt zu werden.” artinya “di masa kanak orang tidak punya kebutuhan terbesar melebihi perasaan dari orang tua yang melindunginya.”
Menurut psychologie anak dan keluarga, ada dua kemungkinan yang bisa terjadi:
- Tidak kedewasaan dan tidak kompeten dari orang tua akan mendidik anaknya secara tiran dan tidak dewasa
- Anak ini mengambil ahli tugas orang tua, yang tidak dilakukan oleh orang tua. Jadi anak ini bertanggungjawab untuk adiknya dalam mengatur rumah tangga atau mengambil keputusan, di usianya yang masih terlalu muda dan tidak wajar.
Orang tua yang tidak dewasa dan anak yang hilang
Arti ayah dan ibu bagi anak sangatlah penting sebagai dasar hubungan untuk membangun perkembangan anak agar menjadi pribadi yang berani, hangat dan percaya diri.
Setiap anak tidak hanya memerlukan makanan dan pakaian tapi juga kebutuhan emosi dan keamanan yang stabil. Melalui orang tua mereka belajar mengenal dan memahami dunia. Jika kebutuhan itu tidak terpenuhi, maka perkembangan emosinya terhambat, karena kebutuhan emosi dan perasaan anak dari orang tua yang tidak dewasa dipakai untuk orang tuanya, yang hanya memikirkan dirinya sendiri serta tidak memperhatikan dan memeliharanya.
Inilah lingkaran yang terputus dari orang muda sekarang. Untuk pertama kalinya saya melihat generasi muda di Indonesia yang putus dalam lingkaran kehidupan yang normal apapun alasannya. Apakah karena orang tua sudah meninggal? Atau karena orang tua tidak berfungsi sebagai mana posisinya sebagai orang tua? Anak muda ini bukan orang yang berhati jahat, mereka hanyalah adalah anak muda yang labil. Di negara industri seperti di Jerman hal itu sudah merupakan hal biasa. Negara yang memberikan tempat tinggal dan uang, tapi apakah negara bisa memberikan perasaan aman dan emosi stabil untuk anak tersebut? Tidak.
Saya sudah pernah mencoba menyelamatkan seorang anak muda yang seperti itu, tapi tidak berhasil karena emosinya yang labil. Mereka tidak pernah belajar bagaimana mengontrol diri. Mereka pernah tidak belajar bagaimana caranya meminta dengan baik. Mereka tidak pernah belajar begaimana caranya agar tidak berputus asa dan sebagainya.
Mereka hanya belajar untuk bertahan hidup sejak masa kanaknya. Janganlah heran bahwa “kampret” (istilah yang saya sematkan untuk anak-anak tersebut) ini ada karena suatu proses yang tidak pernah diperhatikan. Kehidupan mereka sering disalahgunakan oleh pihak-pihak tertentu, hanya karena berkas emosi kesepian, perasaan bersalah, tidak punya keahlian untuk membina hubungan lama, emosi yang suka jaga jarak, kemarahan yang ditekan, ketakutan dan pemikiran yang irrational dari anak muda yang belum mampu mengatasinya.
Orang dewasa mendapatkan kekuatan dari masa kanaknya, tapi kalau masa kanak itu tidak ada, maka yang tertinggal hanyalah jiwa yang kesepian dan kosong.
Cintailah anakmu karena anak-anak ini adalah masa depan bangsa dan citra dari kalian sendiri!
Penulis: Veronika