Indovoices.com –Kemendikbud mengizinkan aktivitas belajar mengajar secara tatap muka dilakukan di zona kuning corona. Tentunya dengan sejumlah persyaratan di antaranya mendapat izin dari Pemda setempat, Kepala Sekolah, dan yang terpenting dari orang tua siswa.
“Jika orang tua atau wali siswa tidak setuju, maka peserta didik tetap belajar dari rumah dan tidak dapat dipaksa,” Kata Mendikbud Nadiem Makarim dalam rilis yang disampaikan Tim Komunikasi Komite Penanganan Corona Virus Disease 2019 (COVID-19) dan Pemulihan Ekonomi Nasional.
Selain itu juga kegiatan harus dengan protokol kesehatan yang ketat. Ia mengatakan jumlah peserta didik dalam satu kelas harus diisi dengan 30-50 persen agar bisa menerapkan jaga jarak fisik. Selain itu juga jumlah hari dan jam belajar harus dikurangi dengan sistem pergantian rombongan belajar (shift).
Menurut Nadiem pembelajaran tatap muka di zona kuning karena banyaknya satuan pendidikan di daerah 3T (Terdepan, Tertular, Tertinggal) yang kesulitan belajar virtual karena minimnya akses. Hal itu dapat berdampak negatif terhadap tumbuh kembang dan psikososial anak secara permanen.
“Saat ini, 88 persen dari keseluruhan daerah 3T berada di zona kuning dan hijau. Dengan adanya penyesuaian SKB ini, maka satuan pendidikan yang siap dan ingin melaksanakan pembelajaran tatap muka memiliki opsi untuk melaksanakannya secara bertahap dengan protokol kesehatan yang sangat ketat,” kata Nadiem.
Namun, kebijakan itu mendapatkan penentangan dari berbagai pihak. Komisi Perlindungan Anak Indonesia misalnya yang menilai kebijakan tersebut berisiko bagi anak-anak.
Sebab jika melihat data dari Gugus Tugas COVID-19, sekolah yang diizinkan untuk kembali menggelar pembelajaran tatap muka berada di 249 kabupaten/kota atau 43 persen jumlah peserta didik.
“KPAI memandang bahwa hak hidup dan hak sehat bagi anak-anak adalah yang lebih utama di masa pandemic saat ini. Apalagi Dokter Yogi dari IDAI dalam rapat koordinasi dengan Kemendikbud beberapa waktu lalu menyampaikan bahwa anak-anak yang terinfeksi COVID-19 ada yang mengalami kerusakan pada paru-parunya,” kata Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangan tertulisnya.
Selain itu, menurutnya, anak juga berpotensi menularkan virus corona kepada orang yang rentan sehingga tingkat kematian terus meningkat, dan menyebabkan pandemi ini tak kunjung berakhir.
Retno mengatakan, seharusnya sebelum mengizinkan membuka sekolah di zona kuning, pemerintah harusnya mengevaluasi kebijakan sebelumnya yaitu membuka sekolah di zona hijau.
Meski dengan aturan yang ketat, nyatanya ada kasus positif corona yang ditemukan usai sekolah dibuka, yaitu di Pariaman, Sumatera Barat, dan di Tegal, Jawa Tengah.
Kekhawatiran Retno masuk akal. Musababnya sistem zonasi warna yang digunakan oleh pemerintah dinilai belum akurat oleh ahli epidemiolog.
Pandu Riono dari FKM Universitas Indonesia mengatakan persebaran virus corona tidak bisa dilihat dari wilayahnya karena mobilitas penduduk di Indonesia sangat tinggi.
“Jangan percaya dengan warna zona mas menteri,” tulis Pandu dalam posting-an Instagram yang menampilkan foto Nadiem.
”(Zona) hijau bisa bukan berarti hijau. (Zona) kuning bisa bukan berarti kuning. Hijau, kuning bisa saja sebenarnya merah,” sambung Pandu.
Wakil Ketua Komisi X DPR, Hetifah Sjaifudian, juga mengungkapkan kekhawatirannya terkait kebijakan membuka sekolah di zona kuning corona. Ia ingin pemerintah mempertimbangkan kembali keputusan tersebut karena keselamatan dan kesehatan harus menjadi prioritas bersama.
“Harus ada mekanisme dari pemerintah untuk mengontrol bahwa memang sekolah yang akan dibuka benar-benar memenuhi daftar periksa. Jangan sampai itu hanya menjadi formalitas dan di lapangan tidak dilakukan,” kata Hetifah dalam keterangannya.
“Jika perlu, adakan sidak-sidak untuk memantau keberjalanannya,” tambahnya.
Politikus Golkar itu mengatakan harus ada sanksi tegas bila ditemukan adanya kelalaian Pemda yang memberikan izin sekolah dibuka tanpa standar yang ditetapkan oleh pemerintah.
Jika pun terpaksa harus menggelar pembelajaran secara tatap muka maka sifatnya tidak wajib.
“Kalau memang masih bisa di rumah, sebaiknya di rumah saja. Tapi kalau memang sulit dengan alasan keterbatasan internet, atau orang tua bekerja, barulah tatap muka ini dipilih sebagai opsi terakhir dengan protokol yang ketat,” tambahnya.
Namun, meski kegiatan belajar mengajar dilakukan tatap muka, pihak sekolah harus tetap menyediakan fasilitas untuk siswa yang memilih tetap ingin belajar jarak jauh. Hal itu untuk mengantisipasi jika ada orang tua yang belum merasa nyaman anaknya belajar langsung di sekolah.
“Misalnya, proses belajar mengajar di kelas di-videokan atau siswa lain bisa mengikuti melalui aplikasi telekonferensi. Jangan sampai karena sekolah dibuka dan mayoritas siswa masuk sekolah, mereka yang memilih untuk tetap di rumah jadi terdiskriminasi,” pungkasnya.(msn)