Sumber: wartaislami.com
Beberapa bulan yang lalu, kita membaca berita mengenai Zoya, seorang pria yang dibakar hidup-hidup karena dituduh mencuri amplifier masjid.
Sekarang kita membaca berita, sepasang muda-mudi yang pacaran tidak terbukti melakukan zinah, digerebek, ditelanjangi, bahkan diarak, bahkan dipimpin oleh RT dan RW di Cikupa, Tangerang.
Mundur lagi ke beberapa bulan sebelumnya, saat malam takbiran 2017 ini, sekelompok anak-anak menyanyikan lagu bunuh Ahok.
Ada apa dengan masyarakat kita? Kita dengan mudah mengkafir-kafirkan orang lain, dengan mudah berteriak bunuh, halal darahnya. Semakin lama saya melihat masyarakat semakin brutal, hanya atas nama agama, kita dengan mudah berbuat kejam. Padahal agama sendiri mengajarkan kita mengasihi sesama makhluk hidup. Menjaga lisan dan perbuatan.
Coba perhatikan, udara, bumi, matahari yang kita yakini merupakan ciptaan Tuhan, tidak pernah Tuhan membeda-bedakan, si jahat si baik, semua menghirup udara yang sama, si Kafir si Soleha tinggal di bumi yang sama, si Atheis dan si Religius mendapat sinar matahari yang sama. Tidak ada cerita oh karena si A kafir, lalu Tuhan memberikan sinar matahari yang lebih panas biar gosong. Oh karena si B atheis, lalu Yang Kuasa memberikan udara beracun khusus untuk dihirup dia.
Lantas kenapa kita sebagai manusia harus membuat perbedaan tersebut? Satu golongan merasa lebih suci dari golongan yang lain, satu pihak merasa memegang kunci surga hingga dengan gampang melaknat pihak yang tidak sepandangan dengan mereka.
Saya tidak tahu akan sampai kapan pemerintah berdiam diri melihat semua itu. Bukan bermaksud menyalahkan pemerintah karena saya tahu pemerintah juga telah bekerja keras membangun negara ini terutama sejak dibawah kepemimpinan Presiden Joko Widodo. Berbagai infrastruktur dikebut, pembangunan dimana-mana, bahkan hingga di timur Indonesia yang selama ini jarang tersentuh.
Namun bukan pembangunan fisik saja yang harus kita kejar. Pembangunan rohani juga sama pentingnya. Coba lihat, di Arab Saudi sendiri, tempat munculnya Agama Islam, pemerintahnya gencar melakukan sertifikasi, memodernisasi Ajaran Islam, ulama-ulama radikal diusir dan tidak dibiarkan menyebarkan ajaran radikalismenya.
Sementara di Indonesia sendiri, seakan tidak berdaya menghadapi ulama-ulama sesat tersebut, mereka dibiarkan menghasut rakyat dengan ceramah-ceramahnya, dibiarkan menyesatkan pikiran pengikutnya, dibiarkan menanamkan militansi kepada umatnya untuk membenci negara, membenci orang-orang diluar kelompoknya, bahkan ajaran-ajaran radikalisme dibiarkan menyusup ke sekolah-sekolah. Anak-anak kita sejak PAUD, TK, SD sudah diajarkan untuk membenci dengan slogan-slogan Islam Yes, Kafir No. Diajarkan untuk tidak berteman dengan si Kafir. Itulah bom waktu yang sesungguhnya. Anak-anak yang terlihat lucu menggemaskan hari ini, kalau tidak segera ditangani, 10-20 tahun lagi akan menjadi orang orang yang haus darah, menggorok orang seringan menggorok ayam, bahkan menggorok orang tuanya sendiri yang tidak sepaham dengan mereka.
Dulu Menteri Agama sempat mewacanakan sertifikasi (sudah pernah saya tulis di artikel sebelumnya), kemudian mendapat tentangan, kecaman, protes lalu tidak jadi dan terkesan diam hingga sekarang. Oklah, kalau tidak mampu, atau takut dikecam, rangkulah NU. Bekerjasamalah dengan NU yang mengusung Islam Nusantara, bekerjasamalah dengan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan. Santri-santri NU diminta untuk mengajar ke sekolah-sekolah. Guru-guru agama yang radikal kita geser, gantikan dengan guru-guru agama dari NU. Berikan tempat bagi para ahli agama, Ulama, Kyai NU untuk memberikan ceramah secara tetap di masjid masjid, dimulai dari masjid-masjid pemerintah sendiri, masjid-masjid pemprov di setiap provinsi.
NU (Nahdlatul Ulama), sebagai organisasi Islam terbesar di Nusantara, pasti memiliki santri-santri yang mumpuni, yang pemahaman keagamaannya sudah baik, sudah bagus, kualitasnya pun tidak diragukan lagi.
Putuskan mata rantai ajaran yang sifatnya radikal, isolasi supaya tidak mudah menyebarkan paham radikalnya. Melihat kondisi saat ini, saya anggap sudah dalam kondisi lampu kuning, saya tidak tahu apakah pemerintah harus menunggu sampai lampu merah dulu baru bertindak. Karena bila memang begitu rencananya, saya hanya bisa berdoa semoga bila saat itu tiba, segalanya belum terlambat.