Pernahkah Anda mendapati seorang anak yang tiba-tiba menangis di sekolah? Atau yang hanya duduk manis melipat tangan di atas meja, memandangi buku gambar dan pensil warna tanpa berkeinginan untuk menyentuhnya?
Hal seperti di atas tentu sering kita temui, baik di sekolah maupun di lingkungan tempat tinggal kita. Lalu apa masalahnya?
Anak-anak adalah manusia yang sangat unik. Dalam waktu yang singkat saja mereka bisa menunjukkan berbagai ekspresi. Contohnya, bisa jadi saat ini mereka tertawa riang tapi beberapa menit yang lalu mereka justru bercucuran air mata, menangis karena berebut mainan dengan teman, ditinggal sendirian, tidak dipinjami buku bacaan atau karena penyebab yang lain. Hal tersebut wajar adanya, begitulah sikap anak-anak. Para orang tua pun mudah saja menyikapinya. Jika kita memiliki seorang anak yang pelit, maka sikap yang harus kita contohkan adalah melatihnya untuk mau berbagi. Kita tidak perlu memberinya sebuah apel, cukup berikan setengah bagian apel, lalu setengahnya lagi untuk kita. Katakakan persis di depan anak kita “Dik, Ibu punya sebuah apel yang akan Ibu bagi menjadi dua bagian, satu untuk Ibu satu untuk Adik.” Yang harus kita lakukan adalah menunjukkan proses dalam hal ini memotong apel.
Contoh lain adalah ketika anak kita bersikap kasar kepada kawan, maka untuk meredam kenakalan mereka, kita sebagai orang tua tidak perlu membalasnya dengan kekerasan. Bawa anak kita ke tempat terpisah, tanyakan baik-baik apa masalahnya kemudian suruhlah dia untuk meminta maaf terlebih dahulu meskipun mungkin ia bukan biang keladinya. Mengapa demikian? Karena kita sedang mengajarkan anak untuk mau mengalah dan berlapang dada.
Pendidikan anak bukan berarti dimulai sejak pertama kali mereka menjejakkan kaki di TK atau PAUD, tetapi dimulai sejak anak masih dalam kandungan sang Ibu. Para orang tua pun harus sedini mungkin memberikan contoh terbaik kepada anak-anaknya.
Lalu mengapa beberapa anak tumbuh menjadi remaja yang kurang percaya diri, kurang semangat dalam belajar dan ketika ditanya perihal cita-cita, mereka justru tidak tahu atau diam seribu Bahasa?
Remaja yang demikian mempunyai masa lalu (masa kanak-kanak) yang kurang menggembirakan. Faktor lingkungan tempat tinggal atau tempat di mana ia bersekolah menjadi penentu utama sikap para remaja pada akhirnya. Anak-anak yang dibesarkan oleh seorang ibu atau seorang ayah saja (single parent), dengan mereka yang dibesarkan oleh kedua orang tua, tentu mempunyai kepribadian yang berbeda. Tentunya kasih sayang lengkap dari ayah dan ibu akan membentuk kepribadian yang lebih optimistis.
Sikap orang tua pun menjadi penentu kematangan seorang anak dalam hal kemandirian. Orang tua yang selalu berselisih di depan anak atau anak yang dibesarkan dari pasangan yang kemudian broken home, akan membentuk sebuah karakter yang lebih urakan. Demikian halnya dengan pola asuh. Jika kita sering menyanjung atau memberi pujian kepada anak, mereka tentu merasa dihargai dan dicintai. Sayangnya, kebanyakan orang tua memberi pujian hanya ketika anak mendapatkan peringkat di bangku pendidikan formal. Padahal kreatifitas anak di luar sekolah pun perlu mendapatkan perhatian khusus. Memuji anak sama halnya mengobarkan semangat mereka untuk melakukan hal yang lebih baik lagi. Bukan hasil yang kita lihat untuk kemudian kita sanjung-sanjung, tapi proses dalam menghasilkan sesuatu itulah yang seharusnya kita apresiasi.
Seperti halnya ketika si kecil belum pandai menulis atau sudah bisa menulis tetapi tulisannya tak terbaca, kita pun tidak perlu mencak-mencak lalu menyuruh anak untuk belajar menulis non stop, bahkan memberikan punishment karena nila ulangannya nol. Tidak perlu. Mungkin sebagian orang tua merasa malu karena anaknya tertinggal dalam pelajaran tertentu. Mereka takut jika anak mereka dicap idiot.
Kesulitan menulis pada anak, kesulitan berhitung atau kesulitan membaca merupakan kesulitan belajar spesifik yang disebabkan oleh faktor disfungsi neurologis, bukan karena faktor intelegensi. Lambat laun dengan ketekunan para orang tua tentunya, anak-anak tersebut akan dapat melakukan kegiatan belajar mengajar sebagimana anak-anak pada umumnya dan menjadi remaja yang mandiri.
Ingat! Kita tak perlu membeda-bedakan satu anak dengan anak yang lain, karena setiap anak memiliki potensinya masing-masing. Seperti halnya dua buah biji yang sama-sama berasal dari varietas unggul, namun kemudian menghasilkan buah yang berbeda baik secara kuantitas maupun kualitas. Tidak lain adalah karena kedua benih tersebut ditanam pada habitat yang berbeda pula.
Oleh karena itu, alangkah baiknya jika kita terapkan pola asuh yang baik, patuh pada norma dan adat istiadat sehingga menghasilkan generasi berkepribadian unggul, bermartabat dan berkarakter demi masa depan yang cerah bagi buah hati kita.