Indovoices.com –Pengamat Pendidikan Ahmad Rizali menyoroti pelbagai polemik yang kerap mengiringi kebijakan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan (Kemendikbud) Nadiem Makarim. Dia menilai, gagasan yang ditawarkan oleh Nadiem, seperti “Merdeka Belajar” sangat bagus. Hanya saja, pola komunikasi dalam menyampaikan atau kebijakannya kurang baik.
“Kalau buat saya gagasan tidak ada yang salah. Dari kami dari para pegiat pendidikan, rata-rata menganggap itu gagasan-gagasan yang sangat bagus. Bahkan dulu itu dicanangkan oleh KH Dewantara itu sendiri dan secara tidak sadar ditiru oleh Finlandia. Persoalannya hanya di komunikasi, eksekusi, dan tidak cermatan dari Mendikbud sendiri,” ungkap Rizali.
Oleh karena itu, kata Rizali, Nadiem perlu memperbaiki pola komunikasi dan juga harus ada adab yang dia pegang dan laksanakan kepada pihak-pihak yang harus dihormati dan dimuliakan. Andai saja, gagasan tersebut dapat disampaikan dengan cara komunikasi yang lebih baik, santun dengan cara yang mengajak banyak pihak untuk bicara maka sudah barang tentu akan jalan.
Menurut Rizali, milenial bahkan centenial wajib memiliki sedikitnya 4 C yaitu Creative, Criticism, Collaborative dan Communicative. Namun, kreatif dan Kritis itu meski sulit dicapai dengan model pendidikan dasar seperti saat ini, karena modal dasarnya adalah kompetensi dasar reading dan matematika (numerasi). Kemudian kolaboratif dan komunikatif jauh lebih sulit lagi, sebab memerlukan waktu praktik dalam keseharian.
Maka, tidak heran jika umumnya aktivis kampus, meski indek prestasi (IP)-nya pas-pasan seringkali sukses menjadi pemimpin. Karena cukup berlatih kolaboratif dan komunikatif ini di kampus. Bahkan biasanya sejak SMP sudah menjadi ketua kelas, anggota pramuka, pengurus OSIS, pegiatn senibudaya dan pencinta alam sekolah.
“Di kampus, IP pas-pasan masih menunjukkan mereka punya modal cukup untuk kritis dan kreatif. Meski diakui, ada juga yang “waton suloyo” alias ngawur,” terangnya.
Dengan menyimak dan mengamati rentetan kasus akhir-akhir ini, Rizal berpendapat, bahwa pimpinan Kemdikbud gagal mempraktikan kolaborasi dan komunikasi di tataran tertinggi. Muhammadiyah dan Nadhlatul Ulama (NU), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) memutuskan melepaskan hak “menang” mereka dalam seleksi Program Organisasi Penggerak (POP) Kemendibud dan DPR RI akhirnya menyorotinya adalah bukti nyata kegagalan tersebut.(msn)