Suporter tentara untuk sementara ini dilarang masuk stadion. Larangan dari Pangkostrad Edy Rahmayadi yang juga Ketua Umum PSSI itu diberlakukan setelah terjadinya bentrokan berdarah antara suporter Persita Tangerang dan PSMS Medan. Seorang suporter Persita, Banu Rusman yang masih berusia 17 tahun meninggal dunia, yang diduga dilakukan oleh suporter tentara.
Kedua tim bertanding di Lapangan Mini Persikabo, Bogor, Jawa Barat, 11 Oktober 2017 lalu dengan hasil kemenangan 1-0 untuk PSMS Medan, yang membuat tim berjulukan Ayam Kinantan itu berhasil masuk 8 Besar Liga 2. Bentrokan antara kedua suporter terjadi usai wasit meniup peluit panjang.
Banyaknya suporter PSMS Medan di laga itu yang berasal dari tentara diakui oleh Edy Rahmayadi memang dari Divisi 1 Kostrad Cilodong. “Sementara ini, saya tidak izinkan prajurit-prajurit saya itu (suporter militer) masuk ke dalam stadion,” ujarnya ketika diwancarai Republika.co.id
Menjadi pertanyaan, kenapa tentara sampai dikerahkan untuk menjadi suporter PSMS Medan, tidak hanya untuk PS TNI AD yang berlaga di Liga 1? Suporter Ayam Kinantan, julukan PSMS, sendiri yang tergabung dalam PSMS Medan Fans Club mengklarifikasi lewat akun Instagram @psmsfansclub1950.bahwa mereka tidak terlibat dalam insiden tesebut.
Kehadiran suporter memang merupakan gizi yang besar khasiatnya bagi tim manapun. Mereka datang terkoordinir, ada yang sendiri-sendiri atau berkelompok. Dikerahkan oleh klub atau tidak, suporter sangatlah dibutuhkan semua tim.
Hadirnya tentara jelas tak terlepas dari garis struktural Edy Rahmayadi sebagai Pembina PSMS Medan sejak awal tahun 2015 (saat menjabat sebagai Pangdam 1/Bukit Barisan) hingga kini. Edy juga merupakan Ketua Umum PS TNI AD.
Masalahnya, jika prajurit itu menjadi pendukung apakah merupakan tugas dari sang komandan, dengan surat tugas karena itu terjadi di hari kerja dan uang saku (dispensasi). Sehingga tak mengherankan saat menjadi suporter itu mereka mengenakan baju training militer, bukannya jersey, seperti yang disaksikan di berbagai video saat terjadi kerusuhan suporter Persita dan PSMS.
Sambil menanti keputusan Komisi Disiplin PSSI terhadap kericuhan yang telah terjadi dan menelan korban jiwa, selain puluhan suporter yang terluka, perlu dipikirkan kembali pengerahan suporter tentara di saat hari kerja. Hal ini bukan berarti menghambat para prajurit mendukung kesebelasan kesayangannya, PS TNI AD yang jelas merupakan tim milik institusi tersebut. Beda dengan PSMS Medan yang hanya binaan Pangkostrad.
Pada sisi lain, pengerahan prajurit untuk mendukung PSMS Medan yang juga dikenal memiliki pendukung fanatiknya sendiri, yakni SMeCK Hooligan, Kampak FC, dan PSMS FC, makin menguatkan anggapan klub sepakbola sebagai tunggangan politik. Orang mafhum Edy Rahmayadi yang baru 11 bulan menjabat sebagai Ketua Umum PSSI sudah mendaftar menjadi calon gubernur Sumatra Utara untuk Pilkada 2018 mendatang.
Statuta PSSI memang tak melarang Ketua Umum merangkap jabatan sebagai kepala daerah. Edy Rahmayadi hanya perlu menanggalkan jabatannya sebagai Pangkostrad, dan ini sudah ia wacanakan akan dilakukan pada Januari atau Februari 2018 mendatang.
“Aturan dari KPU adalah mulai Januari sampai akhir Februari. Di antara itu saya akan mengundurkan diri. Saya akan mengajukan izin secara resmi,” kata Edy Rahmayadi dalam sesi wawancara khusus dengan detikcom, di Makostrad, Jl Medan Merdeka Timur, Jakarta, Selasa (22/8/2017).
Menjadi pemimpin PSSI dan Sumatra Utara (jika menang nantinya) bukan pekerjaan ringan. Pengalaman selama hampir setahun di PSSI tentu memberikan pelajaran bahwa tidak sederhana menangani berbagai masalah di sepakbola Indonesia yang tak kunjung membaik prestasinya. Bukan sekedar mengelola organisasi untuk menjadi “Bermartabat dan Profesional” seperti yang diusungnya saat kampanye sebagai Calon Ketua Umum.
Kompetisi yang sedang berjalan saat ini, Liga 1 dan Liga 2, sarat dengan berbagai permasalahan, baik dari operatornya sendiri maupun beberapa pesertanya. Belum lagi masalah legalitas beberapa klub, mutu dan mental wasit, pembinaan usia dini, pengadaan lapangan, pembinaan usia dini yang semuanya itu masih ditambah dengan beban berbagai even internasional untuk menelorkan prestasi yang diimpikan para masyarakat.
Ketua Umum PSSI sudah memiliki modal untuk itu. Dari dukungan pihak swasta yang digerakkan oleh PT Liga Indonesia Baru, ketegasannya yang membuat klub-klub berpikir ulang untuk neko-neko (macam-macam), hingga lahirnya bibit-bibit pemain muda yang menghembuskan harapan baru seperti di timnas U-19 dan U-16.
Tidak sederhana memang mengurus sepakbola, jenderal, tapi akan menjadi kisah yang dituturkan dengan manis dalam sejarah jika sang jenderal mampu mewujudkan PSSI menjadi lebih bermartabat dan profesional. Tentu tak hanya di PSSI tapi juga lingkup di bawahnya yakni klub-klub yang tidak memiliki masalah dengan legalitas serta mengelolanya sebagai perusahaan dengan manajemen yang benar-benar profesional.
Semua kembali pada pilihan pribadi, meski aturan Statuta tak melarang Ketua Umum atau anggota Eksekutif lainnya mencalonkan diri menjadi gubernur, bupati, walikota, anggota DPR atau DPRD. Jika melaju sebagai Gubernur Sumut, yang akan tercatat untuk pertama kalinya PSSI dipimpin seorang gubernur,
Hanya kepatutan saja yang perlu dipikirkan untuk rangkap jabatan yang mempunyai power begitu besar, dan tentunya permasalahan yang tak kalah besarnya juga. Suporter yang sudah memendam mimpi akan prestasi timnas Indonesia tentu mengerutkan dahi jika Ketua Umum PSSI sibuk mengurusi berbagai permasalahan yang ada di Sumut. Begitu juga sebaliknya, masyarakat Sumut juga kurang rela jika sang gubernur berbagi konsentrasinya karena mengurusi sepakbola dengan segudang permasalahan yang sudah terang benderang diketahui masyarakat.
Belum lagi terjadinya konflik kepentingan yang pasti terjadi dengan dua jabatan publik yang ada. Hal ini memang ditakutkan dan sudah sering terjadi dari berbagai kasus yang ada selama ini.
Saya ingin mengingatkan apa kata Gus Dur tentang PSSI dalam mengelola sepakbola. Ucapan yang disampaikannya di era-era awal peleburan Galatama dan kompetisi Perserikatan, seperti ditulis di sebuah artikel panditfootball.com
“Orang bilang sepakbola itu 75 persen di luar lapangan, dan 25 persen lainnya merupakan puncak dari usaha dari luar lapangan itu. Apakah proporsi semacam itu yang tidak tejadi?” tanyanya. “Pemain juga penting. Tapi lebih dulu pengurusnya dan ujungnya pada pelatih. Pada manajer,” tambahnya lagi. ***