Sampah.
Namanya sampah siapa orangyang akan mempedulikan sampah? Ada, pasti ada. Yaitu mereka yang paham, yang berpendidikan, dan berpikiran modern. Golongan orang seperti ini akan memperdulikan sampah dan akan meluangkan waktu dan energinya untuk urusan sampah.
Berikut adalah beberapa perilaku orang-orang “modern” terhadap sampah:
- Mereka akan memilih untuk mengantongi sampah mereka disaku celananya dan baru membuangnya ketika mereka bertemu dengan tempat sampah yang semestinya.
- Mereka tidak akan membedakan sampah besar dan sampah kecil. Untuk mereka besar atau kecil, sampah tetap sampah dan harus berakhir ditempat sampah yang semestinya.
- Ketika ada tempat sampah yang bertuliskan “organik”, “non-organik”, “kertas”, dan “plastik”, mereka tidak akan pernah merasa keberatan meluangkan waktu dan energinya untuk memilah-milah sampah mereka sesuai dengan tempat yang disediakannya. Dan masih ada jenis tempat sampah lain, yaitu “Baterei” dan “kain/baju”.
- Mereka tidak akan pernah membuang abu rokok dan puntung rokok dimana saja. Buat mereka barang sekecil rokok adalah sumber terbesar kekotoran.
- Mereka akan keberatan jika sampah telat diangkut ke Tempat Pembuangan Akhir sampah karena bau yang ditimbulkan.
- Mereka akan menjaga tembat sampah bersih dan kering, sebersih ruang teras rumah mereka.
- Mereka akan selalu menutup rapat sampah karena sampah yang terbuka akan banyak mengundang binatang kecil yang kemudian menjadi sumber penyakit.
Nah, dari 7 butir diatas, berapa butir yang kira-kira sudah kita lakukan? Memang tidak bisa dilakukan semuanya karena sistem pembuangan sampah di Indonesia masih belum terintegritas. Tapi paling tidak untuk butir nomor 1, 2, 4, 5, 6, dan 7 tidak sulit dilakukan jika kita sadar bahwa sampah tidak serendah dan sehina jati diri mereka. Seharusnya demikian, tapi sepertinya bagi orang Indonesia, hal semudah urusan sampah bukan hal yang mudah.
Jakarta misalnya, saya tadi pagi tiba di Stasiun Gambir dan menemukan tempat sampah yang baik dimana sampah recyclable dan non-recyclable dipisahkan ditempat yang berbeda dengan tulisan dan logo dimasing-masing tempat sampah. Tapi ketika saya melihat isi tempat sampah itu, sampahnya bercampur antara botol plastik dan dus serta kertas pembungkus nasi. Jujur saja, saya sedih melihatnya.
Apa coba susahnya membuang botol plastik dan kantong plastik ke dalam tempat sampah yang ada tulisan “Non-Recyclable”? Apa mereka tidak paham artinya karena di tulis dalam bahasa Inggris? Atau “malas”? Begitu juga dengan tempat yang non-recyclable, didalamnya masih ada kertas, daun pisang bekas pembungkus lontong bercampur dengan sampah plastik.
Baiklah, mungkin karena tulisan recyclable dan non-recycle nya terlalu kecil dan dalam bahasa Inggris juga ditulis ditempat yang tidak terbaca. Tetapi, kalau mereka peduli akan sampah-sampah itu, harusnya meluangkan waktu 1 atau 2 detik untuk membacanya atau memahapi kenapa ada 2 tempat sampah berdampingan.
Tidak hanya distasiun kereta gambir yang keberadaan tempat sampah ini tidak dihargai oleh orang yang ada disekitarnya, didaerah-daerah lain juga demikian.
Apa yang menjadi masalah sebenarnya? Adalah kemalasan dan ketidak pedulian. Urusan sampah yang dihasilkan oleh dirinya sendiri saja masih mengharapkan orang lain yang memilah-milah, jadi tidak heran kalau sekarang banyak orang berteriak merasa tidak sejahtera tapi tidak mau melakukan usaha yang maksimal.
Namun demikian, masalah sampah ini akan menjadi 1 dari begitu banyak program yang menjadi beban Gubernur baru Jakarta, Anies Baswedan.
Dimasa Ahok-Djarot, penanganan sampah ini dilakukan dengan mempekerjakan 15.000 orang yang tergabung dalam pasukan oranye. Masyarakat dimanjakan dengan tidak lagi membersih lingkungan mereka sendiri dan mereka hanya cukup memberitahu Pemda setempat jika ditemukan sampah atau masalah kebersihan lainnya, maka pasukan oranye akan dengan cepat datang dan membersihkan.
Sebenarnya, apa yang sudah dikerjakan sudah dikerjakan oleh Gubernur sebelumnya tinggal dilengkapi saja. Misalnya, Anies – Sandi mulai mengintegrasi sistem tempat pembuangan akhir dengan mendirikan tempat pengolahan sampah yang lebih modern seperti yang kita lihat di negara-negara maju.
Dengan dana APBD yang besar juga dana CSR yang besar juga yang dimiliki oleh DKI Jakarta, program pengolahan sampah ini bisa saja diwujudkan. Namun tetap ini memerlukan komitmen yang serius dari sang Gubernur yang sedang bertahta.
Masalah kemacetan dan sampah adalah dua masalah yang begitu dekat dengan masyarakat. Seyogyanya ini menjadi perhatian prioritas pemimpin jika menginginkan masyarakatnya bahagia. Siapa yang tidak menginginkan hidup atau tinggal dilingkungan yang bersih? Dan ketika masalah sampah itu terpecahkan, maka normalisasi sungaipun bisa lebih teratasi dengan baik.
Buat rakyat Jakarta, Ibu Kota Negara dengan jumlah penduduk paling banyak se-Indonesia, yang terpenting adalah masalah yang begitu dekat dengan kehidupan keseharian mereka diatasi dengan secepat-cepatnya. Karena masalah reklasmasi, program rumah murah, program OK-OCE dan program lain yang tidak langsung menyentuh kehidupan mereka, tidaklah begitu dihiruakan. Mau selesai ataus tidak masalah-masalah yang jauh dari kehidupan warga Jakarta, itu adalah urusan mereka yang ada didalam kantor Balai Kota dan bukan dijalanan.