Indovoices.com – Berdasarkan hasil evaluasi seismik dan data visual yang dilakukan Pusat Vulkanologi dan Mitigasi Bencana Geologi (PVMBG) Badan Geologi Kementerian ESDM terhadap Anak Gunung Krakatau, hingga tanggal 30 Desember 2018 teramati terjadinya letusan Surtseyan dengan frekuensi sangat minim (2 jam sekali), dan catatan kegempaan yang menunjukkan penurunan, sehingga potensi untuk timbulnya tsunami dari aktivitas Gunung Anak Krakatau sangat kecil.
“Aktivitas letusan menurun sehingga resiko juga menurun, resiko letusan besar hampir tidak ada. Status Gunung Anak Krakatau masih Siaga (Level III) dengan rekomendasi untuk tidak memasuki area dalam radius 5 km dari Kawah. Masuk mendekat ke Komplek Krakatau tidak direkomendasikan,” ungkap Sekretaris Badan Geologi, Antonius Rardomopurbo (Purbo) dalam keterangan persnya di Kantor Kementerian ESDM Jakarta, Senin (31/12).
Purbo mengungkapkan, meskipun ancaman tsunami dari proses longsor sangat kecil, direkomendasikan kepada BMKG dan BNPB untuk memasang instalasi peringatan dini mitigasi bencana di Pulau Rakata. “Pilihan Pulau Rakata ini didasarkan pertimbangan dari sebaran struktur geologi yang ada di Selat Sunda,” ujarnya.
Menurut Purbo, aktivitas erupsi dengan laju besar pada tanggal 26-27 Desember 2018 telah menyebabkan puncak Gunung Anak Krakatau yang terbangun sejak 1950 telah hilang, sebagian ikut terletuskan dan sebagian dilongsorkan. Puncak aktivitas letusan sudah terjadi mulai tgl 26 Des dan selesai tgl 27 Desember pukul 23.00.
Saat ini bagian Gunung Anak Krakatau yang tersisa mempunyai ketinggian 110 m dpi (semula 338 m dpi). Karena kawah berada di bawah permukaan air laut, saat ini letusan bertipe Surtseyan. Posisi kawah yang berada di permukaan atau sedikit dibawah permukaan air laut menjadikan tipe letusan berubah dari Strombolian ke Surtseyan. Letusan jenis ini tidak akan menimbulkan tsunami karena terjadi dipermukaan air dan material cenderung terlempar ke udara secara total.
Aktivitas Gunung Anak Krakatau dipantai dengan beberapa pemasangan stasiun seismik di lereng Gunung Anak Krakatau (KRA) dan juga di lokasi di Pulau Sertung (SRT), baratdaya G.Anak Krakatau. Stasiun seismik yang dipasang di tubuh G.Anak Krakatau akan terdampak langsung letusan apabila terjadi erupsi. Namun demikian, stasiun seismik di Anak Krakatau penting untuk mendeteksi perubahan fase tenang dan fase erupsi, karena di awal akan tercatat gempa-gempa vulkanik yang berukuran kecil yang sulit tercatat di stasiun seismik yang lebih jauh. Namun demikian, pada saat aktivitas pada level tinggi, stasiun di Pulau Sertung akan mengambil alih karena pada saat aktivitas tinggi, amplitudo kegempaan cukup besar sehingga tercatat di Pulau Sertung dengan jeias.
Puncak Gunung Anak Krakatau hilang (diletuskan dan runtuh) yaitu seluruh kerucut yang berada di atas dan terjadi sesudah ‘somma’ Anak Krakatau. Dari posisi ‘somma ‘ yang berada di pelataran yang relatif stabil, dan tidak pernah longsor sejak lahir Anak Krakatau, potensi terjadi longsor-besar sangatlah kecil atau hampir tidak ada. Tidak ada potensi tsunami dari proses longsoran. Namun demikian perlu diingat bahwa struktur geologi di Selat Sunda merupakan struktur aktif dengan sebagian berupa sesar sesar normal. Sehingga reaktivitasi sesar-sesar ini tetap harus diwaspadai.