Singa Kok Dipaksa Terbang dan Sebelum Pesawat Kita Jatuh
Jika Anda seorang frequent flyer, Anda bisa jadi bosan dengan pengumuman awak kabin baik sebelum tinggal landas maupun sesaat sebelum mendarat. Bahasanya itu-itu saja dan mudah ditebak. Namun, bagaimana jika pramugari atau pilot menggunakan kata-kata yang ‘menakutkan’?
Berikut tiga contoh saja yang saya ambil dari The Telegraph:
Setelah tertunda dua hari—Anda tidak salah baca, benar dua hari, bukan dua jam—pilot EasyJet yang hendak tinggal dari dari Malaga ke Bristol, mengumumkan, “We have ice on the wings and we don’t want to die.”
Coba kalau Anda jadi penumpang di pesawat itu, apakah Anda tinggal tenang dan menunggu saat take off yang mendebarkan atau memilih keluar dari kursi Anda dan membatalkan terbang?
Pada 2014 lalu, setelah terlambat selama satu hari, pilot pesawat dari kepulauan Karibia yang hendak mendarat mengumumkan ini kepada penumpang bahwa pesawat sedang menuju “a quick watery grave.”
Siapa yang mau dikuburkan di dalam air?
Southwest Airlines yang terkenal pun pernah melakukan blunder semacam ini. Sebelum landing, sang pilot ngoceh, “We’re in trouble. We’re going down.”
Untung selama saya naik pesawat ‘murah’ ini saya tidak pernah mendengar ucapan itu dari pilotnya.
Sebagai orang yang lumayan sering terbang—baik domestik maupun internasional—saya berharap bahwa orang di balik ruang kemudi adalah para pilot berpengalaman yang memastikan penerbangan saya aman, bukan mereka yang genit dengan pramugari dan melakukan pacaran di udara maupun yang nyabu sebelum menerbangkan ‘sapu sihirnya’.
Pengumuman yang mengancam
Tanpa kita sadari, atau justru mempengaruhi alam bawah sadar kita lewat ‘subliminal message’, pengumuman awak pesawat seringkali membuat bulu kuduk kita berdiri. Tidak percaya? Coba, seberapa sering mereka memakai istilah-istilah menyeramkan yang mengingatkan kita akan kematian.
Jangan nyalakan gadget Anda sampai pesawat ini tiba di “Terminal Building.”
Jangan tinggalkan tempat duduk sampai pesawat dalam posisi “Complete Stop.”
Apa arti dua frasa itu? Tujuan terakhir kita. Apa tujuan terakhir kita? Kuburan! Bukankah itu mengingatkan kita kepada film thriller ‘Final Destination’? Bahkan saat dalam tugas bicara di Vancouver dan melintasi Lions (Lion lagi, wkwkwk), Gate Bridge di Vancouver, Kanada, kami sekeluarga diingatkan akan kejadian mengerikan salah satu episode film ‘Final Destination’ yang mengerikan itu. Para penumpang mobil di atas jembatan yang tiba-tiba runtuh itu membuat para penumpang berhamburan dan jatuh ke bawah— ke batu atau besi beton tajam—seperti daging yang tertusuk sate. Membuat bulu kuduk berdiri, bukan?
Dalam penerbangan dari Honolulu ke Tokyo, pesawat saya yang sudah taxiing kembali ke tempat semula. Mengapa? Dari pengumuman awak kabin, kami diberitahu ada kerusakan mesin. Meskipun saya harus menginap semalam lagi di ibukota Hawaii dan mengakibatkan jadwal bicara saya kacau, saya memilih untuk bersyukur. Ketimbang tetap terbang dan tercebur serta terkubur di laut. “A quick watery grave” kembali melesak ke—memimjam istilah penulis novel detektif—sel abu-abu di balik kepala saya.
Dalam penerbangan Bandung-Jogja, pesawat saya juga di-delay sampai keesokan harinya. Dari seorang teman yang menanyakan hal ini ke ground crew, dia mendapat jawaban bahwa mesin pesawat rusak sehingga perlu diperbaiki atau… dicarikan pesawat pengganti. Hal terakhir inilah yang kami harapkan karena memperbaiki pesawat dalam semalam cukup berbahaya. Terbukti dengan jatuhnya Lion Air JT 610.
Di dalam suatu penerbangan malam—Surabaya-Singapura—cuaca buruk. Petir menyambar-nyambar. Saya yang duduk di tempat favorit saya—window seat—memilih untuk menyaksikan lukisan alam yang begitu indah dan memukau. Seorang yang duduk di samping saya berdoa dan heran melihat saya terlihat begitu santai, “Kok Anda tampak tenang?”
Saya menjawab, “Kalaupun pesawat ini jatuh, kita tetap berjumpa di udara ya?”
“Jangan mati dulu. Masih banyak pekerjaan yang bisa kita lakukan di bumi,” ujarnya mengingatkan saya.
Dia benar, saya benar
Dia benar. Saya juga benar. Kok bisa? Secara logika, jika dia benar, saya salah dong. Sebaliknya, jika saya yang benar, dia yang salah.
Banyak di antara kita yang terjebak dengan dikotomi yang tajam itu. Dua orang pegawai kelurahan mendatangi Pak Lurah untuk lapor.
Si A menjelek-jelekkan si B karena programnya tidak jelas. Setelah mendengar si A, Pak Lurah berkata, “A, kamu benar.”
Si B yang tidak terima ganti membalas melaporkan cara pelaporan si A yang ABS dan tanpa data valid. Setelah mendengar si B, Pak Lurah berkata, “B, kamu benar.”
Malam itu rapat berjalan amburadul tanpa keputusan. Si A pulang dengan bingung dan jengkel. Si B pulang dengan kepala pusing.
Istri Pak Lurah yang selama ini ikut ‘nguping’ rapat yang dipimpin suaminya itu protes, “Pak, Bapak ini gimana sih. Masa si A benar dan si B juga benar. Jadi pemimpin itu yang tegas begitu? Jangan plonga-plongo.”
Sambil tersenyum, Pak Lurah berkata, “Bu. Kamu juga benar!” Dasar sontoloyo!
Masalah ada pada sudut pandang
Bisa saja kita menyebut lurah di atas memimpin dengan grusa-grusu dan ugal-ugalan. Bisa juga menyebutnya plonga-plongo, bahkan sontoloyo. Apa pun! Yang jengkel bisa berkata, “Masukkan saja lurah semacam itu ke kardus!”
Namun, coba kita lihat dari sudut pandang yang berbeda. Kembali ke percakapan saya di tengah cuaca buruk di udara. Sahabat saya benar juga bahwa masih banyak hal yang bisa kita kerjakan selama kita masih bernafas. Setuju sekali. Namun, saya pun berhak membela jawaban saya. Jika saatnya sudah tiba, siapa pun tidak bisa menghalangi Tuhan untuk membawa kita ‘pulang’. Ketimbang membawa terlalu banyak beban sehingga kita tidak bisa ‘pergi’ dengan nyaman, mengapa tidak tinggalkan saja semua belenggu kehidupan di belakang kita?
Nah, sebelum ‘pesawat’ kita jatuh dan kita kembali ke ‘kardus’ eh ke rumah abadi kita, apa yang seharusnya kita lakukan?
Pertama, mempersiapkan diri dengan baik. Di tahun politik yang gaduh ini, mengapa kita ikut menyiram bensin di rumput yang kerontang? Bukankah lebih baik menyiram air dingin ke akar rumput agar kembali teduh?
Kedua, jatuhnya pesawat Lion Air mengingatkan kita bahwa setinggi-tingginya kita terbang, suatu kali bisa jatuh. Namun, jangan sampai kita terjatuh karena reputasi yang kita bangun sendiri.
Ketiga, sebelum kita jatuh ke tanah dan mati, pastikan bahwa benih yang kita tabur menghasilkan buah yang baik, besar, manis, dan tetap sehingga bisa dinikmati anak cucu kita. Apa Anda setuju?
* Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.