Berbicara mengenai keindahan alam dan taman-taman yang asri, negeri kita sesungguhnya tidak kalah dari negeri manapun di dunia ini. Apalagi Indonesia memiliki iklim tropis, dimana sepanjang tahun tumbuhan bisa menghijau dan bunga-bungaan bisa mekar, tanpa harus menunggu musim semi atau musim panas, seperti di negara yang mengenal 4 musim. Akan tetapi ada kekurangan yang hingga saat ini masih belum dapat diatasi, yakni: “sense of belonging”, yakni merasa ikut memiliki.
Tengok saja dimana ada taman yang bunganya sedang berkembang, tidak akan mampu bertahan, karena dipetik oleh tangan tangan iseng. Bahkan bunga yang begitu indah, dipetik hanya untuk dijadikan mainan anak. Mendidik anak-anak agar merasa ikut memiliki dan menjaga keindahan taman, tidaklah mudah, karena contoh-contoh buruk, justru diberikan oleh orang-orang dewasa, yang entah sadar ataupun tidak merusak keindahan yang ada, hanya karena iseng. Makanya, mendidik anak-anak agar tahu disiplin diri, sungguh tidak mudah, selama orang dewasa masih memberikan contoh-contoh buruk.
Disiplin Diri Sudah Mendarah Daging
Kemarin siang, saya dan istri mengujungi taman Wanyu-Wanyu, yang lokasinya berada di Kings Park yang ditumbuhi oleh bebungaan liar. Kami memilih menggunakan kendaraan pribadi untuk berkunjung ke sini, agar lebih bebas, kapan mau datang dan kapan mau pulang. Kalau menggunakan bis dan kereta api, memang ada tersedia, bahkan sebagai pemegang kartu Senior, kami mendapatkan fasilitas menggunakan angkutan umum, secara gratis, kecuali pada jam-jam sibuk. Namun naik bis dan kereta api, tentu harus menyesuaikan dengan jadwal bis dan kereta api. Karena itu, kami memilih menggunakan kendaraan yang merupakan hadiah dari putra kami, Irmansyah Effendi.
Setibanya di lokasi, tidak perlu membeli tiket masuk, bahkan parkir bebas sepanjang hari. Begitu kendaraan diparkir dan kami turun dan melangkah mendekati taman ini, dari kejauhan tampak seakan permadani yang sangat indah. Aneka ragam kupu-kupu yang berterbangan dari kembang ke kembang, tampak hidup berdampingan dengan lebah madu, yang juga mencari makannya di sana. Menyaksikan semuanya ini, menyebabkan kita jadi ingat, bahwa ternyata keberagaman dalam jenis dan aneka warna dari bunga-bunga ini, justru semakin semarak.
Coba bayangkan, andaikata semua kembang disini hanya satu warna saja, pasti tidak akan seindah ini. Sayang sekali, manusia tidak mampu memetik pesan moral yang dikedepankan oleh alam. Coba saja tengok, hanya karena beda warna kulit, beda asal muasal dan beda dalam keyakinan, orang saling menghujat, bahkan bisa saling membunuh. Suatu hal yang sangat mengerikan. Padahal, alam semesta dapat menjadi guru kehidupan bagi kita semua, bahwa perbedaan dan keberagaman, bila disikapi dengan bijak, justru akan menghadirkan keindahan hidup, seperti yang dicontohkan oleh bunga-bunga liar ini.
Tidak Ada Tangan Jahil
Di samping kami berdua, ada ratusan orang yang juga mengujungi lokasi ini. Karena Australia Barat merupakan negara yang terbanyak bunga liarnya di dunia, tak ada yang menginjak bunga dan tak seorangpun yang usil memetik bunga tersebut. Walaupun tidak tampak ada penjaga disana. Serta tidak ada tulisan: “DILARANG MEMETIK BUNGA” Agaknya semua pengunjung sudah memahami, bahwa bunga-bunga tersebut adalah untuk dinikmati keindahannya dan bukan untuk dipetik, apalagi dibuat mainan anak. Yang membuat kita kagum, disamping aneka ragam bunga-bunga liar yang berkembang disana, adalah masalah kebersihan. Walaupun pendatang sangat banyak dan membawa anak-anak mereka, namun tidak tampak sepotong sampahpun terserak ditanah. Keindahan, kebersihan dan keamanan, memang merupakan satu paket, yang dapat menjadi daya tarik, agar pengunjung mau datang dari jauh-jauh.
Tanpa terasa hampir setengah hari, kami menghabiskan waktu disini, untuk menikmati keindahan taman bunga liar dan sekaligus menikmati secangkir capucinno. Sebuah kenangan manis, menyertai kami dalam perjalanan menuju ke rumah.
Semoga suatu waktu, Indonesia juga bisa seperti ini !
Tjiptadinata Effendi