Natal, akhir tahun, liburan sekolah, kira-kira apa yang ada dipikiran kita? Ya pastilah liburan. Hal itu pula yang saya lakukan. Memanfaatkan waktu liburan anak, mendapat cuti di hari natal tentu tidak lengkap jika tidak jalan-jalan. Dan untuk tahun ini saya memilih untuk jalan-jalan ke Jogja, kota favorit saya.
Dari sekian banyak alternatif transportasi, saya memilih untuk naik kereta api ketimbang moda angkutan yang lain. Harga tiket sangat terjangkau, waktu tempuh bisa diprediksi, nyaman, dan yang paling penting, resiko kecelakaan terbilang sangat kecil dibanding transportasi lain menurut hemat saya.
Dalam perjalanan ke Jogja naik kereta api yang nyaman, entah mengapa saya teringat dua orang yang sebenarnya tidak ada hubungannya. Orang yang pertama adalah Ignasius Jonan dan yang kedua adalah Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan. Loh..apa hubungan keduanya dengan kereta api? lha inilah yang saya sendiri juga bingung. He..he
Bagi sebagian masyarakat, mungkin belum semua mengetahui bahwa saat ini layanan Kereta Api mengalami perubahan yang sangat drastis. Dulu, naik kereta ekonomi tak ubahnya uji nyali, menakutkan, sumpek dan keamanan tidak dijamin.
Pengalaman saya pernah membeli tiket kereta ekonomi Jakarta-Jogja sekitar sepuluh tahun yang lalu…
Waktu itu harganya kalau saya tidak salah 38 ribu rupiah. Ah..murah sekali pikir saya, daripada naik bis tiket 65 ribu ini separonya sudah bisa Sampai ke Jogja. Bukannya pelit, tetapi sebagai seorang pengangguran, saya sangat memegang teguh prinsip ekonomi yaitu “dengan modal sekecil-kecilnya untuk mendapatkan keuntungan yang sebesar-besarnya”. Artinya, dengan memangkas ongkos keberangkatan, selisihnya bisa di alokasikan untuk membeli nasi rames di kereta, dengan demikian nasib ” kampung tengah” terselamatkan.
Perjuangan dimulai saat akan membeli tiket. Antrian mengular, panas, desak desakan membuat badan saya terhimpit. Orang depan saya badannya bau ketek, belakang saya mulut bau jengkol teriak-teriak “ayo buruan yang didepan, ngantri nih!”. Sesak nafas deh pokoknya!
Rupanya ada orang yang jeli dan melihat adanya peluang usaha melihat saya mengantri. Seorang calo menawarkan bantuan untuk membelikan tiket tanpa harus antri dengan tambahan harga 10 ribu rupiah. Gayung pun saya sambut, saya yang memang sudah tidak tahan eneg dengan aroma antrian langsung menandatangani proposal penawaran jasa yang dia tawarkan. Dan benar saja, hanya dalam tempo 15 menit tiket sudah ada ditangan. Ujian pertama berjalan mulus…
Saya pandangi tiket ditangan, saya cari-cari nomor tempat duduk kok tidak ada, wah.. ini pasti penipuan nih. Saya cari cari calo yang tadi, rupanya sudah menghilang entah kemana. Saya mencoba bertanya kepada seorang bapak yang memakai baju satpam untuk meminta penjelasan. Belum sempat bertanya, bapak itu langsung bilang ke saya “lihat dibelakang tiket mas!” sepertinya bapak itu sudah memperhatikan gerak-gerik saya sejak tadi. Dan benar saja, saya perhatikan dibelakang tiket tertera stempel “BERDIRI”. Hmm..
Tibalah waktu keberangkatan. Lagi-lagi harus berdesakan, antri petugas melobangi tiket penumpang kereta api yang mirip kartu domino itu. Didalam stasiun sudah penuh orang berjubel-jubel. Ternyata bukan semuanya berstatus penumpang kereta, sebagian dari mereka adalah sanak saudara atau sahabat yang ingin mengantar. Maklum saja, bagi sebagian orang, stasiun biasanya menjadi tempat melepas kepergian orang yang mereka sayangi. Sehingga, ikut masuk ke stasiun untuk melepas mereka sampai kereta menghilang dari pandangan adalah suatu keharusan. Mirip-mirip Rahul yang ingin melepas Anjali dalam film Kuch Kuch Hota Hai lah…
Tak jarang saya turut menjadi saksi perpisahan yang menyedihkan, saling berpelukan, suasana haru biru berlinang air mata di pinggir peron stasiun menjelang kereta dilansir…sayapun kadang ikut larut dalam kesedihan mereka, bukan karena membayangkan kisah mereka, tetapi meratapi nasib saya sendiri yang juga tak kalah menyedihkan…
Sebagai penumpang yang independen, saya pun bebas memilih gerbong yang saya sukai. Toh di gerbong berapapun, tetap saja berdiri. Dan Ternyata di dalam kereta lebih sadis daripada diluar. Duduk di pintu samping dipinggir sambungan antar gerbong, depan saya adalah pintu toilet yang baunya tidak usah saya utarakan disini. Bercampur dengan asap rokok, pedagang asongan lalu lalang tak henti-hentinya menawarkan dagangannya. Aduh…
Belum sampai dua stasiun sudah ada yang merasa kehilangan dompet, tas, perhiasan, dan barang-barang lainnya karena copet merajalela. Untunglah saya tidak memiliki barang berharga. Selamatlah ya kan…
Aer..Aer..Aer..pop mie..pop mie, teh asin telur kotak, kopi..kopi..energen, nasi rames..nasi rames, lanthing..lanthing..untuk oleh-olehnya buk, koran..koran.. buat alas buk, kipas.. kipas. Dan aneka jajanan yang lain. Lalu pengamen datang silih berganti membawakan lagu Didi kempot, Iwan Fals sampai lagu ciptaan mereka sendiri mewarnai hari-hari saya dikereta siang yang panas itu.
Kemudian datang seorang anak membawa plastik hitam membersihkan plastik yang berserakan. Ternyata anak itu berharap dikasih uang alias ngamen. Tak lama berselang datanglah anak usia remaja menyemprot-nyemprotkan pewangi kolong-kolong kursi penumpang tanpa diminta. Dan ternyata anak itu juga meminta uang alias mengamen. Suram!!
Diujung gerbong suara anak kecil menangis menjerit-jerit sepertinya haus minta susu dan sumpek karena kereta panas. Tetapi sang ibu enggan berdiri karena memang tempat duduk sangat sempit. Duduk saling berhadap-hadapan dengan penumpang lain dengan dengkul ketemu dengkul, kemiringan sandaran kursi 90 derajat alias tegak lurus. membuat tulang belakang sakit dan jika duduk berjam-jam bisa mengakibatkan kelainan tulang belakang kifosis, lordosis maupun skoliosis.
Saya yang seorang diri saja sudah seperti ingin mengutuki memaki-maki diri sendiri apalagi jika harus membawa anak kecil dan anggota keluarga yang lain. Aduh..enggak deh..
Tetapi itu dulu, cerita lama. Sekarang semua sudah berubah. Masa suram perkeretaapian sudah berlalu. Kini layanan sangat mudah, nyaman dan teratur. Beli tiket bisa pesan jauh-jauh hari, jadwal keberangkatan dan jam kedatangan tepat waktu dan bisa diprediksi, yang masuk ke stasiun hanya penumpang, didalam kereta bersih, ber AC. Tidak ada lagi calo, tidak ada lagi pengamen, tidak ada lagi copet, tidak ada lagi pedagang asongan…
Dibalik berubahnya perkeretaapian di Indonesia saat ini, ada sosok yang begitu berani menegakkan aturan. Dialah Ignasius Jonan, sosok yang sudah berhasil mentransformasi PT KAI. Meski awalnya sulit dan ditentang banyak orang, Jonan bergeming, Jonan berhasil mendidik pola masyarakat yang salah.
Perubahan itu dilakukan Jonan dengan tegas tanpa pandang bulu. Mungkin ceritanya akan lain jika pedagang asongan di tiap stasiun difasilitasi, diberi lapak gratis di dalam peron stasiun oleh Jonan atas nama keberpihakan, sebagaimana yang Gubernur Anies lakukan di Tanah Abang. Mungkin liburan saya tak akan senyaman kali ini.
”Ini dari ketiadaan vested interest pada diri saya. Kalau tidak punya kepentingan tertentu, kita takkan ragu memutuskan atau berbuat apa pun,”- Ignasius Jonan
Terimakasih pak Jonan! Berkat keberaniannya, kini liburan kami nyaman dan menyenangkan. Karena Ignasius Jonan bukanlah Gubernur Anies.
Selamat natal dan tahun baru, selamat liburan!