Melbourne. Malam hari. Untuk merayakan wisuda anak sulung saya, kami sekeluarga makan di sebuah restoran Thai di wilayah Lygon, Melbourne. Tempat parkir penuh. Anak saya sampai memutar beberapa kali untuk mendapatkan tempat parkir. Akhirnya di sebuah gang, kami melihat ada sebuah mobil parkir di sana. Anak saya memutuskan untuk parkir di sana persis di belakang mobil kecil tadi.
Kami berlima makan malam dengan asyik sambil berbincang-bincang. Maklum Thai resto di Lygon ini memang sangat terkenal enaknya. Selesai makan, kami jalan kaki ke tempat mobil kami diparkir. Alangkah terkejutnya saya saat melihat di wiper ada surat tilang dengan denda $140. Makan malam kami jadi terasa tidak enak. Denda segitu bisa dipakai makan belasan kali oleh anak saya selama kuliah di Aussie.
Surabaya. Pagi hari. Karena sopir tidak masuk, saya mengantar anak bungsu saya sekolah. Karena kurang berhati-hati, saya menyerempet mobil tetangga yang diparkir persis di halaman rumah kami. Saya harus mengganti biaya pengecetan 850 ribu. Padahal, dia juga salah. Ketua RW sudah berkali-kali mengingatkan warga agar tidak parkir di depan rumah orang. Anak kost di depan rumah saya memang bandel karena terus-menerus memarkir mobilnya di sana.
Vancouver. Siang hari. Bersama James seorang sahabat, kami pergi ke Stanley Park tempat Brockton Point Totem Pole yang terkenal itu. Tempat parkir penuh dan tersisa hanya satu. Itu pun ada tanda untuk disable. Dengan santai James parkir di situ. Itulah the best parking lot di tempat wisata yang banyak menampilkan patung-patung Indian Amerika itu. Mengapa dia bisa parkir di sana? Soalnya sahabat kami itu memang memakai tongkat. Jadi kami mendapat privilege.
Perth. Sore hari. Saya bersama sahabat lama saya Daniel hendak pergi ke suatu tempat. Parkiran penuh. Seperti di Stanley Park, hanya tersisa satu untuk disable. “Kita parkir di sini saja ya?” ujarnya sambil hendak memarkir mobilnya di tempat bergambar kursi roda pakai cat biru.
“Lho, bukannya ini untuk disable?” tanya saya protes.
“Ya, nanti kalau turun you pura-pura pincang ya?” ujar sahabat lama saya itu sambil tersenyum. Saya tahu, dia hanya bergurau, karena dia tidak jadi ambil tempat parkir istimewa itu dan berputar sekali lagi untuk mencari tempat pakir lain yang masih tersedia.
Surabaya. Siang hari. Pasutri muda mengajak saya makan siang di sebuah mal di tengah kota. Meskipun kami sudah berputar-putar naik turun tempat parkir, tidak satu pun parking lot yang tersedia. Tiba-tiba istri teman saya berkata kepada suaminya, “Berhenti di sini sebentar dan kita tukar tempat.” Meskipun heran, sang suami turun dari mobil dan menyerahkan kemudi kepada istrinya. Sang istri dengan lincah memutar mobil dan parkir persis di depan pintu mal. Kok hebat? Ternyata di situ ada tulisan “Ladies Parking”. Wkwkwk.
Bicara soal parkir, DKI Jakarta—dan segera disusul kota lain, termasuk Surabaya—menerapkan peraturan daerah baru. Intinya, pemilik mobil harus mempunyai garasi di rumahnya. Jadi, kita tidak boleh lagi parkir sembarangan, meskipun di depan rumah kita sendiri. Jika di rumah kita tidak ada garasi, maka kita harus menitipkan mobil kita di tempat parkir umum baik yang berbayar maupun tidak. Jika tidak, pemilik akan dikenakan denda. Bahkan ada yang disegel mobilnya sampai diderek ke tempat aman.
Sydney, sore hari. Ketika makan siang bersama para sahabat, seorang sobat saya cerita. Suatu kali dia bersama temannya sedang makan siang di tempat seperti yang kami makan. Saat melongok jendela, dia melihat sebuah mobil diderek. Spontan dia nyeletuk, “Kasihan pemilik mobil itu. Eh, mobilnya mirip dengan mobilku.” Seusai makan, dia keluar dan kaget ketika mobilnya tidak ada di tempat. Rupanya mobil yang diderek tadi adalah mobilnya he, he, he.
Mengapa pengaturan dilarang parkir di jalan-jalan baru diterapkan sekarang? Saya percaya karena jumlah pemilik kendaraan yang semakin banyak sedangkan lahan jalan semakin sempit. Lahan jalan—terutama di perkampungan dan perumahan—yang dipakai untuk parkir menyebabkan gesekan antarpenduduk. Saya pun sempat jengkel dengan anak kost di depan rumah saya yang setiap hari memarkir mobil seenaknya. Vera, anak perempuan saya juga mengeluh saat tetangga sebelah memarkir mobil sehingga membuatnya susah mengeluarkan kendaran saat mau pergi.
Dampak buruk parkir sembarangan ternyata lebih parah dari sekadar pertengkaran antarwarga.
Yang lebih menjengkelkan lagi kalau ada mobil mogok atau rusak yang diparkir berhari-hari, berminggu-minggu, bahkan berbulan-bulan di tempat yang sama. Bukan hanya merusak pemandangan, tetapi juga mengganggu lalu lintas. Apalagi kalau sampai di tempatkan di jalan yang sempit. Seorang ibu bahkan melaporkan tetangganya sendiri karena suaminya yang sakit keras akhirnya meninggal dunia karena ambulan yang dipanggil tidak bisa masuk ke jalan di depan rumahnya karena terhalang sebuah mobil.
Bagaimana jika kita tidak punya garasi dan terlanjur punya mobil? Saya baca di media massa, pemkot memberi kelonggaran untuk segera membangun garasi di rumahnya. Bisa membeli mobil seharusnya bisa membangun garasi. Begitu yang menjadi alasan pemkot.
Lalu, mau dikemanakan mobil-mobil yang selama ini parkir di pinggir-pinggir jalan? Pemkot mengarahkan para pemilik mobil untuk membangun garasi atau—jika tidak memungkinkan karena rumahnya sempit—memarkir mobilnya di lahan-lahan atau gedung-gedung parkir. Di negara maju, orang biasa memarkir mobilnya di lahan-lahan atau gedung-gedung yang disediakan pemerintah dan melanjutkan perjalanan memakai trasportasi publik. Selama di Adelaide dan Sydney, kami sekeluarga pun melakukan hal yang sama.
Apa yang pemerintah perlu siapkan? Di samping sarana transportasi umum yang memadai, pemkot perlu menyediakan lahan atau gedung parkir yang dikelola dengan baik. Saya membaca seorang pria di Kansas, AS, ditemukan mati di kursi kemudi truknya di tempat parkir di depan terminal B bandara setelah delapan bulan meninggal dunia. Randy Potter, pria malang itu, diduga bunuh diri pada tanggal 17 Januari 2017 dan ditemukan sudah dalam kondisi berantakan pada tanggal 17 September 2017.
“Bagaimana mungkin hal ini bisa terjadi di Amerika?” ujar istri Potter, Carolina, kepada koran setempat. “Sebuah truk parkir di sana selama delapan bulan? Seharusnya dia sudah ditemukan lebih cepat jika tiap orang melakukan tugasnya dengan baik.” Dia menyindir petugas parkir dan orang-orang yang lalu lalang di sana.
Oleh sebab itu, peraturan yang baik seharusnya disertai dengan sosialiasi dan penerapan serta sarana penunjang yang baik. Bukankah begitu?
Xavier Quentin Pranata, dosen, penulis dan pembicara publik