Mendekati hari-hari menjelang idul fitri, selalu mengingatkan kenangan sekian puluh tahun yang lalu (duuh tua sekali aku yaa..??). Suasana di akhir ramadhan seperti pada saat ini, telah menjadi perhelatan besar yang harus dipersiapkan sebaik-baiknya untuk keluarga. Tentunya, salah satu sosok yang berperan dalam keluarga kita adalah mama.
Setelah melewati puasa sebulan penuh, tidak terasa, hari raya Idul Fitri akhirnya tiba. Bagi yang tinggal di Jakarta, hari-hari menjelang dan setelah Lebaran diingat sebagai “hari tanpa kemacetan nasional”.
Hari-hari mendekati hari raya idul fitri, selalu saja ditandai dengan kegiatan yang khas “menjelang lebaran”. Demam THR (Tunjangan Hari Raya) melanda dimana-mana, demikian pula kegiatan yang hanya terjadi sekali sepanjang tahun, yakni “mudik lebaran”.
Dulu saat aku masih sekolah, khusus di dalam lingkungan keluarga di kampungku akan terlihat kegiatan menyongsong datangnya hari Lebaran. Kegiatan khusus dan unik ini tentu saja diwarnai perubahan dari tahun ke tahun, menyesuaikan perkembangan zaman.
Banyak “kenangan manis” yang mengesankan dan sulit dilupakan kala aku menjalani masa kanak-kanak menjelang hari raya Lebaran. Kenangan yang dipastikan akan tetap abadi dan tidak mungkin terulang kembali. Pada waktu aku masih bersekolah di SD, saat itu masih bernama Sekolah Rakyat atau SR (di akhir tahun 1974 hingga SMA awal tahun 1981 an) bulan puasa benar-benar menjadi bulan idaman dalam arti sesungguhnya.
Kala itu setiap menjelang bulan puasa tiba hingga beberapa hari setelah lebaran, anak-anak sekolah memperoleh liburan panjang yang dikenal dengan liburan 40 hari. Liburan sangat panjang yang bila kita kenang saat ini menjadi satu hal yang sulit dipercaya. Liburan sekolah 40 hari?, namun itulah yang terjadi disaat itu. Menjelang Lebaran, papa dan mamaku menjadi super sibuk mempersiapkan kedatangan hari raya, di tengah ibadah puasa dan tanpa ada pembantu. Mama aku selalu membuat baju baru sendiri bagi anak-anaknya dari bahan sangat sederhana yang dibeli bersama beberapa keperluan lebaran lainnya di pasar raya di kotaku.
Mama membuat sendiri pola baju anak-anaknya yang sering disebutnya sebagai “patroon”, sebelum memulai menjahit baju. Patroon digambar terlebih dahulu di atas kertas koran bekas, kemudian digunting di atas meja. Dengan patron itulah mamaku memotong bahan baju untuk aku , kakak dan adik. Tentu saja, sebelumnya mama mengukur sendiri ukuran badan anak-anaknya dengan meteran kain yang sudah disiapkan. Saat itulah aku mengenal pensil merah biru yang diperoleh mama dari papaku untuk membuat patron baju. Potlot atau pensil merah biru adalah sebuah pensil dengan dua ujung yang dapat diraut dan masing-masing berwarna merah dan biru. Setelah bahan kain selesai dipotong, potongan-potongan itu digulung dan dilipat sekaligus dengan patron dari koran bekas kemudian diikat serta ditandai dengan nama aku, adik atau kakak. Potongan itu disimpan terlebih dahulu sampai tiba saatnya mama memiliki waktu luang untuk menjahit baju.
Dua minggu sebelum lebaran, terkadang juga sudah mepet beberapa hari jelang lebaran, baru mama menjahit pakaian buat kami semua. Tradisi saat itu hari lebaran harus memakai pakaian baru, karena dihari hari biasa jarang atau gak pernah bikin baju baru kalau gak perlu sekali..hehe.
Mama menjahit dengan mesin jahit “singer” yang digerakkan dengan kaki. Setiap mendengar suara mesin jahit berbunyi, aku, adik dan kakak berlari-lari mendekat, sekedar mengecek saja baju siapa gerangan yang tengah dijahit. Kemudian bertanya terus, kapan kelarnya Ma, kapan kelarnya?
Mamaku dengan sorot matanya yang tenang, lalu tersenyum dan menjawab “sabar ya, sabar ya, besok kelar”. Selain membuat baju baru untuk anak-anaknya berlebaran, mama aku juga membuat kue-kue lebaran sendiri. Yang dibuat mama biasanya kue semacam cake yang diatasnya ditutup dengan agar-agar dan terakhir ada putih telur yang dikocok sampai beku, seperti salju diatas cake, sebelum disiram agar-agar, cakenya ditusuk tusuk dengan lidi supaya agar-agarnya meresap. Dan kue kering yang dipanggang di sebuah “oven” kuno yang atasnya diberi arang panas agar kue matang merata bawah dan atasnya. Karena saat itu belum ada “blender” maka tugas anak-anak mengocok adonan telur dan tepung dalam sebuah baskom dengan menggunakan pengocok adonan yang berbentuk seperti “pegas” yang dibuat agar dapat lentur. Yang menyenangkan adalah saat melihat mama mencetak kue keringnya dengan cetakan kue. Sesekali anak-anak diberi kesempatan mencoba juga mencetak kue. Ada pola-pola bintang, segi empat dan lingkaran seperti pada umumnya kue kering yang kita kenal sampai dengan saat ini.
Malam lebaran, mama aku bisa dikatakan tidak tidur sama sekali, karena harus memasak opor ayam, rendang dan lontong. Dulu ketupat belum banyak yang buat dikampungku. Biasanya baru masak pagi hari menjelang subuh, dan diangkat dari dandang setelah direbus atau dikukus dan kemudian diangkat untuk disusun rapi di sebuah “tampah”.
Di masa-masa seperti ini, semua itu terkenang kembali, betapa indah masa kanak-kanak. Terlebih dari itu, aku menyadari betapa mama- ku sebenarnya memang seorang “super duper woman”. Bayangkan pada setiap lebaran, mama-ku menjahit sendiri baju-baju baru untuk anak-anaknya, menyiapkan makanan sendiri opor, rendang, lontong dan sekaligus membuat sendiri “kue lebaran” dan kacang bawang. Semua dikerjakan dengan senang hati serta sesekali penuh canda dan selalu melibatkan anak-anaknya pada setiap pekerjaan yang dilakukannya. Walau kami tidak banyak membantu tentu saja, akan tetapi di balik itu sebenarnya mama-ku mendidik anak-anaknya untuk “mandiri”. Aku sangat mengagumi dan sangat menghormati mama dan papa tercinta…
Kenangan masa kanak-kanak yang menyenangkan meskipun belum begitu mengerti makna puasa, Idul Fitri.. yang aku rasakan tiap bulan puasa, libur sekolah yang amat lama jadi bisa main dengan adik kakak dan teman sekitar rumah. Kami tinggal dikomplek perumahan, jadi amanlah untuk anak-anak bermain karena tidak jauh-jauh dari seputaran kompleks yang saling kenal satu sama lain.
Dirumah juga sebenarnya tidak pernah sepi penghuni, kami keluarga inti ada 7 orang, ditambah keluarga dari papa dan mama yang silih berganti ikutan tinggal bersama, senang sih karena rame terus. Tidak pernah terpikir juga bagaimana bisa mengatur keuangan rumah tangga waktu itu. Sangat salut buat kedua ortuku terutama mama, semua dikerjakan tanpa mengeluh, ya masak, bebenah, jahit baju lebaran untuk anak-anak perempuannya, itu juga tidak hanya 1 baju, setidaknya masing-masing 2 helai baju lebaran. Aku jadi berpikir..waktu itu “waktu” bukan 24 jam kali.. Heran, kok bisa si mama ngerjain semua? Kita tidak selalu punya asisten di rumah, nah anak-anaknya masih kecil-kecil..boro-boro bantu, ngerecokin malah, hahaha…
Kalau udah di pertengahan bulan, kita mulai ancang-ancang ngecat rumah, tapi tidak tiap tahun juga, kalau rezekinya kebetulan ada lebih. Yang mengecat ya adik-adik papa yang sudah remaja. Senang sekali mereka karena bisa bolos puasa, alasannya “kan kerja berat”, ada-ada aja..yaa dimaklumi saja karena belum dapat pencerahan mereka waktu itu.
Sehabis taraweh, yang seringnya kita ramai-ramai dengan tetangga taraweh dirumah, papa yang jadi imam. Kita keliling komplek dan bermain, main petak umpet, bawa lilin ditempurung kelapa, lilin juga dipasang dipagar, diteras dan lain sebagainya yang bisa dipasangi lilin.
Kembali ke cerita tentang baju lebaran, karena aku bertiga perempuan, bajunya kembaran dengan model yang lagi trend saat itu, ada satu baju yang sangat aku ingat, bagian roknya sekeliling dikasih hiasan tusuk silang, kebayang gak bikinnya ribet dan lama, mama memang super woman, aku aja gak mampu seperti itu..?
Dari pagi sesudah beberes rumah, mama mulai jahit menjahit, kadang juga terima permintaan tetangga yang minta jahitin baju juga. Dilanjutkan dengan masak buat buka puasa sekalian buat sahur. Malam mulai bikin kue kering untuk lebaran, kuenya bermacam macam dan pasti enak sekali..sekarang ilmunya turun ke adikku..kuenya enak2 (mudah2an dia juga baca jadi langsung dapat kiriman nih?).
Ketika menjelang momen bersiap salat Iedul Fitri, mama masih sempat membangunkan semua anggota keluarga.
Mama menjadi lebih proaktif ketika salat Idul Fitri tiba, untuk memastikan semua menjalankan shalat sunnah yang terjadi sekali setahun ini. Mulai dari subuh tiba, semua penghuni rumah dibangunkan dan disegerakan untuk mandi. Tidak lupa pula mama memeriksa baju baru anak anak, sehingga tampak rapi dikenakan nantinya. Meski terkadang mama tidak bisa ikut shalat karena halangan, tentu saja momen ini tetap menjadi hal yang kami rindukan di kala Lebaran.
Aku tidak habis pikir, sekarang kenapa aku seperti kehabisan waktu ya..tidak bisa seperti mama, yang semua dikerjakan sendiri dan punya waktu cukup..kemana waktuku habis yaa?
“My mother was the most beautiful woman I ever saw. All I am I owe to my mother. I attribute my success in life to the moral, intellectual and physical education I received from her” .
(George Washington)
Aku selalu berdoa untuk mama dan papa, agar Allah yang maha kuasa mengampuni dosa-dosa papa dan mama ku serta memberikan tempat yang layak disisiNya, sesuai dengan amal dan ibadahnya.
Kepada seluruh pembaca, aku sampaikan Selamat Hari Raya Idul Fitri 1 Syawal 1439 H.
Mohon Maaf Lahir dan Bathin.
Penulis: Ibu Diena Dwiriani