Ketika hidup morat-marit dan tinggal di pasar kumuh yang bernama Pasar Tanah Kongsi di Padang, saya mendapat nasihat dari Om saya “Jangan hidup seperti ayam!” Saya sungguh merasa terluka dan marah. Namun setelah merenungkannya, saya jadikan cambuk bagi diri, untuk segera bangkit dari mimpi buruk kehidupan.
Pesan ini sesungguhnya sudah sangat lama dikatakan oleh Om saya. Pada waktu mendengarnya, jujur saya merasa sangat tersinggung. Seakan saya disamakan dengan seekor ayam. Karena dalam situasi dan kondisi hidup yang morat-marit, menyebabkan tatanan ketahanan jiwa menjadi labil dan gampang sedih.
“Effendi. Om kasih tahu sama lu ya.. Hidup itu jangan seperti ayam. Mengais dari pagi hingga petang, hanya untuk dimakan sehari itu. Jangan lupa esok hari, belum tentu ada kesempatan untuk bekerja dan mendapatkan uang.“
Dijadikan Renungan Diri
Pulang dari rumah Om, saya tiba di tanah kongsi dengan wajah murung. Seluruh daya hidup saya seakan rontok dan tidak punya harga diri lagi. Karena dalam keadaan hati yang galau dan pikiran yang kusut, nasihat Om saya tadi, bagaikan sebuah palu yang menghantam diri saya.
Istri saya datang dan memeluk saya, namun tidak bertanya apa-apa. Menunggu hingga saya merasa diri agak tenang, saya ceritakan pada istri, apa yang telah terjadi. “Sayang, yang dikatakan Om tadi memang benar. Pasti bukan untuk mengejek kita, tapi justru untuk mendorong kita untuk bekerja lebih keras dan cermat.” Kata istri saya perlahan.
Saya hanya terdiam dan perlahan-lahan merenungkan dan menyadari bahwa terkadang nasihat lemah lembut tidak mampu membangunkan orang dari mimpi buruk kehidupan, makanya perlu nasihat yang terkesan keras dan kasar. Hanya karena kondisi kehidupan yang morat marit menyebabkan perasaan perasaan saya yang sangat sensitif. Malam itu saya tidak bisa tidur, karena seluruh alam pikiran tertumpu pada nasihat Om saya..Kalimat “Hidup jangan seperti ayam, seakan bergaung sangat nyata dan merasuk hingga ke relung-relung hati yang terdalam“, “Benar.. saya bukan ayam dan saya tidak mau menjadi seperti ayam. Yang hidup dari mengais dan kemudian berakhir di meja makan. Saya harus mengubah cara hidup. Harus membenahi cara kerja dan harus mengubah sikap mental..” kata saya berbicara pada diri sendiri. Kami butuh makanan untuk hidup, tapi bukan hidup hanya untuk makan.
Bangun dari mimpi Buruk
Inilah awal dari bangkitnha kehidupan kami. Keesokan harinya saya masih bekerja seperti biasa, tapi di sela-sela waktu yang kosong, saya mulai berkunjung ke kantor teman-teman saya yang sudah sukses. Yang selama ini tidak pernah saya kunjungi, karena merasa rendah diri.
Dari sinilah saya mulai belajar tentang berbagai jenis komoditas. Tentang Kopi, cassia dan cengkeh. Saya rundingkan dengan istri, bahwa setiap hari Minggu, akan ke kampung-kampung untuk mencoba belajar membeli biji kopi dan cengkeh. Tujuan utama adalah kota kecil Payahkumbuh. Karena kota ini merupakan tanah kelahiran kedua orang tua saya alm. Ada sanak saudara di mana saya bisa menumpang menginap. Sejak itulah secara perlahan, tapi pasti, saya sudah menapakkan kaki menjadi pedagang pengumpul. Walaupun dalam jumlah sekarung bekas karung terigu.
Beberapa Tahun Kemudian
Saya bersyukur sudah tidak lagi bagaikan seekor ayam yang mengais setiap hari untuk mencari sesuap nasi. Karena kami sudah menjadi pengusaha dan berkantor di Jalan Niaga, tepat berseberangan dengan Polsek Kampung Tionghoa. Motivasi Om saya, yang pada awalnya membuat saya sangat terluka, justru telah mengubah hidup kami.
Refleksi Diri
Terkadang nasihat yang lemah lembut, tidak mampu membangunkan kita dari mimpi-mimpi buruk kehidupan. Maka kita perlu ada orang yang memberikan suntikan pada telinga dan hati.Karena itu bila ada nada-nada keras yang ditujukan kepada kita, jangan cepat-cepat dianggap menghina kita, tapi perlu disikapi secara bijak. Karena mungkin saja, inilah jalan untuk membuka jalan bagi hidup yang lebih baik, seperti yang kami alami.
Ketika kami tahun lalu bernostalgia ke Pasar Tanah Kongsi dan menengok sebagian dari tetangga kami dulu, masih hidup dalam kondis yang sangat memprihatinkan, sungguh menjadikan rasa syukur kami berlipat ganda beratus kali. Karena, seandainya kami tidak berani keluar dari kehidupan di Tanah Kongsi, maka kami akan mengalami nasib yang sama, seperti apa yang kami saksikan. Pelajaran hidup ini, tidak saya temukan sewaktu duduk di bangku kuliah. Karena di perguruan tinggi, yang akan diperoleh adalah ilmu pengetahuan. Sedangkan yang didapatkan dengan belajar di Universitas Kehidupan adalah Ilmu Kehidupan yang sesungguhnya Salah satunya adalah “Jangan Hidup Seperti Ayam”
Bukan untuk pamer pencapaian
Artikel ini tentu bukan dalam upaya menampilkan pencapaian pribadi dan melecehkan orang orang yang masih hidup dalam keprihatinan yang amat sangat. Melainkan semata untuk memotivasi. Karena segala sesuatu yang kami miliki hingga saat ini, boleh jadi bagi orang lain, cuma uang recehan saja. Tulisan ini hanya merupakan salah satu cara dari diri saya untuk mengaplikasikan hidup berbagi, yakni bahwa nasib itu ada di tangan kita dan tak seorangpun dapat mengubah nasib kita kecuali diri sendiri.Seperti kata pribahasa “My destiny is in my hands and your destiny is in your hand.”
Hidup adalah sebuah pilihan dan setiap orang berhak memilih jalan hidupnya masing-masing. Tapi sekali salah memilih, kelak hanya akan meninggalkan penyesalan yang mendalam
Tjiptadinata Effendi