Setiap kali mendengar kata:”diskriminasi” kita merasa berang, karena merasa diri sebagai orang yang berjiwa nasionalis. Tetapi kalua kita mau jujur terhadap diri sendiri, sesungguhnya di depan mata kita, setiap hari praktik diskriminasi ini terus berlanjut sejak dulu hingga kini. Bahkan, jangan-jangan di antara anggota keluarga kita sendiri, adalah pelakunya.
Diskriminasi adalah membeda-bedakan orang, entah berdasarkan etnis, agama, maupun latar belakang sosial dan pendidikannya. Sesungguhnya, diskriminasi yang sejak dulu berlangsung hingga kini, hampir tidak ada bedanya dengan kasta. Tapi orang tidak mau mengakuinya. Bahkan bila diingatkan, bisa saja menyebabkan orang menjadi sangat berang. Tidak banyak orang yang mau dengan jujur mengakui, bahwa sesungguhnya di Indonesia, tanah air tercinta kita ini, memperlakukan orang berdasarkan “kastanya“, masih terus saja berlangsung, Dan pada umumnya, masyarakat seakan menerima memang begitulah seharusnya.
Dan bila secara halus, kita coba mengingatkan, agar jangan menerapkan kasta-kasta dalam berinteraksi dalam bermasyarakat, pasti akan menimbulkan kemarahan. Dan hubungan baik,yang selama ini terjalin,akan rusak karenanya, Akan tetapi bilamana tidak ada orang yang mau mengingatkan, maka berarti Indonesia sungguh-sungguh sudah membangun sekat yang membatasi, antara kasta tinggi dan kasta rendah.
Arti Kata “Kasta”
Kasta berasal dari “Casta” bahasa Spanyol. Casta artinya jenjang atau tingkatan yang terjadi dalam hierarki masyarakat. Mendengar kata “Kasta” maka anak-anak SD juga tahu, bahwa dalam agama Hindu merupakan dinding-dinding yang memisahkan atau membagi masyarakat ke dalam empat tingkatan, Yakni: Brahmana, Ksatria, Waisya dan Sudra.
Pernahkan menyaksikan tokoh masyarakat, tokoh agama, tokoh politik, pejabat, Boss besar yang mau duduk makan bersama sopir pribadinya? (Tentu bukan dalam kampanye). Atau istri Boss, yang mau duduk makan semeja dengan pembantu rumah tangga? Apakah seorang tukang kebun, boleh duduk makan semeja dengan tuan rumah? Pernah menyaksikan, tukang ngepel lantai, duduk minum kopi bareng tuan rumah? Dan yang membuatkan kopi untuk tukang ngepel lantai adalah tuan rumah sendiri?
Ingin Mengubah Dunia? Mulailah Dengan Diri Sendiri
Diskriminasi bukan hanya membedakan suku bangsa dan agama, tapi juga membedakan orang berdasarkan tingkatannya dalam kehidupan sosial. Bila yang datang adalah boss, atau pejabat, maka dipersilahkan duduk di ruang tamu. Tapi bila yang datang bertamu “cuma” tetangga, yang bukan orang penting, maka orang merasa cukup melayaninya di depan pintu pagar, sambil berdiri. Atau paling-paling, duduk di kursi taman, yang ada di teras rumah.Kita tidak setuju ada pengkastaan dalam masyarakat Indonesia, tapi mengapa kita sendiri mempraktikkannya?
Kata orang pintar bilamana ingin mengubah dunia, maka mulailah terlebih dulu dengan diri sendiri dan keluarga. Maka bila ingin menghapuskan prakek kasta di negeri tercinta kita, maka mulailah dari diri kita. Mulai hari ini, ajaklah sopir duduk makan bersama dengan kita, kalau tangannya kumuh, bisa diminta sopir cuci tangan terlebih dulu, sebelum menyentuh makanannya.
Kalau ada pembantu di rumah, maka mulai hari ini katakanlah pada istri dan anak-anak, bahwa mulai hari ini pembantu diizinkan duduk makan bersama di meja makan. Dan kalau ada tukang kebun, katakanlah pada anak dan istri jangan biarkan tukang kebun duduk makan di rerumputan. Tapi izinkanlah ia duduk di meja makan.
Mereka itu sama dengan kita, Mereka sesungguhnya juga tidak ingin menjadi pembantu rumah tangga, menjadi tukang kebun, atau menjadi tukang pel lantai. Maunya, kalau bisa mereka juga ingin menjadi boss, pejabat atau orang berkecukupan seperti kita. Tapi garis telapak tanganlah yang menghantarkan mereka, memainkan peranannya seperti ini.
Jangan lupa, yang hari ini menjadi sopir pribadi kita, bisa jadi 10 tahun kemudian menjadi boss yang lebih sukses dari pada kita. Hidup itu bersifat dinamika, berubah dari waktu ke waktu. Yang biasa di atas, bisa jadi turun ke bawah atau masuk bui dan yang hari ini kuli, bisa jadi kelak akan menjadi boss. Mohon jangan dilupakan hal ini.
Mantan Bos Jadi Pemulung
Saya sudah menyaksikan dengan mata kepala sendiri, mantan boss yang dulu pernah mengusir saya, di belakang hari saya jumpai sedang memungut kardus bekas di Kemayoran Jakarta Pusat. Saya mencoba mengejarnya dengan pemikiran mungkin saya bisa membantu ala kadarnya. Tapi mungkin saking malu, mantan bos saya berlalu dengan cepat dan tidak sempat saya temui. Rasanya tidak mungkin bisa terjadi demikian, namun fakta membuktikan, bahwa dalam hidup ini, apapun bisa terjadi.
Agar jangan sampai terjadi pada diri kita, janganlah sombong, sukses disyukuri, tapi tetaplah rendah hati
Mulai hari ini, ajak seluruh anggota keluarga kita, agar jangan lagi mempraktikkan diskriminasi dalam menjalani kehidupan. Jangan lupa, bahwa di dunia ini tidak ada yang abadi. Seperti kata pribahasa kuno ”Hidup adalah ibarat roda pedati sekali di atas dan suatu waktu bisa berada di bawah”
Tjiptadinata Effendi