Hari ini, Tepat satu tahun yang lalu…
“Ada lagi yang kulihat di bawah matahari: di tempat pengadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan, dan di tempat keadilan, di situ pun terdapat ketidakadilan”
Momen akhir tahun semestinya kugunakan untuk memikirkan dan menuliskan rencana-rencana yang akan kukerjakan di tahun yang baru. Persiapan menjelang liburan akhir tahun sekaligus merayakan natal bersama keluargaku…
Namun entah mengapa justru ingatanku melayang mengingat kisah pilu setahun yang lalu. Sebuah kisah pahit dan getir yang menguras hati dan air mata. Dan pena ini menuntunku kesana untuk menuliskanya…Ya tepat satu tahun yang lalu seorang anak bangsa menjadi korban kepicikan politisi busuk mengatas namakan agama, menjalani sidang pertama…
Maka mau tak mau, terpaksa aku harus mengganti lembar demi lembar kertas untuk menulis dan menulis lagi. Satu bait kutulis, tinta hitam berubah menjadi kelabu, kertas basah dan hancur, lagi dan lagi, terderai tetesan air mataku yang mengalir tiada henti…
Manusia normal yang memiliki hati dan perasaan pastilah akan merasakan hal yang kurasakan. Kecuali orang-orang yang hati nuraninya tumpul, yang hatinya telah berkerak dan membatu, yang hatinya hanya berupa bongkahan kelenjar penghasil empedu kebencian, sulit rasanya hati menghasilkan enzim yang bernama empati…
Coba bayangkanlah! Hati siapa tak hancur, perasaan siapa yang tidak terluka, melihat seorang yang sangat berjasa untuk Jakarta diperlakukan secara brutal dan sangat tidak adil…
Dia yang memiliki cita-cita membangun rumah sakit kanker beserta apartemennya bagi warga miskin, seorang yang berupaya keras memikirkan bagaimana warga miskin penderita kanker bisa mendapatkan perawatan yang maksimal dan kalaupun Tuhan berkehendak lain, mereka bisa meninggal dengan terhormat. Tetapi justru kini pria itulah yang di vonis, justru dialah yang menjadi pesakitan, justru dialah yang diperlakukan dengan sangat tidak hormat…
Dia yang berusaha agar warga Jakarta dipinggir sungai terbebas dari banjir, justru dia yang akhirnya terkena banjir. Banjir cacian, banjir makian, banjir sumpah serapah, bunuh..bunuh..bunuh…
Dia yang membebaskan warga dari pungutan liar preman, dia yang membebaskan warga dari pemalakan oknum PNS saat mengurus surat-surat, malah dia yang sekarang terkekang tak bisa bebas…
Dia yang bekerja sampai larut malam mengawasi uang rakyat dalam penyusunan anggaran, kini dia yang harus diawasi siang dan malam oleh sipir penjara…
Dia yang membina pedagang kaki lima agar tertib berjualan, sekarang dia menyandang gelar warga binaan…
Dia yang menyediakan lapak untuk berjualan, dia yang menyediakan RPTRA, ruang untuk warga dapat bercengkerama dengan keluarga dan tetangga, sekarang dia disana dipaksa duduk termenung menyendiri, jauh dari dari keluarganya yang ia cintai…
Dia yang bangun pagi-pagi agar dapat segera sampai di balai kota menerima aduan warga, sekarang dia hanya bisa mengadu kepada dinding penjara yang pengap, mengadu kepada kecoa yang mungkin lewat mencari sisa-sisa makanan…
Dialah Ahok, seorang martir korban kekejaman ambisi kekuasaan politisi busuk penjual surga…
Hari ini, Tepat satu tahun yang lalu…
Sejarah mencatat, sidang pertama menjadi saksi jiwa ksatria dan keberanianmu. Memakai baju batik motif warna cokelat kebanggaannya dia bacakan nota keberatan atas kasusnya. Dengan penuh percaya diri dihadapan hakim menyatakan bahwa sedikitpun dirinya tidak ada maksud menista agama islam, agama saudara angkatnya. Tatapannya seolah mengharapkan keadilan, percaya bahwa keadilan itu masih ada. Dia begitu yakin tidak bersalah. Dia lupa putusan bisa dibeli, dia lupa kebenaran bisa diputarbalikkan, dia lupa hakim juga manusia biasa yang mungkin tunduk pada kekuatan massa. Ahok begitu percaya kepada penegak hukum ditengah amburadulnya peradilan di negerinya.
Berapa orang yang takut dan kabur ke negeri orang untuk menghindari jerat hukum? Berapa orang yang berpura-pura sakit dan gila hanya untuk menghindari persidangan? Berapa banyak orang yang menempuh praperadilan atas penetapan tersangkanya karena takut fakta-fakta terbongkar? Berapa terpidana yang mengambil langkah banding karena merasa putusan tidak adil?
Namun dia tidak mengajukan praperadilan, dia tidak pura-pura sakit, dia tidak kabur ke negeri orang, dia tidak sekalipun mangkir selama 22 kali sidang 6 bulan lamanya, dan bahkan dia tidak melakukan langkah banding demi kepentingan bersama, demi warga dan negeri yang dicintainya…
Dia dengan gentle dan ksatria pasang badan menghadapi semua proses hukum. Dia bukan ayam sayur yang takut tajamnya pisau, dia bukan seorang pengecut, yang teriak-teriak dinegeri orang, tetapi kambing congek di negeri sendiri…
Hari ini tepat satu tahun yang lalu…
Dia begitu percaya Tuhannya. Berapa banyak orang yang mengaku beragama tetapi tidak memiliki iman kepada Tuhannya. Berapa banyak orang tidak sadar bahwa lari menghindar dari proses hukum sama saja dengan tidak percaya bahwa Tuhan itu adil. Tanpa sadar sebenarnya dia sedang menghina Tuhan.
Sebab jika seseorang tahu bahwa Tuhan adalah maha adil, lalu untuk apa lari dari proses hukum? Hanya berteriak-teriak mengancam-ancam orang yang menghina Tuhannya sedangkan dia sendiri menghina Tuhan dengan meragukan keadilanNya.
Aku melihat dia begitu percaya bahwa Tuhan tidak lepas kendali atas apa yang terjadi dengan dirinya. Dia sadar Tuhan ijinkan semua terjadi dalam hidupnya untuk membentuk dan memurnikan dirinya. Tetaplah kuat, pak! Tuhan mengasihimu…
Karena Ia tahu jalan hidupku, seandainya Ia menguji aku, aku akan timbul seperti EMAS”
Selamat ulang tahun, ketidakadilan!!
Jakarta, 13 Desember 2017
Danang Setiawan