Tulisan adalah gambaran dari jiwa Penulisnya
Walaupun bukan hari Kartini, tapi tentu tidak ada salahnya kita belajar dari sejarah hidup wanita asal Jawa ini. Tulisannya yang menimbulkan pro dan kontra, tentu tidak perlu dibahas disini. Karena pro dan kontra sudah ada sejak dunia terkembang. Kata orang, tulisan adalah gambaran dari jiwa penulisnya. Karena itu, untuk memahami jiwa Kartini yang sudah lama tiada, maka jalan satu-satunya adalah membaca tulisan yang sudah menjadi bagian dari sejarah hidupnya
Tiba-tiba mata saya bagaikan terpaku, membaca salah satu surat Kartini. Saya tidak tahu apakah diterjemahkan secara keliru dari bahasa Belanda atau memang tulisan ini aslinya dalam bahasa Indonesia?
Membaca setiap kalimat dalam surat ini, terasa bagaikan tersengat aliran listrik. Begitu keras dan menghujam. Hal ini telah mendorong saya untuk mengutip dan mempostingnya disini. Tanpa sama sekali bermaksud masuk kedalam konteks agama, melainkan semata untuk dijadikan renungan.
“Ya Tuhan, kadang-kadang saya berharap, alangkah baiknya, jika tidak pernah ada agama. Sebab, agama yang seharusnya justru mempersatukan semua manusia, sejak berabad-abad menjadi pangkal perselisihan dan perpecahan, pangkal pertumpahan darah yang sangat ngeri.
Orang-orang seibu-sebapa ancam-mengancam berhadap-hadapan, karena berlainan cara mengabdi kepada Tuhan yang Esa dan yang sama.
Orang-orang yang berkasih-kasihan dengan cinta yang amat mesra, dengan sedihnya bercerai-berai. Perbedaan gereja, tempat menyeru kepada Tuhan yang sama, juga membuat dinding pembatas bagi dua hati yang berkasih-kasihan.
Betulkah agama itu berkah bagi umat manusia? Agama yang harus menjauhkan kita dari berbuat dosa, justru berapa banyaknya dosa yang diperbuat atas nama agama itu!
(Surat Kartini kepada Ny. Van Kol, 21 Juli 1902 (dikutip dari blog forum lintas batas)
Membaca surat ini, sungguh membuat saya merinding.
Entah mungkin diri pribadi saya yang terlalu sensitif ataukah faktor usia yang sudah menjelang ke angka 76 tahun, membuat saya semakin rentan terhadap kalimat-kalimat yang mengandung pencerahan diri? Ataukah gabungan dari semuanya, yang menandakan bahwa diri saya adalah sosok yang melankonis? Entahlah. Jujur, saya sungguh tidak memiliki jawabannya.
Secara pribadi saya memaknai surat Kartini ini, tidak semata untuk kaumnya, yakni : “kaum wanita”, tetapi juga untuk semua orang. Masih menurut saya, sepotong surat ini, jauh lebih bernilai dari ratusan khotbah yang saya dengarkan di mimbar rohani dari agama manapun Bagi saya surat ini adalah sebuah pencerahan diri, bahwa setiap orang yang mengaku beragama, seharusnya senantiasa hidup dalam saling asah dan saling asuh. Saling mengasihi dan bukan sebaliknya.
Tapi apa yang kita saksikan belakangan ini, sungguh membuat kita merinding. Orang-orang yang menamakan dirinya tokoh agama, bukannya menebarkan kasih sayang, terhadap sesama manusia, malahan yang dilakukan adalah justru tebar kebencian.
Membaca surat surat kartini, saya jadikan introspeksi diri, apakah benar saya seorang beriman? Jangan-jangan agama hanya saya gunakan untuk pelengkap di KTP saja?
Saya publish tulisan ini, tanpa minta ijin kepada Kartini, karena surat Kartini sudah menjadi milik bangsa Indonesia dan saya adalah satu dari 260 juta orang Indonesia.
Tjiptadinata Effendi