Ketika saya kuliah di pascasarjana, seorang profesor yang pernah jadi rektor perguruan tinggi terkemuka dan pernah pula jadi Bupati, merasa gagal mendidik anak.
Ketika Orde Baru dia aktif sebagai akademisi juga aktif di partai politik. Di dua lembaga itu dia sukses. Menjadi rektor, menjadi Bupati hingga masuk istana. Semua cita dan angannya tercapai.
Ketika dia jadi rektor, pernah mahasiswa membawa parang ke kantornya. Dia gugup dan sangat takut. Dia bisa atasi dengan cara lembut mengatakan, “ada apa nak, semua bisa kita atasi”. Mahasiswa itu tiba-tiba menurunkan parangnya. Mereka bicara.
Setelah ditelusuri, mahasiswa itu lama tidak lulus dan kiriman uang dari orang tua lama tidak datang. Karena mahasiswa itu kesulitan, sang rektor menjadikan anak itu anak angkatnya. Dan, sukses seperti dirinya.
Profesor itu memiliki 2 anak biologis. Keduanya, gagal menurutnya. Kedua anaknya masuk ke ajaran “aliran keras”. Saya orang yang sangat toleran, liberal, rasional. Kedua anak saya pikirannya picik dan sangat tidak toleran. Saya merasa gagal, katanya.
Suatu ketika, anak saya yang meminta menikah. Saya senang. Tetapi, dia akan menikah dengan gadis yang membantu kami di rumah. Membantu kami mencuci baju, menyetrika, membersihkan rumah. Dia sudah lama dirumah kami untuk membantu kami. Saya kaget minta ampun.
Saya tanya, mengapa pilihanmu perempuan itu?. Anak saya menjawab,” di mata pencipta manusia sama, itu tertulis di kitab suci. Saya bingung mendengarnya. Rasanya, saya disambar petir. Padahal, dimasa kecil anakku itu jenius.
Saya jawab anak saya, ” baiklah”. Kita akan melamarnya. Sebelum melamar, saya jumpai orang tua perempuan itu. Saya bilang ke orangbtuanya, agar menolak lamaran kami. Orang tuanya setuju untuk menolak.
Ketika kami melamar, kami ditolak. Kemudian, saya bilang ke anak saya,” nak, di kitab suci, jika lamaran ditolak, tidak boleh memaksa”. Anak saya setuju. Loloslah kami.
Terus terang, saya mau katakan kepada kalian, jangan lalai mengurus anak karena kesibukan. Teramat berat resikonya seperti yang saya alami, kata profesor yang keilmuawannya itu sangat mumpuni. Profesor itu luar biasa prestasi akademiknya.
Dalam kehidupan sehari-hari, acapkali kita lihat orang tua yang cerdas, bijak, rendah hati dan berbagai ciri yang menyenangkan. Tetapi, ketika kita lihat anaknya, mellep ( tidak bergairah). Mengapa bisa terjadi?.
Saya amati hari demi hari. Saya tanya berbagai orang. Mengapa begitu?. Banyak pendeta khotbahnya disenangi orang, tetapi anak-anaknya mellep?.
Pengakuan profesor itu dan melihat orang tua “hebat” anaknya mellep tak luput dari perhatian saya.
Mungkinkah anak itu mellep karena ketika proses anak-anak dan remaja terabaikan?. Menurut profesor itu, dia terlalu sibuk dimasa meniti karir. Karir di kampus dan di partai politik Sibuk itu nikmat. Mengejar pwmgetahuan dan berpolitik itu nikmat.
Tetapi, kesulitan saya karena anak saya “gagal”. Di masa pensiun, cukup lelah mengurus anak dan cucu. Lelah, karena paradigma, nilai hidup saya dan anak saya berbeda.
Jadi, pengalaman profesor itu bisa pelajaran bagi kita.
#gurmanpunyacerita