Sebagai orang yang terlahir dan dibesarkan di Padang, maka kebiasaan tawar-menawar, sudah melekat pekat dalam diri. Walapun sudah banyak berubah, namun sesekali kebiasaan tersebut mencuat kembali ke permukaan. Bukan lantaran pelit, apalagi ingin menekan penjual, namun rasa seni berjual beli, kalau dulu justru nilainya terletak pada tawar menawar. Dan di era mileneal ini, satu-satunya pasar yang masih menerapkan sistim ini adalah pasar pasar tradisional. Walaupun tidak semua barang boleh ditawar, tapi masih ada peluang untuk meraskan sensasi tawar menawar, terutama bagi kaum wanita. Kalau berbelanja di Mall atau di supermarket, semua harga sudah dipasang label harga dan tidak bisa ditawar lagi.
Negara yang masih memegang tradisi tawar menawar ini, setahu saya ada di negeri China.Tapi saya sudah beberapa tahun tidak berkunjung lagi ke sana, boleh jadi sudah ada perubahan. Malahan pada waktu itu, ketika kami dibawa oleh pramuwisata ke tempat perbelanjaan, harga barang bisa dapat diperoleh hingga 50 persen dari harga yang ditawarkan
Karena itu ada persepsi yang keliru, bahwa orang yang senang tawar menawar adalah orang yang tipis rasa belas kasihnya. Jangan lupa, bahwa tidak semua pedagang itu jujur, apalagi bila yang datang berbelanja adalah orang asing, maka seringkali pedagang menggunakan taktik ”aji mumpung”, yakni bisa mengeruk keuntungan hingga 200 persen..
Membedakan Mana Yang Patut Ditawar
Tentu saja tawar menawar ini jangan diterapkan pada penjual bakso atau pedagang kecil lainnya, yang menawarkan buah papaya atau pisang. Masa iya kita tega menawar harga semangkuk bakso atau sepiring sate? Inilah yang dimaksudkan dengan kearifan hidup. Yakni dapat membedakan, kapan boleh tawar menawar dan kapan jangan menawar lagi. Kapan memberi dan kapan mencari keuntungan.
Bingung Ketika Bebas Menentukan Harga Barang
Nah, ternyata kemarin kami lagi berada di Bazaar yang diadakan di Whitford. Anehnya barang barang yang dipajang disana, tidak ada petugas yang melayani. Pokoknya silakan memilih barang barang yang dikehendaki dan kemudian tentukan sendiri harganya dan masukan pembayaran ke dalam kotak yang disediakan. Bukan hanya pembeli lain, tapi istri saya juga jadi bingung, mau bayar berapa? Ternyata jauh lebih enak melakukan tawar menawar dengan penjualnya, ketimbang disuruh menentukan harga sendiri.
Mau dibayar harga murah, rasanya tidak tegaan, maka terpaksa membayar dengan harga yang lebih tinggi. Secara psikologis, panitia yang menjual, sudah berhasil dalam taktik bisnisnya. Karena para wanita yang berbelanja Self Service, dengan apa boleh buat, terpaksa membayar barang-barang dengan harga yang lebih tinggi daripada biasanya. Misalnya satu set piring kaca yang terdiri dari 4 buah piring besar dan kecil, mau dibayar berapa? Semua barang adalah sumbangan dari berbagai pihak. Yang terdiri dari barang kebutuhan rumah tangga dan permainan anak-anak..
Nah, apakah ada yang berlaku curang, mengambil barang-barang seharga 100 dolar dan kemudian hanya memasukkan ke dalam kotak, uang recehan, tentu itu urusannya dengan Tuhan. Karena semua hasil penjualan, adalah untuk disumbangkan kepada para pengungsi dan orang-orang homeless.
Mungkinkah Hal Ini Diterapkan di Negeri Kita?
Sempat saya terpikir, mungkinkah cara seperti ini diterapkan di negeri kita? Yakni barang-barang dipajang dan kemudian disediakan sebuah kotak, dimana para pembeli menentukan harga barang dan memasukan uang ke dalam kotak? Tidak ada yang mengawasi dan tidak ada camera CCTV disana. Mungkin nggak ya?
Tjiptadinata Effendi