Bahwa Membantu Orang Lain Tidak Harus Menunggu Kelebihan
Dalam banyak hal, anak-anak perlu belajar dari orang tua. Karena orang tua, sudah pernah merasakan bagaimana menjadi anak-anak, sedangkan anak-anak belum pernah menjadi tua. Akan tetapi, ada kalanya kita sebagai orang tua, perlu belajar dari anak-anak kita. Terutama dalam hal menerapkan hidup berbagi.
Cobalah perhatikan, ketika anak kita sedang berdiri dan memegang sepotong roti keju dan ada anak lain, yang menengok dengan rasa sangat berharap. Maka anak kita menyodorkan roti yang ada di tangannya, sambil berkata “Ambillah, ini untuk kamu”. Padahal ia sendiri belum sarapan. Hal ini disebabkan, dalam berinteraksi terhadap lingkungan, anak-anak tidak menggunakan otak, tapi menggunakan perasaannya.
Sedangkan kita orang dewasa, sudah terbiasa menggunakan otak kita sehingga baru mau memberi, bila ada kelebihan.
Pengalaman Pribadi
Saya tidak ingat lagi, apakah sudah pernah menuliskan sepotong kisah hidup kami dimasa lalu. Kalaupun sudah, rasanya tidak ada yang salah.. Karena yang bisa basi adalah makanan, sedangkan kisah-kisah hidup sejati, tidak pernah basi, karena selalu ada hikmah yang dapat dipetik oleh orang lain. Dan apabila tulisan kita, mampu menggugah hati satu orang pembaca saja dan menjadi pencerahan bagi dirinya, maka tidak sia-sialah kita menulis. Tentu saja hal ini bukanlah patokan, melainkan hanya sekedar pendapat pribadi.
Ketika Hidup Kami Berada Di Titik Nadir
Malam itu hujan turun sangat deras dan hampir dipastikan, bila hujan tidak berhenti setelah dua jam, kami akan kebanjiran lagi. Karena pada waktu itu, seluruh ruangan di genangi air, sudah menjadi suatu hal yang rutin bagi kami, terutama dimusim hujan. Walaupun kejadiannya sudah sangat lama,namun kenangan masih melekat pekat, seakan baru terjadi kemarin. Saya dan istri beserta putra pertama kami, Irmansyah yang belum genap berusia 6 tahun, duduk di kedai yang sekaligus merangkap tempat tinggal kami.
Tidak ada listrik , karena sudah dua minggu aliran listrik diputus petugas, karena kami sudah dua bulan menunggak. Kami hanya ditemani sepotong lilin, sambil menikmati ubi merah rebus, yang masih hangat. Gaji sebagai guru, baru akan diterima 5 hari lagi, bersamaan dengan beras 9 kilogram, yang disebut dengan istilah tunjangan in natura. Gaji sebagai guru pada waktu itu, hanya mampu untuk bertahan hidup selama 2 minggu. Pada minggu selanjutnya, dengan menebalkan muka, sering kali kami harus utang dulu untuk sebungkus nasi rames, pada Koh San yang jualan nasi Padang dengan gerobak di depan bioskop Purnama pada waktu itu.
Karena utang sudah menumpuk 3 bungkus nasi rames, saya tidak berani untuk ngutang lagi. Apalagi melihat kondisi Koh San, yang hanya sedikit lebih baik dari pada kehidupan kami. Akan tetapi, mengingat anak dan istri belum makan maka rasa malu ini saya simpan dalam-dalam di hati. Syukur Koh San dengan senang hati mengatakan “Tidak apa-apa, kita sama-sama orang susah, perlu saling tolong menolong” Saya sangat terharu atas keikhlasan Koh San.
Ada Orang Datang
Tiba-tiba ada ketukan di pintu, yang mungkin lebih tepat dikatakan, ada orang yang menggedor pintu. Mungkin karena hujan deras dan kami tidak mendengarkan ketukan, maka ketukan pada pintu meningkat menjadi gedoran. Saya berdiri dan membuka pintu. Sebelum sempat saya persilakan masuk, seorang ibu sudah melangkah masuk dengan menggendong seorang anak, dengan menutupi tubuh anaknya dengan selembar plastik bekas. Ternyata bu Upik, tetangga kami, yang biasanya jualan sayur di kaki lima di pasar yang sama dimana kami tinggal.
“Maaf ya pa..bu., saya nyelonong masuk, karena dingin diluar dan anak saya sedang demam tinggi”, kata bu Upik dengan wajah memelas. “Ya nggak apa-apa bu, silakan duduk”, kata saya sambil menyodorkan sebuah kursi rotan yang sudah reyot. “Kalau boleh saya mau pinjam uang pak, untuk beli obat demam anak ini, Suami saya sedang kerja malam. Tak ada uang lagi dirumah“ Pinta Bu Upik
Saya dan istri terdiam, dalam hati saya berkata, “Bu Upik ini masuk di tempat yang salah. Gimana mau pinjamkan uang, kami sendiri untuk makan harus utang. Tapi suara saya bagaikan tersekat di kerongkongan, tak kuasa saya menolak, tapi juga tidak tahu darimana bisa dapatkan uang. Ada uang untuk modal jualan kelapa, kalau ini kami pinjamkan, berarti besok pagi, kami tidak ada lagi untuk modal jualan. Saya dan istri terdiam.
Tiba-Tiba Terdengar Ada Bunyi Sesuatu Yang Pecah
Tiba-tiba terdengar bunyi seperti ada sesuatu yang pecah di dalam. Saya ingat putra kami dan segera berlari ke balik dinding, dimana “kamar” tidur kami berada diikuti oleh istri saya. Begitu masuk,saya bagaikan terpaku, menyaksikan apa yang sedang terjadi. Tabungan putra kami yang terbuat dari tanah liat, sudah pecah berantakan di lantai. Putra kami memegang tempurung kelapa dan di dalamnya penuh dengan kepingan uang logam. Menyerahkan kepada saya dan berkata lirih, “Papa mama… ini semua uang tabungan saya.. Kita kasih bu Upik ya, untuk beli obat anaknya, Kasian pa maa”
Kami berdua tak kuasa menahan air mata dan memeluk putra kami dengan penuh rasa haru… Ya Tuhan… ternyata putra kami yang belum genap 6 tahun.. sudah mengajarkan kami, bagaimana sesungguhnya hidup berbagi. Bahwa untuk meringankan beban orang lain, tidak harus menunggu ada kelebihan.
Padahal uang tersebut dikumpulkannya selama berbulan-bulan. Setiap pagi, ketika anak-anak seusianya masih dikeloni ibundanya dalam selimut hangat, putra kami sudah bangun dan bekerja menolong mengumpulkan sabut kelapa. Karena pekerjaan saya adalah menjual kelapa yang sudah dikupas.. Sabut ini dikumpulkan dan setiap sore dijual kepada langganan kami tukang kue. Uang recehan hasil penjualan sabuk ini, saya berikan kepada putra kami untuk dimasukkan ke celengan yang terbuat dari tanah liat. Maksudnya bila ia berulang tahun, sudah terkumpul uang untuk sekedar beli sebuah kue tart kecil.
Memberi Dalam Kekurangan
Seluruh uang yang ada di tempurung, diserahkan ke tangan bu Upik, yang begitu terharunya, sehingga tak henti hentinya memeluk dan mencium putra kami. “Dalam setiap Sholat, ibu akan selalu ingat namamu“ kata bu Upik sambil memeluk putra kami.
Baru-baru ini Putra Bu Upik Menghubungi Kami Via WA
Kejadian ini sudah lama berlalu. Kini putra kami Irmansyah sudah tinggal di Perth, Western Australia. Baru-baru ini, saya mendapat pesan lewat WA dari seseorang yang bernama Syahrul. Yang memperkenalkan diri sebagai putra bu Upik, yang sudah sejak 9 tahun lalu almarhum. Namun kami belum sempat bertemu muka. Syahrul ini sudah menjadi pengusaha dan tinggal di Pekanbaru, Riau.
Kami belajar dari putra kami yang belum cukup berusia 6 tahun, bahwa untuk meringankan beban orang lain, yang jauh lebih menderita daripada kita, tidak harus menunggu dari kelebihan. Kita bisa tetap mengaplikasikan hidup berbagi dalam kekurangan.
Tjiptadinata Effendi