Beberapa waktu yang baru saja berlalu, dunia merayakan Hari Ayah internasional. Ada beragam kisah tentang ayah, yang tak kalah seru dibandingkan dengan kisah-kisah di hari ibu. Sebagai seorang ayah, tentu saja hal ini patut dijadikan refleksi diri, apakah saya sudah menjadi seorang ayah yang baik bagi anak-anak kami?
Yang dapat menjawab secara tepat apakah diri saya adalah seorang ayah yang patut diteladani atau tidak, tentu adalah hak dari anak-anak kami. Yang dapat dilakukan sebagai seorang laki-laki yang dipanggil “ayah” atau” papa” adalah melakukan introspeksi diri.
Berusaha Memberikan Yang Terbaik Bagi Anak Anak
Menurut perasaan saya, sebagai seorang ayah, sejak anak pertama kami lahir saya sudah mempersiapkan diri secara mental dan fisik. Secara mental adalah bangun di tengah malam, kapan saja anak kami menangis baik karena haus dan lapar ataupun karena minta kain popok diganti. Dan kalau anak kami demam, siap dengan rela ikut berjaga sepanjang malam dan tidak membiarkan ibunya berjaga seorang diri.
- Ketika anak butuh susu namun tidak cukup uang untuk membeli sekaleng susu, maka sebagai seorang ayah, saya siap untuk menebalkan wajah, minta kepada penjual susu di pondok, agar kekurangan uang dapat dibayar secara mencicil.
- Ketika anak sakit dan tidak ada uang untuk membiayai ke dokter, maka dengan rela menjual cincin kawin, yang penting anak dapat berobat dan sembuh
- Ketika hujan lebat, maka demi anak, saya siap membuka jaket dan mengenakan kepada anak, agar jangan sampai kehujanan.
- Ketika tidak cukup makanan di rumah, maka sebagai seorang ayah, saya siap menahan lapar, asal saja anak dan istri bisa makan.
- Ketika berdoa, saya tidak pernah berdoa untuk diri sendiri, melainkan berdoa untuk anak-anak dan istri
- Ketika anak sakit, maka sebagai seorang ayah, melupakan rasa sakit pada diri sendiri, karena kepentingan anak adalah prioritas utama
Apakah Berarti Saya Sudah Menjadi Ayah Yang Baik?
Jawaban yang jujur adalah belum tentu! Karena kalau ada hal-hal yang baik dari diri kita, maka bukan kita yang menilainya, melainkan orang lain dalam hal ini adalah anak-anak kami.
Bagaimana atau di mana posisi saya, sebagai seorang ayah dalam hati anak-anak kami? Tentu hanya mereka yang tahu. Setelah melakukan refleksi dan introspeksi diri, sebagai seorang suami dan sekaligus seorang ayah, saya sudah memberikan yang terbaik dalam hidup saya bagi anak-anak. Bila harus memilih antara dua kepentingan, yakni antara kepentingan diri dan kepentingan anak anak, maka saya selalu menomorsatukan kepentingan anak-anak.
Karena begitu seorang pria memutuskan untuk menikah, maka sejak saat itu ia tidak hanya bertanggung jawab atas diri sendiri, melainkan bagi istri dan anak-anak yang akan dilahirkan kelak. Tidak mudah memang mengenyampingkan egoisme dan mendahulukan kepentingan anak dan istri, tapi itulah salah satu tugas dari seorang suami dan ayah
Bersyukur Anak-Anak Menyayangi Kami
Ada rasa syukur yang mendalam bagi saya pribadi, sebagai seorang ayah, setelah saya dan istri bersama-sama menanggung beban hidup demi untuk membesarkan anak-anak kami, maka di hari tua, kami merasakan kebahagiaan tak ternilai, karena disayangi anak-anak.
Bahkan saya masih diajak main Drone oleh putra kami yang sudah berkeluarga dan punya anak mantu. Begitu pula ketika berada di Jakarta, putra kedua kami, tidak pernah absen mengajak kami makan malam bersama.
Begitu juga ketika mengunjungi putri kami, selalu ada saja yang dibelikan untuk kami, baik dalam bentuk makanan, maupun keperluan lainnya. Kami tidak pernah sekali juga meminta, tapi ketiga putra putri kami selalu memberikan kami sesuatu dengan penuh kasih sayang.
Merawat kasih sayang dengan anak-anak, hingga mereka berkeluarga dan kita sebagai orang tua sudah menua, sesungguhnya tidak perlu memahami hal hal yang rumit-rumit. Karena sangat sederhana, yakni mengasihi mereka dengan setulus hati, melebihi kasih terhadap diri sendiri.
Tjiptadinata Effendi