Kontras dengan keramaian di sekolah luar biasa yang berjarak tak sampai 200 meter, SMP ini tampak lengang.
Kompas.com berkunjung ke SMP swasta tersebut pada Senin (15/7/2019) sekitar pukul 09.00 WIB. Hanya ada satu pegawai berkaus oblong di halaman sekolah tiga tingkat itu.
Terdengar lantunan mengentak mars kebanggaan sekolah yang berasal dari salah satu kelas di lantai dasar.
“Seperti yang bisa dilihat sendirilah, ya begini sepi. Siswanya sedikit,” ujar Wakil Kepala SMP tersebut.
Dia mewanti-wanti agar nama SMP swasta yang sudah berdiri lebih dari 30 tahun ini tak dicantumkan, baik dalam tulisan maupun visual.
SMP swasta ini baru saja menorehkan catatan terendah jumlah siswa yang diterima dalam satu tahun ajaran.
“Dua orang,” katanya ketika ditanya mengenai jumlah siswa baru yang diterima di sini.
“Memang sudah berapa tahun ini sepi,” kata dia.
Hanya dua siswa yang masuk ke SMP swasta tersebut pada tahun ajaran kali ini.
Wakil Kepala SMP itu menyebut, SMP ini merupakan sekolah umum. Sekolah ini bukan sekolah agama dan bukan sekolah untuk anak berkebutuhan khusus.
Tahun lalu, jumlah siswa yang mendaftar di sekolah juga tidak banyak. Jumlahnya masih satu digit, yaitu lima siswa saja.
Dia pun menjelaskan soal entakan mars sekolah yang berasal dari dalam kelas.
“MPLS (masa pengenalan lingkungan sekolah) buat siswa baru saya gabungin (dengan kakak kelas). Biar ramai,” kata dia.
MG, salah satu siswa baru SMP swasta tersebut, tak tampak risih dengan keadaan sekolahnya. Dia tampak senang di hari pertamanya mengenakan celana biru tua.
Selanjutnya, dia mulai berbaur menikmati jam istirahat dengan beberapa kakak kelasnya yang baru saja ia kenal saat menyanyikan mars sekolah di dalam kelas pagi tadi.
Wakil Kepala SMP ini mengatakan minat orangtua sebenarnya cukup tinggi saat mendaftarkan anaknya ke sekolah ini.
“Tanya informasi banyak ke sini. Intinya ya calon siswa masih menunggu PPDB, tapi PPDB kan enggak selesai-selesai,” kata dia, merujuk dua kali tahapan PPDB Kota Bekasi yang digelar masing-masing sepekan selama awal Juli.
Dari sekian peminat, faktanya, hanya ada dua orangtua yang sedari awal sudah mantap menyekolahkan putranya di sini.
“Dari awal mereka sudah daftar di sini, (saya tanya) ‘Enggak ke SMP negeri?’. ‘Di sini saja’. Langsung bayar,” kata wakil kasek.
Kakek MG merupakan salah satu orangtua yang mantap itu. Sebagai warga lokal yang juga tinggal di sekitar sekolah, ia mengaku mantap menyekolahkan cucunya di SMP swasta ini karena mengenal reputasinya.
“Dari tetangga juga tahunya bagus ini sekolahnya. Masyarakat bilang bagus, aman. Dia kan anaknya ada kelebihan, menurut saya aman,” kata WH, kakek MG, saat menanti cucunya pulang.
WH pun mengaku tak ambil pusing dengan sedikitnya jumlah teman MG di sini. Malah, baginya, hal tersebut jadi salah satu bonus.
“Enggak masalah. Kalau disekolahin di tempat yang ramai terus diapa-apain sama teman-teman bagaimana?” kata dia.
Biaya operasional bengkak
Wakil Kepala Sekolah mengaku hanya bisa manut terhadap keputusan yayasan. Jika yayasan memutuskan SMP swasta ini tetap hidup, ia akan menjalaninya sepenuh hati.
“Kami mencoba memberikan yang terbaik saja. Berapa pun yang masuk, kami antarkan dia sampai selesai,” ucap wakil kasek.
“Batas penerimaan siswa nanti dibatasi, di-cut-off, kapannya dari negara. Kalau bisa juga kita enggak akan tutup penerimaan,” katanya.
Tetap memberikan pelayanan pendidikan meski jumlah murid hanya sedikit. Artinya besar pasak daripada tiang. Di luar honor guru saja, gedung sekolah tiga lantai itu butuh perawatan.
Wakasek akhirnya memutuskan, kegiatan belajar di sekolahnya memakai sistem moving class. Tujuannya agar ruangan-ruangan kelas yang tak terpakai bisa digunakan dan tetap terawat.
Hanya, untuk menghemat biaya operasional, pendingin ruangan tak lagi digunakan.
“Tadinya ada 12 kelas, sekarang tinggal 3, kami siasati moving class saja. Kami buat ruang musik, termasuk ruang (belajar) agama. Ruangan enggak dipakai kan rusak. Meja dan kursi lapuk, pasti. Peralatan elektronik, keyboard, organ, seperti angklung-angklung juga. Angklung enggak pernah dipakai kan lembab, lembab suaranya berubah,” kata Wakil Kepala Sekolah.
Kerusakan memang sudah terlihat di sekolah tiga lantai itu. Langit-langit lantai tiganya lepas, lantainya menguning, akses menuju aula dikunci karena tak signifikan lagi fungsinya.
Di sisi lain sekolah, kolam beton yang baru separuh jadi tak dilanjutkan pembangunannya.
Wakil Kepala Sekolah menyebut, sumber pendanaan operasional sekolah praktis tinggal mengandalkan dana yayasan yang diperoleh dari hasil subsidi silang dengan SMP-SMP swasta naungan yayasan yang masih banyak peminat di Jakarta. Tanpa itu, keuangan sekolah defisit.
“Listrik bagaimana? Telepon gimana? PBB juga gimana? Belum sampah, gaji guru. Defisit. Yayasan minta laporan keuangan, ya saya kasih saja tagihan listriknya langsung. Mau ngelaporin apa lagi?” kata dia.
Tanpa ingin menyalahkan siapa-siapa, dia hanya ingin bertahan sebisanya di sekolah yang entah berapa lama akan bertahan itu.
“Saya tidak mau menyalahkan siapa punlah, lihat sendiri saja. Kami mencoba memberikan yang terbaik saja,” katanya.
Aksi demonstrasi
Sekretaris Badan Musyawarah Perguruan Swasta (BMPS) Kota Bekasi Ayung Sardi Dauly mengonfirmasi bahwa sejumlah sekolah swasta di Bekasi kekurangan siswa sejak 2017.
Ia menyebut, ada beberapa sekolah swasta yang jumlah siswa barunya hanya satu digit, hingga tutup karena tak mampu lagi beroperasi.
“Data siswa baru tahun ini kami masih menghimpun. Sudah ada yang diketahui tidak terima siswa lagi tahun ini, tidak operasional lagi,” ujar Ayung ketika dihubungi, Senin petang.
Ayung mengatakan, BMPS berencana menggelar aksi unjuk rasa di depan Kantor Wali Kota Bekasi, Selasa (16/7/2019).
Aksi tersebut untuk memprotes Pemerintah Kota Bekasi yang dinilai tak sepenuh hati memperhatikan sekolah-sekolah swasta.
Sumber: Kompas.com