Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Tahun 2013 Prof.Yohanes Surya bercakap-cakap dengan saya. Salah satu isi percakapan kami adalah bagaimana mengakomodasi anak-anak lulus Sekolah Menengah Atas (SMA) yang keinginannya tinggi kuliah tetapi tidak ada biaya? Menurut guru besar di bidang Fisika itu salah satu jalan adalah memberikan beasiswa kuliah. Setelah mereka mendapat beasiswa, adalah biaya hidup (living cost).
Dua hal itu bisa kita bedakan. Kita bisa cari orang tua yang sanggup biaya hidup dan orang tua yang tidak sanggup dua-duanya. Biasanya, banyak orang tua yang hanya sanggup biaya hidup. “Coba kita telusuri”, Katanya. Juga ada orang atau sponsor yang mau bantu anak-anak.
“Saya meyakini bahwa pendidikan yang menjadi keajaiban untuk sebuah keluarga keluar dari kemiskinan dan kebodohan”, Katanya. Jika kita memberikan uang sebanyak apapun, masyarakat tidak akan bisa mengelola dengan baik tanpa pendidikan. Jika kita berikan beasiswa kepada salah satu anggota keluarga, maka dialah membawa keluarga itu dari kemiskinan berkelanjutan.
Setelah banyak hal kami percakapkan, kami pun berpisah. Dan, saya mencari puluhan anak-anak lulusan SMA/SMK yang ingin kuliah tetapi tidak kuliah karena terbentur biaya kuliah.
Prof. Yohanes Surya meminta agar mengutamakan anak-anak Banten karena kita tinggal di Banten. “Masa kita tinggal di Banten tidak berdampak bagi rakyat Banten?” Tantangnya dengan antusias. Permintaan itu pun saya penuhi.
Karena itu, cukup banyak yang saya rekomendasikan dari Banten ketika itu. Dari Banten, Riau, Sumut cukup banyak. Salah satu yang paling unik adalah anak SMA dari Sibolga. Anak itu saya tahu dari sahabat saya Robert Hutagalung. Robert Hutagalung mengatakan bahwa ada anak Sibolga yang ingin sekali kuliah tapi terkendala biaya. Saya pun mengiyakan. Tetapi cukup lama saya tunggu, tidak ada datanya. Lalu, saya telpon langsung. Si anak itu mengatakan, keluarga ragu. Takut penipuan. Saya kaget atas pengakuan itu. Bagaimana iya caranya untuk meyakinkan bahwa saya bukan penipu?
“Begini saja deh, adik agamanya apa?”
“Kristen” Jawabnya
“Gereja dimana?”
“HKBP” Jawabnya
“Kalau begitu, kasih telpeonmu ke pendetamu supaya saya berbicara langsung”
Anak itu berlari menuju rumah pendeta. Pendeta itu perempuan dan satu marga dengan istri saya. Dan, pendeta itupun ragu. Kemudian, saya tanya pendeta itu lulusan sarjana Teologia darimana? Pendeta itu menyebut Sekolah Tinggi Teologia dari Siantar. Saya sebutlah nama-nama dosen di Sekolah Tinggi Teologia itu dan nama-nama pendeta di HKBP. Barulah pendeta itu menyetujui anak itu untuk datang ke Tangerang untuk kuliah.
Setelah disetujui pendeta, masih ada kendala. Ongkos ke Tangerang. Ongkos naik bus ALS. Semua bisa kami atasi. Beberapa hari kemudian, anak itu menelpon saya dan mengatakan bahwa dia sudah tiba di loket ALS tetapi kopernya diturunkan kernet ALS di Lampung. Data-data untuk kuliah pun hilang. Luar biasa. Bajunya hanya yang melekat di badan. Syukur istri saya membelinya dan bisa mendaftar kuliah.
Bagaimana dengan tempat tinggal dan biaya hidup? Karena tidak ada jalan keluar maka anak itu tinggal di rumah kami.
Hari Sabtu 13 Oktober 2018 anak itu diwisuda. Wisuda itu dihadiri kedua orang tuanya dari Sibolga. Kami amat bangga anak itu lulus dengan baik. Selama di rumah, anak itu gigih belajar. Aktif di gereja dan paduan suara di kampusnya. Di gereja pun aktif menjadi pemimpin pujian kepada Tuhan.
Kini dia bekerja di perusahaan perbankan nasional dan cukuplah gajinya untuk bayar ongkos orang tuanya. Saya senang melihat anak itu karena keberanian tanpa modal. Dia meyakini bahwa pendidikan akan membawanya akan masa depan cerah. Dengan kesarjanaan dan semangatnya akan banyak berbuat banyak untuk merubah dirinya, keluarga, kampungnya dan bangsanya. Majulah Pendidikan Indonesia
#gurmanpunyacerita