Di jaman modern ini, ”home sweet home” hanya merupakan sebuah dongeng dalam kisah 1001 malam. Makna “rumah sebagai istana” bagi keluarga, sudah sejak lama ditinggalkan… Mengapa?
Karena orang sibuk berpacu berebut rejeki .Bahkan tidak sedikit orang yang sudah hidup mapan, namun masih terus mengejar kekayaan, sehingga tanpa sadar mengorbankan keharmonisan dalam rumah tangga.
Demi Popularitas diri, hingga lupa hal yang lebih penting
Seorang mahasiswa asal Cina, bertamu ke rumah putri kami. Namanya Chin Yau baru 3 bulan berada di Wollongong, untuk melanjutkan studynya di bidang bisnis. Dalam percakapan, putri kami bertanya, biasanya selama 3 atau 4 bulan pertama, mahasiswa yang meninggalkan negerinya dan kuliah di Australia, mengalami home sick. Bagaimana dengan anda Chin Yau? Tanya putri kami “Hmm I miss my dog …really “ jawab Chin Yau.
Tentu saja,kami sangat kaget mendengarkan jawabannya. Dan ia sama sekali tidak bercanda, malahan tanpa diminta, ia menjelaskan bahwa di negeri asalnya, kedua orang tuanya sangat sibuk. Pagi berangkat kerja dan pulang malam hari. Bahkan dihari libur, mereka juga sibuk dengan kunjungan kerja. Sejak kecil, ia hanya ditemani seekor anjing di rumahnya. Yang menjadi sahabat dan keluarga paling dekat dengan dirinya.
Karena itu, ketika meninggalkan rumah dan kampung halamannya, Chin Yau sama sekali tidak merasakan kehilangan kedua orang tuanya. Walaupun mereka sudah bekerja keras siang malam, agar dapat menyekolahkan dirinya ke Australia, dengan biaya yang sangat besar.
Sepintas, mungkin kita bisa mengatakan bahwa Chin Yau adalah anak yang tak tahu membalas budi. Namun ia menjawab dengan tulus, bahwa saat-saat berada di Australia, yang paling dirasakan adalah kehilangan anjingnya. Walaupun bukan berarti ia tidak mencintai kedua orang tuanya.
Jangan sampai salah memilih jalan hidup
Bagi yang hidup di kota, terutama di kota-kota besar, maka suka ataupun tidak, kalau mau bertahan hidup harus ikut berpacu dengan waktu. Berangkat kerja sebelum matahari terbit dan baru kembali ke rumah setelah matahari terbenam. Tidak jarang terjadi, seorang ayah jarang ada kesempatan untuk bersama-sama seluruh anggota keluarganya. Karena sewaktu berangkat kerja, anak-anak belum bangun dan istri sibuk di dapur mempersiapkan sarapan untuk suami dan anak-anak. Bahkan cukup banyak suami sarapan di perjalanan menuju ke tempat pekerjaan atau hanya cukup dengan secangkir kopi.
Ketika pulang di malam hari, anak-anak sudah tidur. Hidup dalam berpacu dengan waktu, menyebabkan secara tanpa sadar, orang kehilangan kesempatan untuk memanfaatkan moment-moment yang sangat berharga bersama keluarga. Bahkan seringkali, ulang tahun istri dan anak-anak juga bisa terlupakan, bila tidak ada yang mengingatkannya.
Manusia memang bukan robot, tapi menjalani rutinitas hidup secara berkepanjangan, tanda jeda waktu bagi diri sendiri dan keluarga, sudah tidak lagi beda jauh dengan robot. Karena dalam pikirannya hanya ada:
- Bangun subuh
- Mandi
- Berangkat kerja
- Pulang malam
- Mandi
- Tidur
Jangan Lupa Hukum Prioritas
Sesibuk apapun diri kita, sesungguhnya selalu ada waktu walaupun hanya sejenak, yang dapat diefektifkan bersama keluarga. Setidaknya pada hari Sabtu dan Minggu. Untuk menciptakan keharmonisan dan kedamaian dalam rumah tangga, tidak harus menunggu hingga hidup serba berkecukupan. Yang terpenting, adanya cinta kasih yang tulus di dalam keluarga. Jangan sampai, begitu terobsesinya mengejar materi, sehingga justru kehilangan sesuatu yang tidak ternilai, yakni kasih sayang anak dan istri.
Seorang suami sebagai kepala rumah tangga, memang berkewajiban untuk bekerja mencari nafkah untuk keluarga, tapi bukan diciptakan sebagai mesin pencetak uang untuk keluarga. Seharusnya terlebih sebagai pelindung bagi istri dan anak-anaknya. Kelelahan dan stress akibat dari hidup yang monoton dan membosankan, akan membuat orang terjebak menjadi lepas kendali diri. Tanpa sadar, dirinya yang tadinya adalah sosok yang penuh belas kasih dan kedamaian, entah sejak kapan, sudah berubah menjadi pemberang dan emosional.
Ia bukan lagi menjadi pelindung dan pemberi kedamaian dalam hati anak istri, malahan sudah berubah menjadi monster yang menakutkan. Setiap kata yang keluar dari mulutnya adalah perintah yang tidak boleh disanggah. Alasannya: “Merasa sudah bekerja mati-matian untuk anak dan istri”
Ketika Istri Juga Bekerja
Hal ini akan semakin diperparah lagi, bila karena tuntutan hidup yang tinggi, istri juga bekerja. Akibatnya suami dan istri yang merasa sudah berkorban untuk keluarganya dengan bekerja keras siang malam, berhak untuk marah kepada siapapun. Akibatnya ”Home sweet Home”, hanyalah merupakan sebuah dongeng dalam keluarga ini. Bahkan tidak jarang, rumah yang seharusnya menjadi istana bagi keluarga, berubah menjadi sebuah neraka kecil.
Lala, gadis berusia 21 tahun, putri sahabat saya yang kaya raya.. Ketika saya berkunjung ke rumahnya di bilangan Cinere, rumahnya mirip dengan istana. Ada taman bunga di dalamnya, Kebun buah dan Mobil mewah tampak berjejer di lamannya yang luas. Tapi apa kata putrinya? “Opa, bagi saya tidak ada home sweet home dirumah ini, bahkan bagi saya rumah ini bagaikan neraka. Tiap hari pasti ada keributan Begitu papa pulang, mama sudah siap menyambutnya dengan segala kata-kata yang menyakitkan. Saya iri, menengok Opa sekeluarga saya sungguh merindukan dapat merasakan apa artinya home sweet home..”
Menyesal Sebelum Semuanya Terlambat
Sebelum terlambat, perlu orang sadar diri. Berilah kesempatan kepada diri untuk merenung sesaat, apa yang sesungguhnya kita cari dalam hidup ini? Pada awalnya niat, untuk bekerja keras, adalah untuk memberikan yang terbaik bagi keluarga. Atas nama cinta kita ikhlas bangun pagi, kerja keras dan baru pulang hingga larut malam. Namun secara tanpa sadar, rasa cintanya berubah, karena merasa sudah berbuat banyak untuk keluarga . Sejak saat itu, maka Home sweet home, semakin lama semakin mengabur dan hilang dari rumah tangga kita.
Masing masing anggota keluarga menyendiri di kamar. Makan di kamar, nonton televisi dan sibuk bergembira ria dengan orang orang lain di dunia maya. Yang jauh menjadi dekat, sedangkan anggota keluarga yang berada dalam satu atap, semakin hari semakin menjauh. Ibarat orang yang tinggal kost kostan. Satu atap, satu pintu masuk, tapi masing-masing hidup di dunianya sendiri-sendiri.
Tidak Merasa Perlu Bertemu
Pernah berkunjung ke rumah sahabat. Rumahnya besar tapi sepi, seakan sahabat saya tinggal sendirian di rumah tersebut. Baru tahu, setelah beberapa saat sahabat saya mengatakan bahwa istri dan anak-anaknya ada di rumah, tapi sibuk dikamar masing-masing. Karena rumahnya besar, maka ia menghubungi istri dan anak-anaknya lewat sms. Tak terbayangkan, hidup seatap tapi komunikasi lewat sms.
Dalam waktu beberapa menit, istri dan anak-anak turun dan kami saling bersalaman. Hanya selang dua menit, sang istri dan anak-anak pamitan, karena katanya banyak yang harus diselesaikan di kamar kerja. Sekali lagi satu bukti bahwa tidak selalu uang itu memberikan nilai tambah didalam keluarga, Bila tidak dapat mengontrol diri, maka uang dapat menjadi petaka.
Semua orang perlu uang, tapi jangan lupa, bahwa uang bukanlah segala galanya dalam hidup ini. Ketika uang sudah merupakan segala-galanya dalam keluarga, maka tergadailah sudah Home Sweet Home yang menjadi idaman setiap insan.
Semoga tulisan kecil ini, bermanfaat, setidaknya mengingatkan bahwa untuk meraih perbaikan hidup, jangan sampai mengorbankan Home Sweet Home.. Karena bila sudah tidak ada lagi home sweet home di rumah tangga kita, maka semua harta yang ada, sudah tidak berarti lagi.
Hidup adalah sebuah pilihan dan setiap orang berhak memilih jalan hidup masing-masing, jangan sampai kita salah memilih, karena salah memilih jalan hidup, belum tentu akan ada kesempatan untuk memperbaikinya lagi.
Tjiptadinata Effendi