Setiap orang tua yang waras, tentu saja sangat menyayangi anak anaknya. Dalam kata lain, hanya orang tua yang tidak waras, yang tidak menyayangi anak anak mereka. Akan tetapi, pemahaman kata ”sayang” ini mengandung multi tafsir. Yang bila tidak dimaknai secara arif, justru rasa sayang yang gagal paham, dapat mendorong terbentuknya ”anak-anak mami”
Kalau bayi menangis minta minum atau karena popoknya basah, tentu bukan masalah. Karena bayi belum bisa melakukan apa-apa, bahkan berbicara juga belum. Jadi wajar, kalau seorang bayi menyampaikan keinginan hatinya, ingin minum atau ganti popok, hanya dengan cara menangis. Hanya itu satu-satunya komunikasi yang dapat dilakukannya. Hanya ibunya yang memahami arti dari tangisannya. Yakni membedakan mana tangisan karena lapar dan mana tangisan yang disebabkan karena minta diganti pakaiannya. Seorang ibu juga memahami, arti tangisan bayinya bila sakit.
Tetapi setelah bayi sudah bisa merangkak, maka ibu yang bijak sudah mulai mendidik anaknya agar bisa mandiri. Misalnya diletakan dalam gerobak bayi dan tidak lagi senantiasa berada dalam gendongan ibunya. Semakin bayi bertumbuh kembang dan sudah bisa berjalan, maka semakin banyak ia diberikan kesempatan untuk menjadi anak yang mandiri dengan cara membiarkan anaknya merangkak dan mulai melangkah perlahan lahan. Walaupun ada risiko, anaknya akan terjatuh dan menangis. Bukan karena tidak sayang akan anaknya, melainkan justru seorang ibu yang bijaksana, akan mendidik anaknya, untuk secara perlahan lahan mulai belajar mandiri. Bahkan ketika anaknya terjatuh dan diyakini tidak terluka, ibu yang bijak juga tidak langsung buru-buru mengendong anaknya agar anaknya jangan sampai menjadi anak yang terlalu dimanja sehingga sikit-sikit menangis dan berteriak “mamiiii“
Apa Yang Kita Saksikan Sekarang?
Anak-anak yang terlahir dalam keluarga berada, hidup bagaikan dalam kisah putri raja dizaman dulu. Begitu bangun pagi terus berteriak “Mami… saya mau mandi .!’ Dan bergegaslah si Mami untuk memandikannya. Padahal anaknya sudah duduk dikelas 3 SD. Usai mandi,anak teriak lagi, “Mami ..lapar” Dan lagi lagi si mami berlari menyediakan sarapan bagi anak tercintanya. Untuk menengok contoh, hasil didikan yang didasari atas sayang anak secara overdosis adalah anak-anak menjadi cengeng. Tersenggol sedikit saja akan menangis dan mengadu ke mami. Setiap pulang sekolah, selalu mengadu kepada mamanya bahwa teman-teman di sekolah nakal.
Dan ibu yang sayang anak secara overdosis akan meradang bila mendengar anak kesayangannya diganggu. Bahkan tidak segan-segan, guru sekolah juga akan dilabrak dan dimarahi karena dianggap tidak mampu melindungi anaknya dari gangguan anak-anak lainnya.
Semakin lama, anak yang dididik dengan cara ini akan kehilangan rasa percaya diri. Bahkan hingga sudah berpacaran akan selalu mengatakan “Saya tanya mami dulu ya” Alangkah menyedihkan bila sampai dalam keluarga kita ada tipe anak mami ini.
Tulisan ini bukanlah hasil dari imajinasi atau hasil dari nonton film sinetron melainkan berdasarkan kejadian nyata di sekeliling kita. Tipe anak mami ini tidak akan mampu bertahan menghadapi masalah hidup. Karena sudah terbiasa dimanja dan apapun keinginannya dipenuhi. Sifat cengeng ini akan bermetamoforsa menjadi sifat otoriter yang memaksa orang untuk mengikuti keinginannya.
Tanpa Sadar, Ibu yang Memanjakan Anak secara Overdosis, Menjerumuskan Anaknya Sendiri ke Jurang Kehancuran
Di dunia ini, tidak seorangpun yang mampu menjaga dan melindungi anak-anak mereka sepanjang hayat, betapapun besar rasa cintanya terhadap anak-anak mereka. Suatu waktu, anak-anak akan tumbuh menjadi dewasa, berkeluarga dan harus mampu hidup mandiri.
Sebaliknya, anak-anak yang terlahir dalam keluarga yang memanjakan dirinya secara tanpa batas. Begitu menghadapi masalah hidup, akan cepat putus asa dan tidak mampu bertahan. Akibatnya, kita baca di berbagai media sosial, orang begitu mudah bunuh diri, hanya lantaran masalah sepele.
Sebaliknya anak-anak yang terlatih sejak masih bayi akan tumbuh menjadi sosok yang kuat mentalnya dan tegar dalam menghadapi badai kehidupan. Secara pribadi, saya salah satu orang yang mendapatkan pendidikan yang keras dalam keluarga di mana saya dilahirkan dan dibesarkan.
Sejak dari SMA saya sudah hidup mandiri. Bahkan untuk membiayai uang kuliah, saya bekerja paruh waktu dan tidak pernah minta kepada orangtua.
Anak-anak dan cucu-cucu kami sejak dari SMP sudah mulai dididik agar menjadi mandiri, dengan cara bekerja paruh waktu. Walaupun gaji kecil, tapi setidaknya mereka sudah dipersiapkan, bila lulus sarjana menjadi tenaga yang siap pakai. Salah satu cucu kami yang kini dapat beasiswa di Jepang juga membiayai hidupnya sendiri dengan berkerja di restoran.
Mendidik anak-anak untuk mulai bekerja paruh waktu bukan berdasarkan sanggup atau tidaknya orangtua membiayai pendidikan mereka, melainkan untuk mengajarkan mereka menjadi manusia yang tidak cengeng dan mampu memahami bahwa untuk meraih suatu hasil harus kerja keras, sekaligus mendidik mereka untuk menghargai kerja orang lain. Karena mereka sudah merasakan, bahwa untuk mendapatkan penghasilan, tidak semudah membalikkan telapak tangan.
Tulisan ini, bukan kepo mau urusin urusan orang lain, hanya sekedar berbagi kisah hidup, yang mungkin ada manfaatnya bagi orang banyak
Tjiptadinata Effendi