“Don’t worry that children never listen to you; worry that they are always watching you.”—Robert Fulghum
Peristiwa ini terjadi di Boyolali. Siti Wakidah alias Ida (30) menganiaya anak kandungnya sendiri F (6) yang mengakibatkan bocah malang itu meninggal dunia. “Tersangka melakukan dengan cara mencubit, memukul, mencakar dan membenturkan kepala korban ke lemari karena jengkel korban rewel,” jelas Kasat Reskrim Polres Boyolali, Iptu Mulyanto, Rabu (17/7). (detik.com).
“Berdasarkan riset Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) tahun 2015, Naswardi mengatakan bahwa ayah dan ibu kandung menempati posisi teratas sebagai pelaku kekerasan (28 persen dan 21 persen). Selanjutnya, guru (10 persen) dan ayah tiri (6 persen) adalah orang terdekat yang sering melakukan kekerasan pada anak.” (tirto.id)
Gejala apa itu? Dari kacamata ortu dan pendidik, saya mengamatinya begini. Pertama, ada pergeseran nilai-nilai keluarga. Bisa jadi anak zaman sekarang ‘lebih’ sukar diatur ketimbang dulu. Mengapa? Bisa saja faktor ekonomi sehingga pasutri terpaksa harus bekerja keras—seringkali di luar rumah—sehingga perhatian terhadap si kecil berkurang atau bahkan tinggal sedikit. Bisa juga ketidaksiapan orang untuk menjadi ortu yang dewasa.
Kedua, kewibawaan ortu yang luntur. Ketika bocah dulu, saat ayah memandang tajam ke arah saya, saya sudah tahu ada sesuatu yang salah atau tidak berkenan. Jika mama saya berkata, “Ayahmu sedang tidur,” maka otomatis saya menjauh dari kamar sehingga tidak mengganggu tidur ayah saya. Bagaimana dengan anak sekarang? Jika ortu memandang anaknya dengan tajam, sang anak balas menatap mata ortunya bersambil bertanya, “Mengapa ayah/ibu melototi saya?”
Ketiga, fokus ortu mengalami pergeseran. Ortu lebih bangga jika anaknya meraih prestasi yang baik—khususnya di bidang matematika-fisika-kimia (mafia)—ketimbang olahraga dan budi pekerti. Ada ortu zaman sekarang yang saat anaknya pulang ke rumah bertanya, “Nilai agamamu berapa?” Segala sesuatu yang kita remehkan—cepat atau lambat—akan menjadi bumerang yang memukul kita sendiri yang—malangnya—selalu menghantam daerah yang paling rentan dalam hidup kita.
Melihat fenomena ini apa yang bisa kita lakukan? Pertama dan terutama introspeksi. Mencari kambing hitam tidak akan pernah menyelesaikan masalah. Di dalam kasus Ida yang membunuh F di atas, katanya anaknya rewel. Fakta yang perlu digali, mengapa anak itu rewel? Apakah dia sakit atau memang nakal? Kalau nakal, apakah sejak kecil tidak diarahkan atau akibat pergaulan buruk? Jika pertanyaan ini terus kita lanjutnya, ujung-ujungnya kembali ke ortu. Jadi, ketimbang mencari kambing hitam, bukankah lebih baik mengakui dan introspeksi?
Kedua, mempelajari sejarah kekerasan dalam keluarga sendiri. Apakah penganiaya dulunya juga mengalami hal yang sama? Kita adalah makhluk peniru yang hebat. Apa yang ortu lakukan kepada kita dulu—termasuk cara mendidik—secara tidak sadar kita serap sehingga menjadi pola kita dalam mendidik anak kita sendiri.
Ketiga, putus rantai kekerasan. Tidak semua yang ortu ajarkan buruk, bahkan sebagian besar justru baik. Kitalah yang wajib menyaring mana yang baik dan mana yang tidak. Apa yang baik tentu akan kita wariskan kembali ke generasi berikutnya. Sebaliknya yang yang buruk kita tinggalkan. Di dalam kasus ini, mari kita berperan aktif sebagai pemutus rantai kekerasan. Jika ortu kita dulu mendidik kita dengan kekerasan, cukup berhenti sampai di kita. Jika kita teruskan, kebiasaan ini akan terus menurun dan akhirnya menjadi budaya. Waktu tinggal dan kerja di Madura dulu, saya mengenal kebiasaan carok dari dekat. Berkat penyuluhan terus-menerus, kebiasaan duel satu lawan satu memakai celurit itu semakin berkurang.
Di atas semua itu, puisi Dorothy Law Nolte, Ph.D yang berjudul “Children Learn What They Live” ini bisa menjadi cermin bagi kita semua. Dari puisinya yang panjang itu, saya ringkaskan menjadi seperti ini: “Jika anak dibesarkan dengan celaan dan kekerasan, mereka belajar untuk memaki dan berkelahi. Sebaliknya, jika anak dibesarkan dengan kasih sayang dan persahabatan, anak akan merasa nyaman dengan dirinya sendiri dan menemukan cinta dalam setiap kehidupan yang dia jalani.”
- Xavier Quentin Pranata, pelukis kehidupan di kanvas jiwa.