Belakangan ini kita seringkali mendapatkan kejutan demi kejutan yang sangat memprihatinkan. Hoaks bertebaran dimana mana. Seakan-akan kebohongan sudah menjadi komoditas andalan bagi yang lagi jualan politik. Akibat asal ngomong (asmong) ini, tidak sedikit orang yang terluka hatinya, karena merasa terhina dan dilecehkan. Apalagi hal ini diucapkan oleh orang-orang yang dianggap tokoh masyarakat dan konon tamatan dari salah satu universitas beken diluar negeri. Padahal petani yang mungkin SD saja tidak tamat, malahan berbicara dengan bahasa yang jauh lebih santun. Setidaknya mampu menjaga perasaan orang lain.
Terkadang Diam Jauh Lebih Berharga
Ramah tamah terhadap orang lain, tentu merupakan salah satu sifat baik yang perlu disyukuri. Menyapa orang dengan kalimat sederhana, tapi mengena dapat merupakan sebuah hiburan dan melegakan hati orang yang berhadapan dengan kita.
Bahkan lebih jauh dapat menjadi motivasi bagi orang lain, karena mendapatkan pujian tulus dari kita. Hal-hal yang tampak kecil dan sepele bila dilakukan dengan hati yang tulus, dapat menjadi perekat hubungan baik antara kita dengan orang lain yang berinteraksi dengan diri kita.
Banyak contoh-contoh aktual yang sesungguhnya dapat kita saksikan, bahkan kita alami di sepanjang perjalanan hidup kita dan hal ini berlaku timbal balik, yakni terhadap orang lain maupun terhadap diri kita sendiri.
Menghargai Orang Sebagaimana Kita Ingin Dihargai
Ketika berkunjung ke rumah teman ataupun kerabat, maka yang pertama kita tengok adalah kondisi teman atau kerabat kita. Kalau rumahnya dan kondisi ekonominya, tampak lumayan maka komentar yang diberikan tentu berbeda bila kondisi teman dan kerabat yang kita kunjungi, tampak jauh dari memadai.
Kalau teman atau kerabat kita termasuk yang ekonominya memadai, maka saran-saran kita untuk memperbaiki rumahnya, menanam pohon pelindung atau memasang tirai di terasnya, tidak akan menjadi masalah.
Tetapi bila kondisi orang yang dikunjungi, jauh dari memadai maka sapaan kita yang sangat sederhana bisa jadi melukai hatinya. Misalnya “Wah, pengap benar ya disini” atau “Apakah anda tidak sumpek tinggal di gang seperti ini?”
Atau bertepatan dengan kunjungan kita, tampak nyonya rumah lagi memperbaiki pagar yang rusak Terus kita memberikan komentar “Suaminya mana mbak? Masa iya mbak yang mengerjakan pekerjaan laki laki?”
Tahu apa akibat sapaan kita yang tidak tepat sasaran? Ketika kita sudah meninggalkan rumah teman atau kerabat dan melupakan apa yang dibicarakan di sana, tapi bagi yang dikunjungi akan semakin membuat dirinya merasa terpuruk.
Bahkan bukan tidak mungkin, begitu suaminya pulang, maka hal pertama yang akan disampaikan nyonya rumah adalah menegur suaminya dengan mengatakan “Itulah pagar rusak tidak mau memperbaiki sehingga saya yang harus mengerjakan semuanya.”
“Tuh, tadi teman papa datang dan mengatakan bahwa pekerjaan memperbaiki pagar, bukan pekerjaan perempuan ” Sapaan kita yang salah alamat, telah menyebabkan rumah tangga orang yang tadinya aman dan damai, ulah saran yang tidak tepat sasaran, kini mulai terusik .
Satu Contoh Lagi
Ketika berkunjung ke rumah teman, tampak ia duduk sendirian di rumah dan tidak ada siapa-siapa disana. Terus tanpa terasa meluncur pertanyaan “Hmm apakah anak-anak tidak datang?”
“Ada sesekali, maklum mereka bekerja” Jawab teman kita
“Tapi seharusnya sesibuk apapun, seharusnya mereka menyempatkan diri untuk menjenguk orang tua sendiri” tambah kita melengkapi kalimat kepo.
Kemudian kita pulang dan pembicaraan yang dianggap tidak penting tersebut, tentu dalam hitungan detik sudah dilupakan. Tapi sadarkah kita, bahwa kalimat pertanyaan yang kita lemparkan sekenanya, berubah menjadi sebilah tombak yang menembus ke ulu hati sahabat kita?
Tiba-tiba saja ia merasa sedih dan murung, Merasa bahwa anaknanak tidak memperdulikan dirinya. Padahal, selama ini sudah bertahun-tahun, ia sudah menerima keadaan, bahwa karena anak-anaknya sibuk bekerja dan mengurusi rumah tangga masing-masing, sehingga hanya bisa berkunjung sesekali.
Tapi setelah mendapatkan “suntikan“, ia mendadak jadi “sadar” diri, bahwa ia hanya menjalani hidup sebatang kara, sedangkan anak-anak sibuk dengan keluarga mereka masing-masing.
Silent is Gold
Maka dalam hal ini, maka “Silent is Gold” atau ‘Diam berarti Emas” sungguh sangat tepat . Daripada kita asmong atau asal ngomong yang dapat menyebabkan orang lain terluka, bahkan dapat menjadi pemicu keretakan dalam rumah tangga orang lain, maka jalan terbaik adalah diam dan hanya memberikan sapaan yang sifatnya umum dan jangan menyentuh hal-hal yang sensitif. Yakni yang berhubungan dengan kehidupan pribadi orang lain.
Disinilah kearifan kita dalam memaknai hidup dituntut dan dinilai. Banyak orang pintar, namun tidak disertai dengan kearifan hidup. Sehingga setiap kata yang keluar dari mulutnya, hanya menjadi pemicu terlukanya hati orang yang mendengarkan.
Seharusnya semakin tinggi pendidikan seseorang, semakin tinggi pula tenggang rasa yang dimiliki.Tapi yang terjadi justru sebaliknya. Kebanyakan orang yang memiliki pendidikan tinggi, bahkan bergelar Profesor Doktor, malahan toleransi dan tenggang rasa yang dimilikinya mencapai titik zero.
Mau dibawa kemana generasi muda kita kelak, bila orang-orang yang seharusnya menjadi panutan justru berbicara asal ngomong, tanpa dipikirkan terlebih dulu. Yang lebih memprihatinkan adalah betapa orang orang yang menamakan dirinya sebagai tokoh masyarakat, justru tanpa merasa malu menebarkan berita berita hoaks, sehingga membuat masyarakat menjadi bingung dan tidak tahu lagi, mana yang benar dan mana yang salah
Semoga kita jangan sampai termasuk tipe orang yang semacam ini,
Tjiptadinata Effendi