Jangan Hidup Seperti Sampah Yang Hanya Mengikuti Arus
Pada umumnya, orang merasa malu menceritakan masa masa kelam dalam perjalanan hidupnya. Tapi bagi saya pribadi, justru sebaliknya. Baik terhadap anak mantu dan cucu-cucu, selalu saya ceritakan, bahwa saya terlahir dalam keluarga miskin. Ayah saya bekerja sebagai Supir Truk dan kemudian sebagai Kusir Bendi. Total kami bersaudara 11 orang. Bayangkan, bagaimana orang tua kami menghidupkan kami dengan penghasilan sebagai Supir.
Kami hidup di rumah yang beratapkan rumbia dan dinding yang terbuat dari bambu yang dianyam. Kondisi ini terus berlanjut hingga kelak kakak-kakak saya sudah bekerja. Maka hidup kami mulai membaik.
Badai itu datang Lagi
Setelah menikah, ternyata badai itu datang lagi. Akibat gagal menjadi pedagang antar kota Padang – Medan, saya dan istri, serta putra kami yang baru satu, pulang kampung. Hutang pada tante kami di Medan, belum kami lunaskan.
Kami tinggal di Pasar Tanah Kongsi. Sudah sebulan saya batuk, tidak henti hentinya. Dan setiap batuk mengeluarkan darah. Saya tidak pernah memberitahu istri saya, karena saya pikir hanya akan menambah beban batinnya saja.
Tapi pagi ini, ketika saya lagi batuk dan tanpa sadar darah segar berserakkan di lantai, istri saya pas lagi berada di samping. Ia teramat kaget, wajahnya pucat pasi memandang saya. Sesaat kemudian memeluk saya erat-erat dan mengatakan “Kita ke dokter ya”
Saya menatapnya dan tiba-tiba istri saya terdiam. Mungkin ia baru sadar bahwa kami tidak punya uang untuk berobat ke dokter.
“Nggak apa apa. saya cuma butuh istirahat saja, mungkin kecapaian” Kata saya mencoba menentramkannya. Ia terdiam, mengantarkan saya tempat tidur dan berkata “Saya akan mencari obat obatan herbal di halaman depan“, katanya sambil berlalu.
Sekitar 30 menit kemudian, istri saya kembali dengan membawa berbagai dedaunan yang berkasiat untuk menyembuhkan batuk darah. Merebusnya dan memberikan pada saya, untuk diminum.
Kemudian dengan berat hati pamitan dan bergegas untuk pergi mengajar di salah satu SMA swasta.
Harus Terus Bekerja
Saya terbangun dari tidur. Tidak tahu entah berapa lama saya sudah tertidur.
Tiba-tiba saya ingat, beras sudah tidak ada lagi di rumah. Sedangkan sekarang baru tanggal 22, masih seminggu lagi baru istri saya menerima gaji. Maka dengan menahan rasa sakit, saya bangkit dari tempat tidur. Saya harus bekerja untuk mendapatkan uang. Utang-utang akibat kegagalan saya sewaktu menjadi pedagang keliling Padang – Medan, masih belum lunas kami ansur tiap bulan. Sementara putra kami sudah berusia tiga tahun.
Istri saya mengajar pagi dan sorenya masih memberikan private les di rumah. Sedangkan saya pagi hari hingga siang berkerja serabutan. Jadi kuli bongkar muat barang dan sorenya mengajar. Namun karena utang kami pada tante kami cukup banyak yang perlu kami angsur tiap bulan, belum lagi sewa kedai yang sekaligus merangkap rumah tinggal kami, maka gaji kami berdua tidak cukup untuk hidup layak.
Suatu waktu, mungkin karena kecapaian dan masih belum sembuh dari sakit, saya terjatuh dari atap bus, ketika membongkar barang yang datang dari kampung. Untung jatuh pas di atas karung yang berisi biji kopi, sehingga saya hanya mengalami cidera pada bongkol tulang lutut saja.
Banjir, Naik Ke Loteng Rumah
Suatu waktu hujan lebat berturut-turut selama 2 hari. Air mulai masuk ke dalam kedai dimana kami tinggal. Semakin lama air semakin tinggi. Pada mulanya kami bertiga beranak naik ke atas meja yang selama ini kami gunakan untuk keperluan rangkap, yaitu untuk meja kerja, meja makan dan meja tempat anak-anak les belajar. Tetapi semakin larut malam, air semakin tinggi. Sedangkan hujan masih turun dengan lebatnya.
Karena kedai tempat kami tinggal persis terletak di atas kali yang cukup besar, maka seluruh sampah dan binatang binatang merayap, memenuhi seluruh ruangan. Kecoa, lipan, cacing dan katak, serta tikus berkeliarang kesana kemari, ntuk menghindarkan diri dari banjir.
Kami menaikkan kursi di atas meja dan kemudian memanjat dan merayap ke atas loteng, yang sebenarnya tidak layak untuk dinaiki. Namun karena tidak ada pilihan lain, kami memaksa diri untuk naik. Karena perhatian terpusat untuk menyelamatkan pakaian-pakaian kami, maka tidak ada makanan yang selamat dari banjir, kecuali sepotong roti tawar yang sudah agak mengeras. Loteng di penuhi dengan nyamuk, sehingga kami sibuk menepuk sana sini.
Putra kami mengigil karena lapar dan kedinginan. Kami hanya bisa memberikannya roti tawar yang sudah agak mengeras tadi, yang dimakannya hingga habis. Mungkin saking laparnya.
Baru keesokan harinya air mulai surut . Selanjutnya adalah kerja keras bagi kami untuk membersihkan sisa sisa lumpur dan kotoran yang tertinggal.
Anak Sakit, Harus Gadaikan Cincin Kawin
Mungkin karena hidup di tempat kumuh, makanan yang tidak cukup, tidak hanya membuat saya sakit, tetapi putra kami juga tumbuh dalam kondisi yang tidak sehat. Sudah tiga hari demam, segala macam dedaunan yang kata orang berkasiat menurunkan demam, sudah kami coba, tetapi hasilnya nihil. Kami harus membawa putra kami ke dokter, karena di samping demam, ia juga menggigil. Saya kuatir ia terkena Typhus.
Tapi masalahnya kalau ke dokter berarti uang sudah harus ada di tangan, belum lagi untuk menebus obatnya di apotik. Maka kami mencoba mencari pinjaman di sana-sini, tetapi tidak ada yang mau meminjamkan. Akhirnya dengan menahan malu, kami datangi salah satu orang tua murid istri saya, yang menurut kami orangnya cukup mapan dalam hal keuangan.
Sore itu kami datangi rumahnya, yang berlokasi di jalan Rohana Kudus di Kota Padang. Setelah mengetuk pintu dan menunggu sesaat, pintu dibuka. Kami dipersilakan masuk. Istri saya langsung bicara to the point saja, “Maaf Bu, kalau diperkenankan,kami mau minjam uang,guna membawa putra kami kedokter.”
Si Ibu terdiam sesaat dan kemudian berkata, “Boleh, tapi bunganya 20 persen satu bulan” Tentu saja kami sangat kaget, masa iya bunga uang 20 persen satu bulan “Bu, apa nggak boleh 10 persen saja, karena ini bukan untuk dagang, tapi untuk membawa putra kami ke dokter. Ibu kan tahu, kami cuma guru sekolah.”
“Aduuh maaf bu, biasanya sih begitu ya. Kalau nggak setuju ya nggak apa-apa” Katanya dingin. Kami tidak punya pilihan lain, maka kami akhirnya setuju, minjam uang dengan bunga 20 persen satu bulan.
Namun dua bulan kemudiankami masih belum dapat mengembalikan pinjaman tersebut, berarti bunganya sudah jadi 40 persen. Saya memutuskan untuk menjual cincin kawin yang saya pakai. Istri saya tidak setuju, karena cincin itu adalah kenangan hari pernikahan kami. Tapi karena tidak ada lagi jalan lain, maka dengan sangat terpaksa cincin kawin saya jual (cincin kawin yang saya pakai sekarang adalah duplikasi).
Badai dan Topan Menghadang
Pagi itu di depan pintu masuk kedai kami, berdiri seorang pria dengan wajah yang tidak enak di pandang “Nih, surat peringatan dari Boss. Sudah 3 bulan sewa kedai belum anda lunasi, kalau minggu ini tidak juga dilunasi, maka anda harus siap siap keluar dari sini..” Kata si Pria berewok dengan nada dingin…
“Ya, baik pak, tolong sampaikan ke Boss, kami akan segera melunasi tunggakan kami..” jawab saya. Si tukang tagih, pergi tanpa menjawab.
Saya terpana dan terduduk. Mencoba memikirkan jalan apa lagi yang dapat saya lakukan agar dapat segera melunaskan utang-utang kami dan mengubah nasib kami? Namun pikiran saya serasa membentur tembok.
Segala macam usaha telah kami coba. Jadi pedagang keliling gagal total, malahan meninggalkan utang yang tidak sedikit.. Jadi kuli dua tahun di pabrik karet di pinggiran kota Medan, dengan harapan bisa untuk nabung bayar utang, ternyata juga gagal. Yang diperoleh adalah penyakit malaria, yang hampir merenggut nyawa saya.
Berjualan kelapa di pasar kumuh, yang diperoleh adalah kami semuanya sakit sakitan,malahan saya batuk darah. Istri saya jadi kurus dan pucat. Kata orang kalau ada niat mau mengubah nasib dan mau berkerja keras dan berdoa, maka pasti hidup akan berubah.
Namun semua teori itu sudah kami lakukan. Bekerja siang malam Istri saya setiap hari bangun jam 3 pagi. Ke stasiun Kereta Api, untuk membeli kelapa yang datang dari kampung. Kelapa ini dibawa ke kedai kami. Saya mengupas sabutnya, putra kami yang baru berusia 3 tahun sudah ikut membantu, dengan mengumpulkan sabut kelapa dan memasukkannya kedalam keranjang.
Anak usia 3 tahun, yang seharusnya masih terlelap tidur dalam pelukan ibunya,sudah harus bangun setiap pagi untuk membantu.
Walaupun saya bukan termasuk tipe orang yang sangat agamais, namun doa tidak pernah kami lupakan. Namun semua jalan tertutup bagi kami untuk mengubah nasib. Apakah Tuhan sudah melupakan kami? Ataukah Tuhan sudah terlalu sibuk dengan orang-orang saleh yang memujanya sehingga doa orang orang kecil seperti kami, tidak lagi terdengar olehNya? Sungguh, pada waktu itu pikiran saya seperti menemui jalan buntu.Kegetiran demi kegetiran hidup, menjadikan kami bagaikan batu karang menghadapi setiap terpaan derita.
Listrik dipadamkan
Seakan belum cukup derita yang kami jalani, pagi itu saya dapat sepotong surat dari PLN, isinya ”Berhubung karena menunggak pembayaran rekening listrik selama 3 bulan, maka sejak hari ini, sakelar di kedai saudara kami cabut, hingga anda selesai melunasi tunggakan di kantor PLN”
Kepala saya terasa amat sakit dan dada serasa sesak. Sungguh saya tidak tahu lagi harus berbuat apa?
Pagi itu, tidak banyak yang belanja beli kelapa. Mungkin karena barusan habis banjir, jadi pasar yang memang kumuh itu menjadi semakin semrawutan . Di sana sini sisa-sisa bangkai tikus dan ayam yang mati terendam, masih tergeletak dalam kondisi mengembung dan menimbulkan bau busuk. Tapi siapa yang peduli? Memperhatikan nasib anak istri saja tidak mampu, apalagi mengurusi kebersihan pasar.
Siang itu, putra kami datang dan memegang tangan saya. Walaupun ia mencoba tersenyum,tapi jelas wajahnya terlihat pucat dan kurus. “Paa…boleh minta permen…satu saja ..” katanya memelas.
Saya terdiam, “Boleh sayang, tapi papa cari uang dulu yaa…”
“Hmm kalau nggak pisang saja boleh juga paaa..”, kata putra saya mencoba menawar..
Saya memeluknya dan tanpa sadar air mata mengenang di pelupuk mataku…
“Papa jangan nangis…kalau nggak ada uang nggak apa apa..” Kata katanya. Mendengar jawaban ini, maka bobollah seluruh pertahanan saya… Dan saya memeluknya erat-erat sambil menangis…
Karena tidak ada yang belanja di kedai saya, sedangkan istri sore baru pulang mengajar, maka untuk mengatasi rasa sumpek berada di kedai sepanjang hari, saya titip putra kami di rumah neneknya, di Jalan Moh,Yamin.
Saya sudah berkali-kali diajak teman saya, Samsuar untuk datang ke kantornya. Tapi karena perasaan rendah diri, ajakan itu tidak pernah saya penuhi. Hari ini saya menguatkan diri untuk berkunjung ke sana.
Saya menunggu di ruang tamu, karena tidak ingin menggangu kegiatannya. Namun ketika ada tamu yang pamitan dan Samsuar mengantarkan keluar, ia melihat saya dan langsung merangkul saya untuk diajak ke dalam ruangannya.
Melihat ketulusan Samsuar, hati saya jadi mantap. Setelah bercerita hilir mudik tiba-tiba Samsuar berkata “Kalau saya ajak berdagang mau nggak?”
Saya terperanjat, seperti orang yang dalam kegelapan, dinyalakan lampu. “Tentu saja saya mau, tetapi anda kan tahu saya tidak punya modal sama sekali”
“Modal utama dalam perdagangan, adalah kejujuran” kata Samsuar.
“Kalau kejujuran,saya memilikinya”..
Bagaikan seorang pengelana melihat setitik cahaya, begitulah perasaan saya waktu itu. Saya berpikir “Inilah jalan untuk mengubah hidup saya….”
Istri Mendukung Sepenuhnya.
Sepulang dari kantor Samsuar, saya menjemput putra kami, yang saya titip di rumah neneknya dan kembali ke kedai kami. Saya duduk termenung di lantai yang dingin, sementara putra kami sibuk mengambar di kertas-kertas bekas. Pikiran saya menerawang ke mana-mana………………
Bekerja apapun ,selama tidak berbuat kejahatan, sudah saya kerjakan. Jualan kelapa, jadi kuli, sopir serap dan sebagainya. Kata orang bekerja dengan otot saja hanya akan menghasilkan hidup sebagai kuli seumur hidup. Saya dan istri sudah bekerja dengan otot dan dengan otak, tetapi tetap saja hidup belum menampakkan titik terang untuk berubah. Tiap malam kami selalu berdoa. Memohonkan kekuataan agar mampu menjalani semuanya dan agar kami diberikan jalan untuk mengubah nasib kami. Saya memahami, tidak seorangpun dapat mengubah nasib saya kecuali saya sendiri. Tetapi doa itu tidak segera dijawab, Kami harus sabar menunggu. Sampai kapan? Jujur, saya tidak tahu.
Tetapi kami tidak pernah berputus asa. Kami yakin, dimana ada kemauan pasti di sana ada jalan. Dan saat ini saya yakin. sahabat saya Samsuar adalah “malaikat” yang diutus Tuhan untuk menunjukkan saya jalan mengubah nasib.
Sebuah Proses
Sewaktu istri saya pulang dari mengajar, maka dengan sangat antusias saya ceritakan sepenuhnya tentang pertemuan saya dengan Samsuar. Mata istri saya berbinar-binar dan berkata “mungkin ini adalah titik balik kehidupan kita,” katanya lirih sambil menangis.Saya tambah yakin dan bersemangat “Inilah jalan bagi kami untuk mengubah nasib“
Sejak saat itu setiap sore, habis pekerjaan saya datang ke kantor Samsuar untuk belajar. Mana yang biji kopi Arabica, mana yang biji kopi Robusta dan bagaimana memprediksi kadar airnya. Kemudian seperti apa yang namanya Cassia Vera atau kulit manis itu? Bagaimana membedakannya dengan kulit kayu?
Sebulan lamanya saya dapat pelajaran yang sangat berharga secara gratis dan sudah siap untuk mulai bekerja. Bagi saya Samsuar adalah bagaikan malaikat penolong yang diutus oleh Tuhan.
Titik Balik Kehidupan
Saya dipinjami modal untuk ke kampung-kampung dan langsung membeli kepada para petani. Jadi tidak melalui tengkulak atau pedagang pengumpul sehingga harganya jauh lebih murah. Sore harinya hasil pembelian kopi saya setorkan ke gudang teman saya Samsuar. Saya laporkan harga beli di kampung apa adanya.
Keesokan harinya, seperti biasanya, saya datang ke kantor Samsuar dan dipersilakan duduk. “Hm.. kopi yang kemarin dibawa, kualitasnya sangat bagus,” kata Samsuar. “Sesudah di potong dengan modal, nih ada sedikit keuntungan saya berikan“ katanya sambil menyerahkan sejumlah uang. Saya kaget, tangan saya gemetaran, karena keuntungan dari hasil penjualan 2 karung kopi kemarin, lebih banyak dari penghasilan saya jualan kelapa di pasar selama sebulan.
Untuk menyakinkan, saya tanyakan, apakah semua uang ini untuk saya. Jawab Samsuar “Ya benar, Besok boleh cari lagi yang lain.”
Saya pulang dengan rasa syukur yang mendalam… dan langsung menceritakan pada istri saya yang menyambut dengan antusias.
Nah. Inilah agaknya titik balik dari hidup saya. Dalam waktu tidak sampai sebulan, penghasilan yang terkumpul dari penjualan kopi sangat fantastis menurut ukuran saya.
HARUS BERANI MENGAMBIL KEPUTUSAN
Saya berunding dengan istri saya dan mengatakan bahwa sudah saatnya kita berubah. Saya mau fokus untuk berdagang kopi. Dan istri saya mendukung sepenuhnya. Sejak saat itu, terjadi perubahaan besar dalam kehidupan kami. Saya sudah tidak jualan kelapa lagi. Dan dalam waktu beberapa bulan kemudian, kami sudah pindah kontrak ke daerah yang bebas banjir.
Waktu seperti berlari. Uang masuk seperti mengalir. Ketika hidup terasa enak dan nyaman, waktu seperti anak panah lepas dari busurnya. 3 tahun sudah berlalu.
Yang berubah tidak hanya hidup kami. Tetapi keadaan disekeliling kami juga sepertinya ikut berubah. Teman-teman yang dulu menjauh, satu persatu mulai menyapa kami dengan ramah. Kalau selama tahun-tahun sulit, tidak satupun undangan pernikahan yang kami terima, sekarang sudah mulai berdatangan. Termasuk undangan dari orang yang tidak begitu kami kenal.. Mengapa? Saya tidak mau memikirkannya. Saya syukuri, bahwa sekarang saya punya banyak teman dan sahabat, apapun alasan mereka.
Dari tinggal di rumah kontrakan sekarang, kami sudah bisa membeli rumah sendiri, walaupun masih rumah sederhana. Kemudian menyusul membeli mobil bekas Merk Plymouth buatan tahun 1957 dengan harga 500 ribu rupiah. Walaupun pada waktu itu,kalau mau, kami bisa membeli sebuah mobil baru, namun kami menahan diri. Karena mobil bukan cita-cita hidup kami.
Impian Demi Impian Mulai Menjadi Kenyataan.
Demi perubahan, memotivasi saya untuk semakin maju meraih cita-cita hidup kami, yaitu memiliki sebuah rumah permanen,yang ada kolam renang, taman dan paviliun. Dan kelak bila anak-anak sudah di sekolah lanjutan, mereka akan kami sekolahkan di luar negeri.
Suatu impian yang dulu kami tidak berani ungkapkan pada orang lain karena dikuatirkan orang akan menganggap kami sudah gila saking susahnya hidup. Tapi hidup kami sudah bergeser, tidak lagi terhimpit segala beban hidup. Rasa percaya diri, keyakinan, kerja keras dan tetap berdoa, menjadikan kami semakin mantap menjalankan perusahaan.
Suatu waktu, saya mencoba membicarakan dengan sahabat saya Samsuar, apakah ia mau membantu saya untuk mendirikan perusahaan sendiri, tapi tetap bekerja sama dengannya?
Jawaban Samsuar sungguh sangat membesarkan hati saya, “Ya, memang sudah waktunya untuk bisa ekspor sendiri jadi eksportir!”
Saya eksportir? Serasa tidak percaya saya akan pendengaran saya dan mengulangi bertanya, “Maaf, maksudnya mengekspor barang sendiri”
“ Iya benar, pengalaman sudah cukup untuk itu”, kata Samsuar.
Seperti mimpi hidup kami dengan sangat cepat berubah.. Saya kini seorang direktur perusahaan ekspor.
Semuanya Berubah Begitu Cepat.
- Mobil kami ganti, dengan mobil keluaran tahun terbaru. Tiap tahun kami libur keluar negeri.
- Karyawan kami yang tadinya hanya beberapa orang,belakangan sudah menjadi puluhan .
- Anak kami kini bertambah dua orang lagi. Dan ketika mereka di SMA, ketiga-tiganya melanjutkan study di Amerika Serikat. Putra pertama lulus. Kami hadir waktu di wisuda di California State University dan tinggal disana selama lebih kurang 1 bulan.
Di belakang hari, impian kami yang lain adalah mengunjungi 5 benua di dunia. Dan dengan rasa syukur yang tidak berkesudahan, impian tersebut juga sudah terpenuhi.
Renungan :
Mengubah nasib, berarti harus mengubah sikap mental. Mengubah sikap mental akan membawa perubahan pada pola hidup.
Berpindah dari satu sudut ke sudut penghidupan lainnya, tidak semudah mengganti baju. Membutuhkan tekad yang kuat dan berani mengambil resiko. Karena setiap perubahan selalu memiliki dua sisi, yaitu harapan dan resiko. Tidak akan ada perubahan hidup, bila tidak berani mengambil resiko.
Segala puji dan syukur kehadirat Sang pencipta.. Kalau saya memikirkan kembali bagaimana sakit dan penderitaan hidup yang kami alami bertahun-tahun serasa bagaikan suatu keajaiban, kami bisa melalui semuanya itu.
Sungguh, tidak akan ada keberhasilan yang dapat diperoleh dengan cuma-cuma. Keberhasilan atau kesuksesan tidak akan jatuh dari langit.. Semuanya harus diraih dengan kemauan, tekad dan kerja keras serta doa..
Semoga tulisan ini bermanfaat untuk dibaca.
Tjiptadinata Effendi