Ada peribahasa mengatakan bahwa tidak satu jalan menuju ke Roma. Tapi hidup tidak selalu memberikan kita banyak pilihan. Ada ruang hidup yang justru hanya memberikan kita satu satunya pilihan yakni “take it or leave it” Ambil kesempatan atau abaikan peluang tersebut.
Salah satunya adalah ketika kita berhadapan untuk membersihkan hati kita dari rasa dendam dan kebencian. Sebagai manusia, pengetahuan kita amatlah terbatas. Apalagi bila berbicara mengenai hati manusia. Tapi secara umum, hampir dapat dipastikan bahwa setiap orang dalam perjalanan hidupnya pasti pernah merasa disakiti hatinya, entah oleh alasan apapun.
Luka hati atau lazim disebutkan “luka batin” adalah rasa sakit, yang tidak mungkin bisa disembuhkan lewat pengobatan medis. Kalau kita terluka secara phisik betapapun parahnya, mungkin dapat disembuhkan melalui perawatan tenaga medis.
Seperti yang pernah saya alami, akibat tertusuk bambu runcing, dari mulai paha, bambu menembus hingga ke batas perut. Luka yang merobek daging sehingga hampir seluruh celana basah oleh darah, dijahit dan diobati.
Setelah 6 bulan lamanya rawat jalan, baru lukanya sembuh, namun hingga kini sudah berlalu lebih dari setengah abad, bekas luka tersebut masih membekas dengan jelas. Tapi setiap kali menengok bekas luka tersebut, saya bisa tertawa, mengingat betapa cerobohnya saya sewaktu masih muda.
Berbeda total dengan luka batin, yang pernah saya alami. Saking sakitnya hati membuat saya seakan menjadi gila. Semua album foto di mana terdapat gambar dari sahabat yang telah menghianati saya robek-robek dan kemudian saya bakar.
Seluruh tulisan di mana terdapat namanya, saya hapuskan. Dan setiap kali ada yang menyebut nama sahabat saya tersebut, maka spontan saya hentikan “Maaf, saya tidak suka anda menyebut nama itu di hadapan saya!”
Foto Bisa Dibakar, Tapi Kenangan Pahit Tak Akan Pupus
Walaupun semua hal yang ada kaitannya dengan sahabat saya, baik foto-foto, tulisan dan apapun sudah saya musnahkan, namun rasa sakit hati tidak kunjung berkurang.
Setiap malam sebelum tidur, entah setan apa yang merasuki, pikiran saya tersambung dengan nama tersebut, hingga saya sering mendapatkan mimpi-mimpi buruk.
Saya bisa memaafkan mitra dagang saya di Singapore yang sudah menipu saya tapi kali ini sungguh saya tidak bisa memaafkan sahabat baik, yang sudah menghianati diri saya, sehingga saya terlibat perkara selama dua tahun dan menguras habis energi dan dana.
Saya sudah mencoba berdoa, namun doa saya terasa tawar dan hambar, karena doa yang terbit dari hati yang penuh kemarahan, dendam, serta kebencian adalah doa yang munafik.
Memaafkan Sulit, Apalagi Melupakan
Suatu hari saya membaca di sebuah kalender dinding kalimat “When I Forgive, I’ve forgot”. Kalimat sangat sederhana tapi telah membangunkan saya dari mimpi buruk kehidupan.
Benar, mengapa saya tidak memaafkan agar saya terbebas dari siksaan dendam dan kebencian yang menggerogoti bukan hanya hidup saya pribadi, tapi juga mengimbas kepada istri dan anak-anak kami?
Memaafkan itu kata yang indah, tapi dalam mempraktikannya tidaklah semudah mengatakannya. Tapi akhirnya Tuhan memberikan jalan keluar. Suatu waktu, ketika kami berada di salah satu hotel di Malang, sahabat saya datang bersama istrinya dan minta bertemu.
Saya dan istri turun dalam kamar dan menemuinya. Ternyata sahabat saya datang untuk minta maaf, setelah sempat dua tahun lamanya saya tersiksa oleh ulahnya.
Tibalah saatnya saya dihadapkan pada “take it of leave it” Kalau saya lewatkan kesempatan ini, maka kemungkinan seumur hidup, hati dan jiwa saya akan terisi dengan dendam dan kebencian. Saya bersyukur, telah diberikan kekuatan oleh Tuhan dan mampu memaafkan.
Ternyata benar, usai memaafkan sahabat yang telah menghianati. Saya merasakan bagaikan sebuah batu besar yang selama ini menghimpit batin dan jiwa saya telah terangkat. Ada rasa damai yang tak mungkin dapat saya lukiskan dengan kata-kata.
Sejak saat itu, saya bisa makan enak, tidur nyenyak. Setiap bangun bagi, yang pertama saya ingat adalah bersyukur kepada Tuhan. Ternyata hidup tanpa dendam dan kebencian sungguh-sungguh menghadirkan rasa suka cita di sepanjang perjalanan hidup.
Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, dengan harapan dapat menginspirasi bagi orang, yang mungkin masih menyimpan dendam dan kebencian dalam hatinya, sehingga menyisakan luka batin yang menganga bahwa satu satunya obat adalah “memaafkan”
Walaupun terkadang teramat sulit, namun inilah satu-satunya jalan dan cara, untuk membebaskan jiwa dari belenggu kebencian dan dendam. Hidup tanpa dendam dan kebencian, sungguh merupakan kebebasan yang sejati. Kebencian yang dibalas dengan kebencian, hanya akan menghadirkan kebencian yang lebih mendalam. Seperti kata peribahasa “Hatred cannot be end by hatred, but by love”
Semoga tulisan kecil ini ada manfaatnya bagi para pembaca.
Tjiptadinata Effendi