Sewaktu mulai masuk S.D. , yang pada waktu itu bernama Sekolah Rakyat, saya merasakan ada suatu kejanggalan. Karena walaupun kami sekelas, tetapi ketika istirahat, yang dulu istilahnya “turun main”, kami terpisah jadi dua kelompok. Pada waktu itu saya sungguh tidak mengerti apa yang menjadi penyebabnya.
Namun sebagai seorang anak kecil, saya hanya bisa menyimpan perasaan tidak nyaman ini di dalam hati. Seiring dengan berjalannya waktu, saya baru menyadari bahwa hal itu terjadi, karena murid-murid merasa beda suku, beda asal-usul dan beda budaya. Belakangan muncullah istilah “pri dan nonpri”. Entah siapa yang mulai mencetuskan dan tepatnya tahun berapa, sungguh saya tidak tahu dan tidak ingin mencari tahu. Karena hanya akan membuat hati saya bertambah gundah.
Semakin lama perasaan ini semakin menumpuk dan menjadi beban di pikiran dan hati . Tapi karena hidup kami pada waktu itu dalam keadaan morat-marit, maka kegundahan rasa hati itu, untuk sementara waktu tenggelam oleh beban hidup yang harus kami tanggung.
HARUS ADA YANG MEMULAI
Ketika sudah dewasa, saya melihat dengan sangat jelas kepincangan yang terjadi di dalam kehidupan bermasyarakat. Saya berunding dengan istri saya, bahwa kami harus keluar dari zona keamanan dan kenyamanan yang selama ini terus dipertahankan. Saya bersyukur, istri dan anak-anak kami mendukung sepenuhnya.
Kami membeli rumah di kawasan Wisma Indah I di kota Padang. Pada waktu itu kami adalah termasuk orang “non pri” pertama-tama yang memilih tinggal di sana. Kemudian teman saya Hansen Marteo, menyusul juga tinggal di jalan Sumatera, sedangkan kami tinggal di Jalan Bunda I, berdampingan dengan SMA Yayasan Bunda. Kami bersyukur dalam waktu singkat, kami sudah diterima dengan sangat baik di lingkungan baru ini. Bahkan setiap bulan puasa, teman-teman yang beragama muslim, kami undang tiap malam minggu, untuk “buka” bersama di rumah kami. Dan bila hari raya tiba, anak-anak sekampung sejak dari pagi sudah antri di depan pintu rumah kami. Istri saya Lina, sudah mempersiapkan dua pak uang baru, untuk dibagi-bagikan kepada setiap anak yang datang.
Setiap Hari :”Open House”
Taman yang ada di halaman rumah, dirawat oleh seorang tukang kebun, yang adalah tetangga yang tinggal di kampung dekat rumah kami. Suatu hari, kebetulan kami lagi santai di rumah, tukang kebun ini, kami ajak makan bersama. Lama ia terdiam. Tampak matanya berkaca-kaca, katanya terharu, karena selama ini belum pernah ada tuan rumah yang mau mengajaknya makan bersama.
Kami katakan, pembantu rumah tangga kami juga makan semeja bersama kami setiap harinya. Maksud kami mau menentramkan hatinya..eeh malah Pak Udin, tukang kebun kami malah menangis.
Dapat Penghargaan Dari Menteri Emil Salim
Berkat hasil rawatan dan ditata oleh istri saya, pekarangan rumah kami mendapatkan Sertifikat Penghargaan dari Menteri Lingkungan Hidup, pada waktu itu Pak Emil Salim. Sebagai rumah dengan pekarangan paling rapi dan indah.
Wali kota Padang pada waktu itu adalah Pak Syahrul Ujud SH, yang dilantik menjadi walikota dalam usia 35 tahun, adalah salah satu dari tetangga kami. Bahkan sewaktu acara selamatan di kediamannya, saya diminta untuk mendampinginya untuk menerima tamu.
Saya heran kenapa memilih saya, padahal saya tidak pernah membantu apapun, secara materi.
Namun walaupun masih dalam tanda tanya, permintaannya saya penuhi. Maka jadilah saya “nonpri” pertama di Kota Padang, yang mendampingi Walikota, untuk menyambut tamunya. Sesuatu yang dirasa aneh oleh masyarakat.
Ketika Kami Pamitan Tetangga Datang dan Menangis
Pada waktu kami pamitan, untuk pindah ke Jakarta, seluruh tetangga kami datang dan memeluk kami, sambil menangis. Tidak setitik pun terlihat, ada yang membedakan antara “pri dan nonpri” ataupun masalah beda budaya dan agama. Saya sangat bersyukur kepada Tuhan, bahwa setidaknya kami sekeluarga adalah orang “nonpri” pertama yang menunjukkan: ”kami juga orang Indonesia”.
Sejauh apapun jarak memisahkan kami, namun hingga saat ini, persahabatan kami tetap berlangsung. Bahkan setiap ada pernikahan salah satu dari anak cucu, mereka selalu menelepon untuk memberitahukan kepada kami.
Pindah Ke Australia
Tahun 2006, kami pindah ke Australia. Di Meja kerja, walaupun bukan pejabat, tapi saya meletakkan bendera Merah Putih. Setiap kali duduk saya memandangi bendera Merah Putih, ukuran mini yang terpajang sepanjang tahun. Tanpa terasa, saya dan istri sudah menjadi penduduk Australia, selama lebih dari sepuluh tahun. Suatu rentang waktu yang cukup panjang.
MENENTUKAN PILIHAN HIDUP
Tahun lalu ,kami datang ke kantor imigrasi Australia, yang berlokasi di Harbour Town, Perth. Karena sudah biasa, kami tidak perlu bertanya lagi ke loket informasi. Melainkan langsung ke lantai 3, bagian Perpanjangan Visa. Tidak begitu banyak orang yang antri, sehingga kami dapat nomor antrian ke 8. Disamping kami ada seorang pria setengah baya yang lagi duduk memegang Paspor. Ia menyapa kami.: ‘Maaf, Bapak dan Ibu dari Indonesia yaa?”
“Benar Pak,” jawab saya dengan gembira,karena ketemu orang setanah air di rantau orang. Pria ini memperkenalkan namanya: ”Joko” (bukan nama sebenarnya). Dan selanjutnya kami terlibat dalam pembicaraan sekitar masalah domisili di Australia. Kami jelaskan, bahwa kami sudah lama menjadi Permanent Residence, sudah lebih dari 10 tahun.
“Wah enak dong,sebentar lagi sudah bisa jadi Citizen kan? (maksudnya jadi warganegara Australia). Kalau sudah jadi warga Australia, enak dong pak, tiap bulan dapat uang saku lumayan. Kalau saya sudah menunggu 5 tahun, bahkan sudah investasi di sini, dengan membuka restoran di Perth. Lumayan sekitar 20 milyar rupiah, tapi hingga saat ini pengajuan P.R saya belum dikabulkan. Saya kesini mau memperpanjang visa kunjungan“ katanya dengan wajah agak sedih.
“Maaf, jadi hari ini bapak ibu mau appointment untuk tanggal pelantikan jadi warganegara Australia?” Selamat yaa.,” kata Pak Joko sambil mengulurkan tangannya.
Memilih Tetap Jadi Warga Indonesia
Namun kami menjelaskan, justru kami memilih tetap jadi warganegara Indonesia. Ia kaget dan memandang kami dengan tegang. “Bapak bercanda yaa?”
“Bukan Pak Joko,memang kami memilih, tetap jadi W.N.I”
“Pak Effendi, anda keliru mengambil keputusan, Saya sudah menunggu 8 tahun, namun belum dapat. Anda disodori, malah menolak..” Percayalah, anda tidak akan dianggap pahlawan, karena mengambil keputusan ini. Sungguh menurut saya, anda hanya terbawa emosi”.
“Kalau sudah usia begini, janganlah idealisme juga yang dijadikan pegangan pak. Kita hidup di alam realita. Kita butuh hidup butuh uang. Idealisme tidak bisa mengenyangkan kita.Begini Pak Effendi, kalau boleh saya berterus terang ya. Saya ini kan pribumi, tapi kalau dapat kesempatan seperti bapak, pasti tidak akan saya lewatkan. Nah, Pak Effendi, walaupun memilih tetap jadi Warganegara Indonesia, percayalah dimata masyarakat, pak Effendi tetap”nonpri”.
Saya terpana mendapatkan kuliah gratis secara dadakan ini. Tapi saya tidak marah, karena prinsip hidup saya: “Biarkanlah orang lain merasa dirinya lebih pintar dari kita, karena kita tidak akan rugi apapun”.
Saya cuma manggut-manggut, untuk menghargai lawan bicara saya yang agak agresif. Dan syukurlah tiba tiba nomor antrian saya dipanggil : “Number 8, please proceed to counter 1”
Maka saya ajak istri saya dan langsung pamitan, pada Pak Joko
MEMENUHI PERSYARATAN UNTUK JADI WARGA AUSTRALIA
Kami langsung melangkah menuju ke loket.Belum sempat kami menyapa, petugasnya seorang wanita muda sudah terlebih dulu menyapa dengan ramah: ”Good morning….I am Mary, what can I do for you ?”
Kami jelaskan dengan singkat, sambil menyodorkan paspor Indonesia kami, yang sudah ditempelin “Permanent Visa”.
“Maaf ya, saya cek sebentar untuk anda berdua“, Terus berselancar dengan internet. Dan hanya selang waktu beberapa menit, sudah menemukan data-data tentang diri kami. Kami melihat Mary tersenyum-senyum, sementara jemarinya dengan cekatan menari-nari di atas keyboard Laptop yang ada di hadapannya.
Dalam waktu kurang dari 5 menit, secarik kertas di print out dari printer nya dan distempel, kemudian dilekatkan pada paspor kami masing masing. Sambil berucap: “Silahkan, tidak ada biaya apapun,” katanya sambil tersenyum.
Kami pun pamit, sambil mengucapkan terima kasih.
Renungan:
Sepanjang perjalanan pulang ke rumah, di atas train yang mengangkut kami dari Perth ke stasiun Joondalup, pikiran saya kembali menerawang pada pembicaran dengan Pak Joko pagi tadi.
Saya diingatkan, agar jangan terjerumus oleh idealisme yang memabukkan. Saya diminta untuk hidup berdasarkan realita, yaitu hidup memerlukan uang.
Saya jadi kepikiran, andaikan realita hidup itu hanyalah uang semata atau sesuatu yang bisa dilihat dan dipegang, maka akan sengsaralah hidup manusia. Orang tidak lagi percaya akan cinta, ketulusan, persahabatan, bahkan mungkin orang meragukan “Keberadaan Tuhan”, karena tidak bisa dilihat dan dipegang. Andaikan realita adalah semata-mata materi, maka orang tidak akan segan untuk menghianati sahabatnya demi sebungkus nasi.
Pikiran yang bolak-balik ini, membuat saya gundah dan sedih. Ternyata lebih dari 70 tahun berusaha hidup sebagai orang Indonesia, masih dikatakan: ”Non pribumi” oleh Pak Joko. Namun kami tidak pernah menyesali keputusan kami. Inilah namanya hidup. Setiap pilihan selalu mengandung resiko. Dan kami sudah siap menerima resiko itu.
Rasa hati saya, untuk kali ini, bukan Ibu Pertiwi yang menangis, tapi kami berdualah yang menangis… Karena tetap dianggap anak angkat, bahkan mungkin anak tiri dari Ibu Pertiwi.
Ditulis berdasarkan pengalaman pribadi, sebagai sebuah renungan pribadi, bahwa untuk menjadi orang Indonesia, jauh lebih sulit ketimbang menjadi orang Australia.
Tjiptadinata Effendi