Menceritakan secara detail perjalanan hidup pernikahan yang telah kami lalui selama 53 tahun, tentu akan butuh sekitar 500 halaman. Karena itu pada tulisan ini, saya mencoba menuliskan point-point yang penting saja, agar tidak membuat jenuh bagi yang membacanya. Karena artikel ini bukanlah biografi orang penting, melainkan hanya sepotong kisah hidup, sepasang anak manusia biasa dan bukan siapa-siapa.
Kisah Cinta di SMA
Perkenalan pertama kami adalah disaat Lina, salah seorang siswi SMA Don Bosco Padang, yang minta tanda tangan saya. Karena: “perpeloncoan ” bagi siswa-siswi yang baru masuk ke DB adalah dengan mewajibkan setiap siswa-siswi mendapatkan 100 tanda tangan dari para Senior yang sudah duduk di kelas yang lebih tinggi. Pertemuan ini berlanjut semakin hari semakin menjadikan kami akrab.
Menyatakan Cinta dengan Payung
Suatu hari hujan turun dengan sangat lebat, sehingga seluruh siswa-siswi terkurung dalam aula yang cukup luas. Saya beruntung, datang adik saya Firdaus (kini sudah alm.) membawakan payung untuk saya. Tapi saya tidak berpikir untuk digunakan bagi diri sendiri, melainkan akan saya berikan kepada sesosok gadis yang saya cintai. Selain dari Lina, disana ada juga dua siswi lain, yang juga menaruh hati pada saya.
Ketika saya berjalan menuju ketiganya, seluruh teman-teman memperhatikan langkah saya. Mereka ingin melihat, kepada siapa payung itu akan saya berikan. Saya berjalan santai dan tampak ketiga siswi ini tegang menunggu, siapa dari antara ketiganya, yang akan saya berikan payung. Dan gadis yang saya pilih untuk diberikan payung cinta adalah Lina. Semua teman-teman bertepuk tangan. Bahkan Frater Servaas yang waktu itu menjadi Kepala Sekolah ikut menyaksikan dan bertepuk tangan.
2 Januari 1965 Kami Menikah
Kata orang, cinta semasa sekolah adalah “cinta monyet” yang hanya mampu bertahan sesaat. Tapi kami membuktikan bahwa cinta kami bukanlah cinta monyet, melainkan cinta sejati.
Lulus SMA, karena ketiadaan biaya, maklum orang tua harus membiayai kami 11 orang bersaudara kandung, maka saya bekerja, sambil melanjutkan kuliah di sore hari. Tanggal 2 Januari 1965, kami menikah di Gereja dan di catatan Sipil, serta resepsi sangat sederhana di rumah orang tua di Pulau Karam, Padang.
Merantau Ke Medan
Seminggu usai pernikahan, sesuai rencana, kami meninggalkan kota Padang dan merantau ke Medan, Menumpang dirumah tante kami di Jalan Gandhi no. 37F, yang lokasinya di persimpangan jalan Asia. Kami tidak ingin membebani tante kami, maka saya memutuskan untuk mulai mencoba berdagang keliling, yakni Padang-Medan. Membeli permen di pabrik dan dengan Bus ALS, menempuh perjalanan sekitar 25 jam pada waktu itu, untuk menuju ke Padang. Dari Padang, membawa barang-barang eks Pekanbaru ke Medan. Namun, karena sama sekali belum berpengalaman, belum cukup setahun, semua modal ludes. Bahkan uang pinjaman dari tante kami, baru 2 tahun kemudian saya lunasi. Inilah kegagalan pertama dalam hidup kami.
Jadi Buruh di PT PIKANI -Desa Petumbak
Meratapi nasib tidak akan mengubah apapun. Maka saya berusaha mencari pekerjaan. Beruntung ada teman dari Padang yang bekerja di PT Pikani dan berkantor pusat di Jalan Irian Jaya, Medan, memberikan referensi, sehingga diterima sebagai buruh di Pabrik Karet. Tante kami berusaha menahan, namun kami tidak tega membebani tante kami. Saya dan istri pindah dan tinggal di pemondokan buruh, yang luasnya hanya 2×3 meter. Untuk mandi, kami harus bangun jam 4.00 subuh, karena hanya ada satu sumur disana dan menjadi kamar mandi untuk buruh.
Dua tahun kerja, tidak ada sisa uang di tabungan, malah saya hampir mati terserang malaria, karena pemondokan buruh, lokasinya di pinggir hutan. Akhirnya, kami pamitan dan pulang kampung.
Menjual Kelapa di Pasar Tanah Kongsi
Pulang kampung dengan menebalkan kulit muka, karena biasanya orang merantau mampu menggubah nasib, namun kami justru sebaliknya. Istri saya dengan ikhlas, menjual semua perhiasannya, yang tersisa hanyalah cincin kawin. Kami menyewa kedai di Pasar Tanah Kongsi dan sekaligus tinggal disana. Saya menjual kelapa parut dan istri saya mengajar di SMP Murni. Sementara itu putra pertama kami Irmanysyah Effendi lahir dalam kondisi serba kekurangan.
Suatu hari putra kami sakit, karena kurang gizi dan hidup ditempat kumuh. Ia mengalami kejang-kejang. Jantung serasa mau putus menyaksikannya, tapi kami tidak punya uang lagi untuk biaya berobat. Akhirnya minjam uang pada renternir dengan bunga 30 persen satu bulan. Kemudian tidak mampu membayar bunganya, maka dengan berat hati cincin kawin saya jual.
Tuhan Membuka Jalan
Selama tujuh tahun hidup kami bagaikan merangkak dalam lumpur dan selama itu tidak sekali jua istri saya mengeluh. Padahal tubuhnya semakin hari semakin kurus dana tersisa 41 kg. Setiap hari, bila hujan, kami kebanjiran, maka seluruh binatang merayap naik ketempat tidur. Kami tiga beranak hanya bisa saling berpelukan sambil berdoa. Dan setelah tujuh tahun menderita, Tuhan membukakan jalan. Ada teman yang mengajak saya untuk mulai berdagang, namanya Syamsuar (kini sudah alm).
Empat tahun setelah nasib berubah, kami sudah bisa membangun rumah di Jalan Bunda I, komplek Wisma Indah, Ulak Karang. Dari penjual kelapa saya kini menjadi Eksportir kopi dan cassia vera. (kulit manis).
Jatuh Bangun
Tapi keberhasilan tidak berjalan mulus, Suatu waktu saya ditipu sahabat dagang di Singapore. 65 ton barang tidak dibayar; Saya frustuasi dan jatuh sakit, dibawa oleh istri saya berobat ke Mount Elisabeth Singapore dan sempat di operasi 3 kali. Modal habis, disamping ditipu sahabat, juga membiayai saya berobat.
Istri Rela jadi Sopir Antar Jemput’
Ketika hidup terpuruk, istri saya dengan rela menjadi sopir antar jemput. Saya sungguh merasa amat bersalah. Bayangkan istri seorang pengusaha, kini harus menjadi sopir antar jemput anak anak sekolah. Dan cinta saya semakin mendalam, karena tidak sekali jua istri saya mengeluh.
Kami Bangun Kembali
Berkat rahmat Tuhan dan motivasi dari istri, saya akhirnya bangun lagi dan mulai berusaha. Dalam waktu 2 tahun kemudian, usaha kami pulih kembali.
Pindah Ke Jakarta
Tahun 1990, kami memutuskan untuk pindah ke Jakarta, karena putra-putri kami ketiganya sudah berkeluarga. Di Jakarta, istri saya yang biasa berkerja tidak merasa betah hanya duduk dirumah. Maka ia minta izin untuk bekerja di PT A.I.G -Lippo Life yang berkantor di Jalan Suryopranoto Jakarta.
Berkat kerja keras, Lina mampu meraih Champion Honour selama 3 tahun berturut-turut .Berarti setiap bulan puluhan juta rupiah masuk ke rekening istri saya.
Ketika Hidup Harus Memilih
Sudah lama saya bercita cita untuk mengelilingi seluruh Nusantara. Akhirnya saya sampaikan kepada istri saya. Lama Lina termenung, tapi akhirnya ia setuju. Dan ketika membaca catatan harian Lina, saya sungguh menangis.
“Saat-saat yang paling berat dalam perjalanan hidup ini, bukan ketika mendampingi suami hidup melarat dan menderita, serta tinggal di pasar kumuh. Tetapi justru ketika berada di puncak karir dan dihadapkan pada sebuah pilihan yang teramat sulit……”
“Namun , demi segala cinta yang ada di dalam jiwa, saya memilih, meninggalkan karir dan mendampingi suami tercinta, demi mengejar impiannya……..”
Inilah cuplikan dari catatan harian istri saya Lina, yang tak akan pernah saya lupakan. Ungkapan hati yang sangat mendalam ini, telah mengawal cinta kami berdua, menghadapi segala masalah hidup. Dan sejak itu pula kami selalu bersama sama, selama 24 jam setiap hari. Malam tadi, kembali istri saya mengulangi kata kata cintanya: “Satu satunya laki laki yang saya cintai didalam hidup saya adalah dirimu,”sambil memeluk saya.
53 tahun kami lalui dalam suka dan duka dan kini kami tinggal di Australia dan putra-putri kami. Tanpa pernah sekali juga meminta, mereka setiap bulan mengirimkan kami untuk kebutuhan hidup dan travelling. Apalagi yang kami lakukan, kalau bukannya semakin bersyukur atas kasih dan karunia Tuhan?
Ditulis sepenuhnya berdasarkan cuplikan perjalanan hidup kami. Semoga mampu menjadi inspirasi bagi orang banyak.
Tjiptadinata Effendi