Hidup ini adalah proses pembelajaran diri tanpa akhir. Seperti kata pribahasa: ”Belajar dari sejak buaian, hingga akhir hayat.” Dan kita bisa belajar dari apa saja dan dari siapa saja, Tidak harus dengan orang sesuku, seiman ataupun kepada orang yang bergelar professor. Bahkan kali ini, saya belajar dari seorang Pelayan restoran
18 tahun lalu, saya dan istri berkunjung ke Tibet. Tapi karena saking antusiasnya ingin mengunjungi negeri yang disebut sebagai: “The Roof of the World” atau negeri Atap Dunia ini, ada hal penting yang lupa kami perhitungkan, yakni musim dingin. Namun, semua sudah dipersiapkan dan kami jadi berangkat. Kendati temperature merayap 25 derajat Celcius dibawah titik beku, kami tidak ingin kehilangan moment-moment yang sangat berharga ini. Karena itu, kami memaksa diri untuk naik ke Potala Palace. Puas berkeliling disini, kami masih melanjutkan perjalanan ke Yokhang Temple.
Udara yang dingin, menyebabkan seluruh sendi-sendi tubuh terasa amat nyeri. Masih ditambah lagi dengan dada yang sesak dan rasa sakit yang amat sangat di kepala, karena kekurangan oksigen. Karena ketinggian Lhasa, ibu kota Tibet ini, berada di ketinggian 7000 hingga 8000 meter dari permukaan laut. Sehingga oksigen yang dapat diserap hanyalah sekitar 50 persen. Kekurangan asupan oksigen pada otak, menyebabkan pikiran tidak bisa terkonsentrasi dan jalan kami sempoyongan, seperti orang mabuk.
Tidak Semua Harus Dinilai dengan Uang
Hasrat hati untuk mendapatkan secangkir teh hangat, mungkin tak kurang hebatnya dibandingkan ketika kehausan di padang pasir. Saya mencoba melirik ke sekeliling, tapi tidak ada seorangpun tampak berjualan. Untuk melepaskan lelah, kami duduk di atas batu yang terletak di depan toko souvenir. Jaket tebal yang kami gunakan, seakan tidak berfungsi menghadapi alam yang seperti membeku, saking dinginnya.
Baru beberapa saat kami duduk, seorang gadis keluar dari toko dan membawa nampan, berisi dua cangkir teh yang masih mengepul, karena hangat.Saya berpikir, alangkah nikmatnya bila kami dapat menikmati secangkir teh hangat dalam dingin yang membeku di saat itu.Tidak disangka-sangka , si gadis membungkukkan tubuhnya untuk memberi hormat dan menyodorkan nampan berisi dua cangkir teh tersebut. Ternyata untuk kami berdua. Tentunya kami terima dengan penuh suka cita. Bagaikan mendapatkan hadiah besar. Pada saat saat seperti inilah sangat terasa, bahwa ternyata secangkir air itu amat sangat berharga. Berdua kami menghirup minuman dari surga itu perlahan-lahan. Sungguh luar biasa nikmatnya.
Selesai minum, saya mengeluarkan dompet dan mengeluarkan lembaran uang, yang nilainya mungkin 10 kali lebih besar daripada harga secangkir teh, sebagai ungkapan rasa terima kasih kami. Namun gadis tersebut buru-buru mengelengkan kepalanya, tersenyum lembut dan mengatakan: “Jangan, teh ini kami berikan, karena anda berdua kedinginan. Maafkan, tidak semua harus dihitung dengan uang “, kata si gadis dengan sangat sopan.
Saya Malu Pada Diri Sendiri
Wajah saya memanas, bukan karena hangatnya teh tersebut, tetapi saya merasa malu, karena diingatkan, bahwa dalam hidup ini tidak semuanya dinilai dengan uang. Walaupun melihat tampilan mereka dan toko souvenir yang kecil tersebut, jelas mereka sangat membutuhkan uang.
Pelajaran Sangat Berharga Bagi Kami
Secangkir teh hangat yang diberikan gadis pelayan toko di Lhasa, Tibet, menjadi pelajaran hidup yang sangat berharga bagi kami berdua. 18 tahun sudah berlalu, namun secangkir teh yang kami terima pada waktu itu, masih terasa hangat hingga saat ini. Pelajaran bahwa tidak semua hal harus dinilai dengan uang.
Tjiptadinata Effendi