Kemarin, tepat tanggal 21 Mei 2019, di subuh hari, saya terbangun oleh pelukan wanita yang sudah mendampingi saya dalam suka dan duka selama 54 tahun. Sebuah bisikan di telinga saya “Selamat ulang tahun ya, Sayang”
Rasa syukur yang menyeruak dari lubuk hati yang terdalam, menyebabkan kami berdua langsung bangun dan bersyukur ke hadirat Tuhan yang telah memberikan yang terbaik bagi kami berdua. Hari itu usia saya genap 76 tahun.
Perjalanan Hidup dari Masa Ke Masa
Menurut catatan di akta kelahiran, saya dilahirkan di Jalan Kali Kecil, Pulau Karam di kota Padang pada 21 Mei 1943, pukul 02.15 subuh waktu Dai Nipppon. Saya merupakan anak ke 9 dari total 11 orang bersaudara. Ayah saya dan ibu saya lahir di kota kecil Payahkumbuh. Ayah bekerja sebagai Sopir truk dan ibu mengurus rumah tangga. Dapat dibayangkan bagaimana sulitnya kehidupan kami pada waktu itu.
Lantai rumah dari tanah, atap rumah dari daun nipah dan dinding dari anyaman bambu. Sejak mata bisa melihat saya belum pernah merasakan sinar lampu listrik. Baru kelak setelah kakak -kakak saya bekerja, di rumah ada listrik.
Hingga Menikah Nasib Tak Kunjung Berubah
Sejak lahir dalam keluarga miskin, Bahkan hingga menikah, hidup kami disambut dengan kondisi yang morat-marit. Dari Padang pindah ke Medan, mencoba dagang antarkota tapi gagal dan seluruh modal ludas. Pernah jadi kuli di pabrik karet di PT PIKANI di desa Petumbak, KM 34 dari kota Medan. Namun dua tahun kerja keras, tidak ada yang tersisa dalam tabungan kami. Sementara istri saya sudah hamil anak pertama kami.
Kami memutuskan untuk pulang kampung menjadi Penjual Kelapa di Pasar Tanah Kongsi. Hingga putra pertama kami lahir, nasib kami masih mendung. Jam 3.00 subuh kami sudah harus bangun. Istri saya ke stasiun kereta api untuk menuju ke Pariaman, membeli kelapa sambil membawa putra kami yang masih kecil. Ketika putra kami sakit dan kejang-kejang, kami harus mengikhlaskan menjual cincin kawin, untuk biaya berobat. Kami jalani hidup menderita dengan penuh ketabahan. Karena yakin ,suatu ketika badai kehidupan pasti akan berlalu
Badai Itupun Berlalu
Setelah kerja keras selama berpuluh tahun, kini dengan penuh rasa syukur, kami tinggal menikmati hasil kerja keras kami. Dan tak kurang pentingnya, walaupun tidak mampu melakukan hal-hal yang spektakuler, tapi setidaknya kami sudah mengisi hidup dengan hal-hal yang kiranya ada manfaatnya bagi orang lain.
Bagaikan mimpi..
Kami berdua terpana menyaksikan foto-foto lama, yang sengaja saya letakkan di meja kerja untuk mengingatkan kami, bahwa kami tidak boleh berhenti untuk selalu bersyukur. Hidup kami kini sudah bagaikan siang dan malam dibandingkan hidup kami dulu, walaupun jauh dari sebutan kaya.
Saat yang paling menyiksa adalah di kala kami masih tinggal di pasar kumuh Tanah Kongsi. Karena setiap hujan turun dengan lebat, maka air kali meluap dan kedai merangkap tempat tinggal kami dibangun persis di pinggir kali. Maka bersamaan dengan air yang menggenangi seluruh ruangan, ikut puluhan binatang merayap seperti kecoa, cacing, lipan, tikus, dan kelabang.
Kami tidak punya tempat untuk menghindar dari air kecuali naik ke atas loteng dengan memanjat tangga darurat yang terbuat dari kayu asal-asalan. Di loteng tidak ada lampu dan kami harus merunduk, karena jarak dengan atap hanyalah sekitar 75 sentimeter.
Rasanya bagaikan mimpi pada saat ini kami bisa duduk santai di rumah yang disediakan oleh putra kami di Burns Beach, yang hanya berjarak sekitar 200 meter dari pantai yang indah. Malam ini, kami diundang putra kami merayakan ultah saya di Golden Palace Restaurant, bersama mantu dan cucu-cucu, serta kedua mantu cucu.
Bahkan pada ulang tahun ke 76, saya diberikan hadiah berupa sebuah mobil oleh putra kami . Tak terbayangkan rasa syukur kami yang menyeruak keseluruh relung hati terdalam. Bukan masalah mobilnya, tapi kecintaan yang kami dapatkan dari anak-anak kami. Baik yang di Australia, maupun yang di Jakarta.
Renungan diri…
Pada hari ulang tahun ke-76 ini, kembali saya mengingatkan diri agar senantiasa mengisi hidup dengan hal-hal yang ada manfaatnya bagi orang lain. Karena seperti kata pribahasa: “Sehebat apapun seseorang, selama hidupnya tidak bermanfaat bagi orang lain, maka sia sialah ia hidup di dunia ini”
Tjiptadinata Effendi