Usia panjang, seharusnya merupakan hal yang patut disyukuri. Kalau diibaratkan hidup ini bagaikan lomba lari marathon, maka ada yang baru mulai start sudah jatuh. Ada juga yang baru di perempat jalan sudah terhenti dan hanya sedikit yang bisa tiba hingga di garis finish. Begitu juga dengan perjalanan hidup ini, seperti kata pribahasa “Kelapa jatuh, mumbangpun jatuh” Yang dapat dimaknai, bahwa yang meninggal bukan hanya orang yang sudah lanjut usia, melainkan bisa saja bayi yang baru lahir atau balita entah karena alasan apapun, tiba-tiba sudah dipanggil Tuhan.
Usia Panjang Hendaknya Jadi Berkah
Usia panjang, tentu saja patut disyukuri. Sejak menginjak usia ke 60 tahun, saya mulai mendapatkan berita-berita sedih, karena satu persatu teman sekelas semasa di SMA Don Bosco meninggal dunia. Ada yang terkena serangan jantung, kanker, hipertensi, diabetes, stroke dan sebagainya. Kalau dulu, setiap kali ada kesempatan pulang kampung, saya sering bertanya tentang teman-teman sekolah. Tapi jawaban yang saya terima membuat hati saya jadi ciut. “Oo kalau itu, sudah lama meninggalnya atau kan 2 tahun lalu sudah meninggal” Hal ini diakibatkan, sejak kami pindah ke Australia tahun 2006 dan nomor HP teman-teman gonta ganti bahkan ada yang sudah tidak pernah lagi pegang HP maka kontak menjadi terputus. Sehingga kehilangan jejak teman-teman dan baru tahu, setelah mereka meninggal dunia.
Hidup Mati Ditangan Tuhan
Kalimat singkat padat ini, sering diterjemahkan secara keliru. Apalagi bila ditambah dengan kalimat “Belum ajal, berpantang mati” Seakan akan setiap orang boleh hidup semau gue, makan sesukanya, tidak perlu menjaga kesehatan, karena kalau belum ajal berpantang mati.
Akibat kesalahan cara berpikir ini, terbawa berlarut-larut, sehingga amat jarang orang yang mau sungguh-sungguh memperhatikan kesehatannya. Baru cari dokter, kalau sudah terkapar sakit. Ternyata dokter bukan Tuhan, karena itu ada yang masih dapat tertolong dan ada yang harus menderita berbulan-bulan, bahkan bertahun tahun, sebelum ajal menjemput. Bayangkan, kalau sudah tidak bisa mengurus diri sendiri, maka perlu seseorang yang harus membantu. Kalau anak anak hidupnya sudah mapan, bisa gaji perawat atau pembantu. Tapi bilamana kehidupan anak masih senin jumat, gimana jadinya? Bukankah hidup kita akan menjadi beban bagi anak cucu?
Pensiun Di Kursi Goyang? No,way !
Banyak orang yang membayangkan, bahwa ketika pensiun dapat menghabiskan waktu untuk berleha-leha duduk di kursi goyang .Padahal cara berpikir ini, akan menjerumuskan dirinya menjadi seperti apa yang dibayangkan. Sehingga ketika sudah memasuki usia pensiun, maka hari-harinya akan dihabiskan dengan duduk di kursi goyang, karena digerogoti berbagai gangguan kesehatan. Karena pikiran selalu mendahului realita. Apa yang dipikirkan secara terus menerus, akan direkam oleh alam bawah sadar dan menjelmakannya menjadi kenyataan, baik ataupun buruk .Karena itu, hal ini ada hubungannya kalimat yang sering kita dengar “You are what you think” Anda akan menjadi, seperti apa yang anda pikirkan. Bila kita sudah merencanakan bahwa di usia pensiun akan menghabiskan hidup di kursi goyang, maka kelak ketika hal ini terjadi, sudah terlambat untuk menyesalinya.
Mencegah Jauh Lebih Baik, Daripada Mengobati
Kalau selama ini termasuk tipe orang yang kurang memperhatikan kesehatan, maka mulailah hari ini. Jangan tunggu hingga keesokan harinya, karena hari esok belum tentu milik kita lagi. Sudah pernah menyaksikan, sore ini masih ketawa-ketawa sambil bersenda gurau, tiba-tiba keesokan harinya sudah tidak dapat lagi bergerak?
Langkah Langkah Yang Harus Dijalani
- Bersihkan pikiran dari segala hal negatif
- Pikiran negatif, akan hadirkan hidup negatif
- Hindari kursi goyang
- Hentikan merokok
- Makan secukupnya
- Disiplin olah raga setiap hari
- Hindari terlalu sering bergadang
- Hindari ketergantungan pada obat-obatan
- Jaga agar suasana hati gembira
- Jangan biarkan dendam bersarang dalam diri
- Syukuri apa yang menjadi milik kita
- Jangan biarkan rasa iri tumbuh dalam diri
- Sebelum tidur, biasakan introspeksi diri
Tidak Perlu Buku Tuntunan
Untuk menjaga kesehatan diri demi untuk mencegah atau meminimalkan gangguan kesehatan, tidak perlu buku tuntunan. Karena tuntunan yang terlalu muluk muluk, justru menyebabkan kita menjadi tidak tertarik untuk mengaplikasikannya. Kalau hidup bisa dipermudah, mengapa harus dipersulit ?
Tjiptadinata Effendi