Oleh: Kukuh Pramuji *)
Indovoices.com – Sunter adalah sebuah tempat dimana Sudjojono menemukan cinta pertamanya dengan seorang pujaan hati. Ia merupakan seorang gadis asli Betawi yang berparas manis bernama Yoyok. Sudjojono sempat merekam dan mengabadikan paras manis gadis Betawi itu dalam sebuah lukisan potret menggunakan media pastel.
Seperti lazimnya kebiasaan yang berlaku di kalangan masyarakat Betawi pada masa itu, orang tua Yoyok meminta mas kawin sebagai syarat untuk meminang anaknya. Persyaratan itu berupa sejumlah uang, beberapa perangkat pakaian yang terdiri dari kain dan kebaya, dan sebuah mesin jahit. Akan tetapi permintaan orang tua Yoyok itu kemudian tidak dapat dipenuhi oleh Sindudarmo maupun Sudjojono yang pada waktu itu, anak dan bapak ini memiliki taraf hidup yang pas-pasan, kalau tidak boleh dibilang miskin. Akhirnya kisah percintaan ini harus putus di tengah jalan.
Setelah hubungan percintaannya dengan Yoyok putus, Sudjojono kerap kali mengunjungi tempat-tempat mesum. Ia tidak pernah mau menggubris nasihat yang diberikan oleh orang tuanya. Bahkan peringatan ayah angkatnya pun, ia abaikan. Akhirnya orang tuanya pasrah, tidak berdaya menghadapi sikap keras kepala anaknya.
Di sebuah tempat pelacuran yang berada di daerah Senen, Sudjojono kemudian berjumpa dan berkenalan dengan seorang Pekerja Seks Komersial (PSK) yang berasal dari Cirebon bernama Fatimah. Ia kabur dari rumahnya karena dipaksa menikah dengan seorang haji yang umurnya jauh lebih tua darinya. Akhirnya ia melarikan diri ke Batavia dan akhirnya ia terdampar di kawasan itu.
Untuk mempertahankan hidupnya ia menjalani kehidupan berganti-ganti pasangan. Di kalangan para pelanggannya, Fatimah kemudian mengganti nama panggilannya dengan Adhesi. Adhesi adalah sebuah nama panggilan Fatimah yang diberikan oleh salah seorang pelanggannya.
Sudjojono, pemuda yang berpikiran idealis, seorang Maxis, serta pengagum Yesus Kristus yang telah berhasil mengentaskan Maria Magdalena, bermaksud mengajak Adhesi untuk menikah, atau setidaknya hidup bersama. Ajakan Sudjojono pun kemudian diterimanya dan atas pemberian Sudjojono ia kemudian berganti nama menjadi Miryam, sebuah nama yang dimaksudkan mirip dengan nama Maria Magdalena.
Sudjojono akhirnya membawa Miryam pulang ke rumahnya. Apa yang telah dilakukan Sudjojono ini membuat gempar keluarga besarnya. Orang tua Sudjojono sangat sedih dengan tindakan nekad yang dilakukan oleh anaknya. Namun demikian, sekali lagi mereka tidak berdaya untuk melawan Sudjojono yang keras kepala itu. Walaupun demikian, Marijem (ibu Sudjojono) tidak tinggal diam. Sebagai seorang ibu ia mengambil inisiatif untuk “membersihkan” Miryam dari segala “penyakit” nya.
Dengan penuh perhatian dan telaten setiap hari ia membuat ramuan obat-obatan pembersih darah tradisional dan memaksa Miryam mandi berendam dengan air ramuan itu. Dimintanya sang menantu untuk minum jamu tradisional Jawa. Miryam menuruti semua petunjuk mertuanya dan berusaha untuk menjadi seorang ibu rumah tangga yang baik. Pada saat itu Sudjojono menjadi seorang guru dan mengajar di Ardjuna School.
Pada suatu hari Sudjojono berselisih paham dengan Mangunsarkoro (Menteri Pendidikan dan Kebudayaan di zaman awal pemerintahan Bung Karno) yang sama-sama mengajar di Ardjuna School. Keduanya saling bersikeras untuk mempertahankan pendapatnya masing-masing. Sudjojono yang selalu membela dan mempertahankan dengan gigih pendapatnya yang ia anggap benar, sekalipun oleh orang lain dianggap keliru akhirnya memilih untuk keluar dari guru.
Setelah keluar dari Ardjuna School, Sudjojono membuka sekolah kecil yang diperuntukkan bagi anak-anak nelayan di Sunter di rumah orang tuanya. Ia memungut uang sekolah dari para muridnya sebesar sepuluh sen sebulan. Dari hasil pungutan itu ia menyisakan £ 4. Miryam yang sudah terbiasa hidup dengan gaji Sudjojono di Ardjuna School yang berjumlah £ 35 tidak bisa bertahan untuk diajak hidup melarat. Akhirnya ia melarikan diri. Sudjojono mencarinya di tempat lamanya, Senen, dan berhasil membujuknya untuk pulang. Tetapi beberapa hari berada di rumah ia kabur lagi, dijemput pulang sampai tiga kali tetap demikian. Akhirnya setelah itu Sudjojono tidak menjemputnya lagi.
Sudjojono akhirnya menyadari bahwa ia telah gagal untuk membantu Miryam menjadi seorang Maria Magdalena. Sebagai seorang penghibur, Miryam bisa mendapatkan uang yang jauh lebih banyak dari £ 4 dan bahkan £ 35. Dari kehidupan yang dijalaninya bersama Miryam ini, lahirlah lukisan Sudjojono yang kemudian diberi judul “Di Depan Kelambu Terbuka”. Lukisan yang sekarang menjadi koleksi Istana Kepresidenan ini menggambarkan Miryam dengan sorot mata yang pasrah yang duduk di ranjang dengan kelambu yang dihiasi bunga-bunga jeruk yang dalam bahasa Belanda nya sering disebut dengan istilah oranjebloesem.
Sanusi Pane, seorang kritikus seni pernah menulis sebuah kritik tentang lukisan itu dengan menyatakan, “seperti ada derita di balik sosok perempuan itu”. Di samping itu, Umar Kayam, seorang novelis dan mahaguru di Universitas Gadjah Mada (UGM) menuliskannya dalam sebuah feature di sebuah halaman pertama Harian Kompas dengan melemparkan sebuah pertanyaan: “Siapa perempuan Di Depan Kelambu Terbuka Itu?”. Pertanyaan tentang perempuan berwajah melankolik dan misterius itu kemudian terjawab dan diterangkan secara langsung oleh Tedjabayu.
Di Depan Kelambu terbuka merupakan sebuah lukisan yang ingin menggambarkan sebuah realita kehidupan pada zaman Hindia Belanda yang penuh dengan penderitaan akibat adanya penjajahan. Kemiskinan dan kebodohan merajalela karena para golongan priyayi dan orang-orang kaya sajalah yang bisa mengenyam bangku pendidikan sekolah.
Realitas kemolekan perempuan dalam kanvas berbingkai ukiran mahal, sama sekali tidak terlihat pada figur Adhesi, seorang PSK di Senen yang menjadi model bagi sang Maestro. Pandangan matanya yang nanar merupakan sebuah refleksi dari sebuah kemiskinan yang kemudian memaksanya untuk terjun menjadi seorang PSK di Batavia.
*) Dr. Kukuh Pamuji, S.Pd., M.Pd., M.Hum. adalah Widyaiswara Ahli Madya di Pusdiklat Kementerian Sekretariat Negara.