Oleh: Gurgur Manurung
Indovoices.com – Siang itu, seorang sahabat menelpon saya. Dia ditangkap polisi karena membawa oli dari kumpulan oli dari bengkel-bengkel di Jakarta Barat. Hampir di semua tempat, pengumpul oli dari bengkel-bengkel itu makanan “empuk” polisi. Alasannya, tidak memiliki izin transportasi.
Di era SBY izin transportasi limbah B3 diberikan oleh Kementerian Lingkungan dan Kementerian Perhubungan. Biasanya, kasus ini diselesaikan dengan “damai”. Para pengumpul oli itu badannya kotor, berkeringat dan kepanasan. Mereka ketakutan mengumpulkan oli karena kejar-kejaran dengan polisi.
Padahal, para pengumpul oli itu membantu negara untuk membersihkan lingkungan. Bayangkan jika oli itu tidak ada yang mengumpulkan. Terjadi pencemaran air dan tanah yang luar biasa.
Jika kita rajin menonton televisi,atau baca koran berita kriminal maka akan kita lihat dan baca para penjahat pengoplos oli. Pengoplos oli itu dijadikan orang jahat. Mengapa mereka menjadi penjahat?. Mereka penjahat karena memalsukan merk dagang? Jika kita jernih dan paham ekonomi kerakyatan maka mereka para pengoplos oli itu adalah orang-orang kreatif, inovatif. Mereka mengikuti prinsip ilmu lingkungan yaitu reuse, reduce, recycleyang dikenal dengan 3R. Mereka ditangkap karena melanggar regulasi yang rentan titipan kaum pemodal.
Jika kita jernih dan pro keadilan, sejatinya pengoplos oli yang kreatif, inovatif dan jenius itu harus difasilitasi pemerintah. Mereka itu pekerja keras yang tidak paham bagaimana penyaluran inovasi mereka tidak melanggar aturan. Mereka tidak paham kemana mereka melapor agar tidak dianggap penjahat. Pahitnya, banyak yang paham prosedur tetapi tidak lolos karena tidak dibimbing tapi “dibunuh” kreatifitasnya. Mereka para pengoplos oli itu sejatinya dibina dan difasilitasi agar produktif membangun bangsa dan negara yang kita cintai ini. Inilah paradigma pro rakyat yang mencerdaskan.
Sadar atau tidak, banyak aturan yang menghalangi masyarakat kita untuk memberikan kontribusi untuk menyelamatkan lingkungan. Contoh, banyak limbah Bahan Berbahaya dan Beracun (B3) menumpuk puluhan tahun di pulau itu karena tidak ada transporter laut yang memiliki izin untuk mengangkut. Tahun demi tahun persoalan tidak tuntas karena inovasi masyarakat tidak berkembang karena takut dituding penjahat.
Di Pulau Batam limbah Karbit menggunung, di berbagai daerah limbah fly ash, buttom ash menumpuk. Adakah kreativitas yang bisa mengerjakan dengan prinsip 3R?. Semua ketakutan untuk mengerjakan karena ketakutan ditangkap polisi. Inilah realita pengelolaan limbah B3 kita. Pengelolaan limbah B3 kita digantungkan kepada pemilik modal yang penuh intrik. Masyarakat yang memiliki kreativitas dan inovasi terpasung. Tidak ada jalan keluar. Posisi abu-abu ini dimanfaatkan oknum pihak keamanan untuk menambah pundi-pundinya. Hampir di semua daerah di Indonesia, pengelolaan limbah B3 adalah hal yang sangat serius. Oleh karena itu, pemerintahan Jokowi harus segera mengevaluasi dan bertindak dengan segera.
Dalam konteks pengelolaan Limbah B3 yang runyam, maka pemerintah era Jokowi perlu mengevaluasi seluruh regulasi tentang pengelolaan limbah B3. Pemerintah harus berubah paradigma tentang limbah B3. Pemerintah mendoring masyarakat kreatif untuk berkreasi bukan menganggap mereka penjahat. Semua elemen bangsa perlu bahu membahu untuk menuntaskan persoalan ini agar lingkungan kita sehat. Pembangunan kita berkelanjutan.
*) Penulis adalah alumnus pascasarjana IPB bidang Pengelolaan Sumber Daya Alam dan Lingkungan.