SERPONG – Pendidikan kedokteran sebagai bagian dari pendidikan tinggi selalu mendapatkan perhatian khusus dari Pemerintah, terutama sejak terbitnya UU No.20/2013 tentang Pendidikan Kedokteran. Pendidikan Kedokteran bertujuan untuk menghasilkan dokter yang profesional dan kompeten untuk memenuhi kebutuhan masyarakat Indonesia secara berkeadilan. Selain itu, pendidikan kedokteran juga bertujuan untuk meningkatkan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi di bidang kedokteran.
Pada era revolusi industri 4.0, pendidikan kedokteran memiliki tantangan baru untuk menerapkan tiga literasi baru, yaitu data, teknologi, dan kemanusiaan untuk menghasilkan dokter Indonesia yang mampu beradaptasi dan mampu memenuhi kebutuhan nasional dan global.
Direktur Penjaminan Mutu Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Aris Junaidi memaparkan potret pendidikan kedokteran di Indonesia setelah empat tahun implementasi UU No.20/2013 hingga akhir 2017, Indonesia memiliki 83 Fakultas Kedokteran dengan disparitas kualitas di seluruh wilayah Indonesia. Berdasarkan data status akreditasi prodi kedokteran dari LAM-PTKes, terdapat 22 prodi terakreditasi A (27 %), 37 prodi terakreditasi B (44 %), dan 24 prodi terakreditasi C (29 %). Kemenristekdikti telah bekerja sama dengan Kementerian Kesehatan dan stakeholders pendidikan kedokteran dalam upaya standarisasi kualitas input, proses dan output dari pendidikan kedokteran melalui berbagai peraturan.
Selain status akreditasi, parameter kualitas Fakultas Kedokteran tercermin dari hasil Uji Kompetensi Mahasiswa Program Profesi Dokter (UKMPPD). Sejak implementasi UKMPPD sebagai exit exam pada tahun 2014, Fakultas Kedokteran dituntut untuk lebih bertanggung jawab dalam menjamin mutu lulusannya sehingga mendorong gerakan perubahan untuk semua civitas akademika dan stakeholders pendidikan kedokteran.
“Setiap lulusan pendidikan kedokteran harus lulus UKMPPD untuk mendapatkan sertifikat profesi dokter dan sertifikat kompetensi dokter, serta melakukan sumpah dokter, hal ini untuk memastikan bahwa setiap lulusan telah memenuhi standar kompetensi dokter, yang tidak hanya memberikan pelayanan kepada masyarakat melalui praktik profesi, tetapi juga mampu menjaga nilai luhur profesi dokter,” ujar Aris.
Hasil UKMPPD hingga saat ini juga menunjukkan perkembangan yang baik, dan mengindikasikan bahwa intervensi UKMPPD telah mendorong perbaikan input dan proses pembelajaran di tiap Fakultas Kedokteran. Berdasarkan data dari Panitia Nasional UKMPPD, sejak Agustus 2014 hingga Mei 2018, UKMPPD telah meluluskan sekitar 39.000 dokter, dan menyisakan sekitar 2400 retaker (< 8 % dari total peserta yang telah mengikuti UKMPPD). Di sisi lain, persentase kelulusan UKMPPD mengalami kenaikan yang cukup signifikan. *Dengan Nilai Batas Lulus 66, % kelulusan 1st taker pada tahun 2014 adalah 67 % dan meningkat menjadi 73 % pada akhir 2017, bahkan pada periode Mei 2018 mencapai > 80 %.*
Hal ini menunjukkan adanya perbaikan proses pembelajaran, berbasis umpan balik hasil UKMPPD yang dianalisis per mahasiswa maupun per institusi. Setiap akhir tahun, Fakultas Kedokteran mendapatkan umpan balik hasil UKMPPD yang dapat menjadi dasar untuk perbaikan kurikulum dan manajemen Fakultas Kedokteran. Hanya saja masih ada 2.494 yang belum lulus dan masih proses pembinaan.
Berdasarkan analisis dari tim ahli dan PNUKMPPD, hasil UKMPPD berkorelasi positif dengan status akreditasi prodi kedokteran. Berdasarkan data umpan balik hasil UKMPPD hingga akhir 2017, prodi kedokteran yang terakreditasi A sebagian besar kelulusan UKMPPD > 80 % dengan jumlah total peserta > 500, sedangkan prodi yang terakreditasi C sebagian besar < 50 % dengan jumlah total peserta > 200. Namun demikian, ada outlier data dimana prodi kedokteran yang saat ini terakreditasi A, memiliki kelulusan < 50 %. Hal ini merupakan dampak dari sistem seleksi mahasiswa yang belum baik pada 10 tahun sebelumnya. Sebaliknya, ada prodi kedokteran yang saat ini masih terakreditasi C (kategori prodi baru), namun sistem seleksi mahasiswa nya sudah baik, memiliki kelulusan > 80 %. Fakta ini menunjukkan kebijakan penjaminan mutu output harus terintegrasi dengan input dan proses, sehingga hasil UKMPPD menjadi parameter penilaian untuk akreditasi dan kuota nasional mahasiswa prodi kedokteran.
Selama empat tahun implementasi UKMPPD, isu utama yang dihadapi adalah penanganan ‘retaker’. Sejak tahun 2015, Kemristekdikti telah membentuk tim ahli yang merupakan representasi pakar dan stakeholders pendidikan kedokteran untuk menyusun kajian sebagai dasar rekomendasi kebijakan penanganan retaker UKMPPD. Selanjutnya, Kemristekdikti telah menjalankan program bimbingan khusus ‘retaker’ UKMPPD, program pembinaan Fakultas Kedokteran yang hasil UKMPPD nya < 50 % dan memiliki jumlah retaker terbesar, kajian dampak UKMPPD serta kajian untuk pelaksanaan UKMPPD bertahap. Pada tahun 2018, strategi pembinaan menggunakan model kemitraan, dimana Fakultas Kedokteran yang mendapatkan pembinaan akan mendapatkan asistensi dari FK dengan prodi kedokteran terakreditasi A yang ditugaskan oleh Kemristekdikti.
Pemerintah telah melakukan dialog dengan stakeholder melalui fasilitasi Komite Bersama Kemenristekdikti dan Kemenkes untuk merumuskan usulan solusi bagi para retaker, dengan beberapa alternatif, yaitu : Retaker yang tidak dapat lulus UKMPPD akan memperoleh surat keterangan selesai program profesi dokter dari perguruan tinggi ; reschooling dengan diikutsertakan dalam program matrikulasi dan pembimbingan klinik, sebelum mengikuti kembali UKMPPD; dan retaker sedang menunggu kelulusan UKMPPD atau mengikuti reschooling dibebaskan dari biaya pendidikan.
Dalam upaya meningkatkan kualitas dan akuntabilitas sistem UKMPPD, Kemristekdikti memfasilitasi pengembangan sistem uji online dengan sistem keamanan data dan informasi yang handal, serta publikasi hasil UKMPPD dan kinerja Fakultas Kedokteran pada laman Kemristekdikti dan berbagai forum nasional. Di sisi lain, Kemenristekdikti berharap agar upaya penjaminan mutu pendidikan kedokteran dapat didukung oleh seluruh stakeholders pendidikan kedokteran dan perguruan tinggi dengan menjalankan semua aturan dengan benar, sehingga pendidikan kedokteran di Indonesia dapat menjawab tantangan era revolusi industri 4.0. (HS)