Sebagai orang yang pernah tinggal dan menjadi warga negara di dua negara, Saya merasa bersyukur. Mungkin kalian bertanya, kenapa bersyukur? Untuk itu akan Saya ceritakan pengalaman pribadi Saya dan keluarga.
Saya lahir di Indonesia, sekolah dan bekerja di Indonesia. Seperti kebanyakan manusia pastinya mengalami banyak musibah dan masalah. Sebut saja musibah banjir besar di Jakarta tahun 2000an merupakan pengalaman pertama saya sebagai pengungsi korban banjir, kemudian musibah bom oleh teroris di hotel JW Marriot juga pernah merusak gedung kantor tempat Saya bekerja pada saat itu. Namun di sini Saya tidak akan ceritakan tentang musibah tersebut. Saya hanya akan fokus pada cerita mengenai penyakit Scheloderma yang saya alami.
Sekitar Tahun 2007, Saya dan suami berimigrasi ke Australia. Ketika itu, Saya sedang hamil sekitar 7 bulan. Sebagai warga Indonesia kelas menengah ke bawah, tentunya berharap untuk hidup lebih terjamin di negara yang makmur dan memulai kehidupan yang lebih baik. Memang kehidupan kami semakin baik di Australia, intinya kalau kita tidak pilih-pilih kerja, yang namanya cari uang itu gampang.
Pada tahun ke-3 saya bermukim di Australia, tepatnya tahun 2010. Saya mulai merasakan badan saya sakit-sakit seperti orang yanh kecapekan, pegal dan ngilu. Kemudian Saya cek up ke dokter, pada konsultasi pertama, dokter tidak menemukan apa-apa. Namun kondisi saya tidak semakin membaik, akhirnya Saya kembali ke dokter untuk mengulangi pemeriksaan.
Ohya, Di Australia, kita tidak bisa langsung ke dokter spesialis, namun harus ke dokter umum (General Practitioner) terlebih dahulu untuk penyakit apapun. Dan dokter umumlah yang mempunyai tugas untuk mereferensikan pasien ke dokter spesialis jika diperlukan.
Nah, Dokter umum langganan Saya saat itu menyuruh Saya melakukan test darah, setelah dua kali melakukan test darah baru diketahui bahwa ada masalah pada antibody Saya. Lalu si Dokter langganan saya itu pun memberikan referensi ke dokter spesiali tulang (Rheumatologist).
Berdasarkan hasil pemeriksaan dokter spesialis, baru kemudian diketahui ternyata Saya menderita penyakit yang beberapa tahun terakhir sedang nge-trend di seluruh dunia yaitu Autoimmune. Penyakit Autoimmune sendiri terdiri dari berbagai macam, untuk kasus Saya namanya Scleroderma. Kalau diartikan adalah Kulit Keras. Namun tidak hanya kulit Saya yang mengeras seperti kulit kayu, bahkan seluruh persendian juga terasa mengeras, kaku dan sakit.
Hanya dalam waktu lebih kurang setengah tahun, badan Saya sudah kaku seperti robot. Scleroderma terbagi 2 macam secara umum yaitu:
- Localised scleroderma, yang memberikan efek pada kulit saja.
- Diffuse scleroderma, melibatkan organ dalam dan juga kulit misalnya pembuluh darah dan kulit, juga dikenal sebagai systemic sclerosis
Dokter menjelaskan diagnosis penyakit saya setelah menjalani bebagai test (MRI, CT-scan, X-Ray, ECG, Lung Function Test, dan lain-lain). Untuk kasus scleroderma yang saya, disebut Diffuse Systemic Sclerosis. Artinya penyakit saya melibatkan organ dalam yaitu paru-paru, pembuluh darah, persendian dan otot. Setelah “paket hadiah” scleroderma tersebut juga ditambah “bonus” dimana scleroderma Saya cukup agresif karena telah menyebar ke seluruh tubuh hanya dalam waktu beberapa bulan.
Belum cukup dengan hasil penjelasan diagnosa penyakit saya, dokter menambahkan bahwa scleroderma belum ada penyembuhan dan obatnya sampai saat ini. Yang bisa dilakukan adalah mengobati setiap gejala yang ada agar tidak memburuk dan jika beruntung akan memperbaiki gejala penyakit yang ada.
Dokter lalu mulai memberikan berbagai macam obat sesuai dengan gejala yang saya alami namun sayangnya kondisi saya semakin memburuk. Bahkan jari-jari tangan saya pun mulai bengkok. Dan juga membiru jika dingin (Raynaud’s syndrome).
Di tahun 2011, tim dokter saya kemudian menyarankan saya untuk menjalani cangkok sel induk (Stem Cell Transplant / Bone Marrow Transplant). Akhirnya Saya menyetujui karena memang untuk Scleroderma belum ada obatnya dan cangkok sel induk dipercaya dapat meregenerasi sel baru sehingga sel baru ini yang akan memperbaiki kondisi pasien dengan sendirinya.
Saya sangat beruntung ditangani oleh Tim dokter yang sangat baik dan perhatian, mereka sangat mengerti kondisi Saya dan juga berusaha menjaga kesehatan mental Saya. Baik Tim dokter maupun tim kesehatan yang pernah menangani kasus pencangkokan sel turut memberikan penjelasan secara detail tentang resiko dan manfaat dari cangkok sel, mereka pun tak ragu dengan mengajak Saya dan keluarga untuk tour ke fasilitas pencangkokan sel induk, mempromosikan tingkat keberhasilan pencangkokan 100%, dimana belum ada kasus yang gagal.
Mendapat perlakuan seperti itu membuat Saya merasa seperti pelanggan VIP ketika itu. Selain tim dokter dan kesehatan, ada juga tim dari relawan yang membantu Saya dan keluarga di luar urusan medis misalnya meminjamkan wig setelah kemotherapi. Intinya mereka berusaha membuat Saya dan juga keluarga merasa nyaman, bebas dari stress dan pikiran negatif.
Setelah semua persiapan dilakukan selama lebih kurang 2 bulan, pada awal tahun 2012, Saya menjalani prosedur pencangkokan sel induk. Pencangkokan Sel Induk itu sendiri sebenarnya tidak seseram namanya, bukan operasi seperti yang dibayangkan oleh banyak orang. Prosesnya seperti pencucian darah pada pasien penyakit ginjal. Proses singkatnya adalah, dengan cara tertentu yakni dengan menyuntikan obat kepada pasien selama 1 minggu pertama, lalu sel darah induk dipancing mengalir ke pembuluh darah untuk kemudian dipanen seperti proses pencucian darah dengan mesin.
Pasien diberikan chemo-therapy sekitar 4 kali, tujuannya adalah untuk membunuh sel di dalam tubuh. Sel Induk yang sebelumnya dipanen, diberikan obat tertentu sehingga menjadi sel induk yang sehat. Kemudian sel induk yang sudah sehat ini akan dicangkokkan ke pasien seperti proses transfusi darah.
Penulis: Juliana Lim