Lagi heboh kasus bayi Debora yang telah dipanggil Sang Pencipta. Beritanya luar biasa. Ada yang menulis dengan tendensius, ada pula yang melodrama. Ada yang menulis karena rasa sakit hati yang tak tertuntaskan karena pernah mengalami seperti itu, ada pula yang menuturkan demi mendapat panggung.
Berbicara soal kematian, saya percaya, meski saya dan rekan-rekan sejawat sudah sering menghadapi pasien yang meregang nyawa ketika kita bekerja melayani pasien, tetap saja merasakan duka dan kekecewaan ketika tidak berhasil menyelamatkan pasien. Jadi, ketika dituduh tidak berempati terhadap kematian, itu tuduhan yang tidak berdasar.
Betapa tidak. Semua dokter, akan berupaya menyelamatkan semua pasien berdasarkan keilmuan dan keahlian yang dimilikinya. Bukan saja karena kita disumpah untuk hal itu. Tapi secara nurani, kita memiliki tanggung jawab moral untuk memberikan semua yang kita bisa demi kebaikan,kesehatan, dan kesembuhan pasien. Kepuasan yang didapat ketika pasien sembuh atau selamat ketika ditangani, tak akan tertandingi dengan apapun meski mendapat imbalan upah yang besar. Bahkan, rasa puas itu terasa lebih besar lagi apabila pasien itu tidak mampu membayarnya, kita bayarin, dan mereka tidak tahu bahwa dokternya sendiri yang sudah menebus obat itu. Loh kok bisa?
Dulu waktu saya masih bertugas sebagai dokter ptt di Sumba, banyak pasien saya yang kelas ekonominya di bawah rata-rata. Jangankan buat bayar obat, buat makan saja sulit. Jadi, saya dan teman-teman dokter lain sering juga membayar biaya obat atau laboratorium yang dilakukan terhadap pasien. Tidak di bayar langsung sih, tapi di resep atau di form laboratorium nya ditulis “Potong dari gaji saya..”. Kita saling diam kalau soal itu. Tapi belakangan saya tahu ‘kebaikan hati’ mereka ini ketika berkumpul di ruangan dokter dan membahas pasien. Entah siapa yang memulainya, tapi satu persatu membagikan bahwa mereka pernah melakukan ini! Dan semua sepakat bahwa rasanya puas banget ketika pasien tidak tidak tahu bahwa kita yang telah membayar obat itu. Teman-teman saya ini, adalah teman kerja yang selalu saya banggakan
Oke,balik ke topik.
Bayi Debora meninggal, itu adalah duka yang besar. Bukan saja buat orangtua nya. Tapi duka bagi kita semua. Dampak yang ditimbulkan akan blow up media sana sini cukup besar untuk dunia kesehatan bangsa ini. Tapi kabar baik dari itu adalah, ini akan menjadi titik tolak pembenahan dalam manajemen penanganan pasien di setiap fasilitas kesehatan ke depannya. Tapi bila ditarik pertanyaan, apa iya keberpulangan adik mungil itu karena tidak ditangani?
Saya beberapa hari yang lalu membaca sebuah tulisan seseorang yang cukup saya hormati mengenai kasus ini. Dalam salah satu kalimat di tulisannya, beliau menulis,”Kemudian dokter itu tanpa empati…”
Pertanyaan saya, bagaimana bisa kalimat tendensius itu muncul sementara sang penulis tidak berada di tempat ketika kejadian itu terjadi?
Kemudian, seorang yang lain yang saya kagumi juga menulis seperti ini,”Apakah kalian tidak ingat sumpah profesi kalian?” (Saya lupa persisnya, tapi kira-kira seperti ini).
Apa yang membuat pernyataan ini keluar? Apakah ada tindakan dari dokter itu yang bertujuan mencelakakan pasien? Atau apa iya dokter itu mengabaikan pasien gawat di UGD?
Penandatanganan surat pernyatan secara simbolis oleh 187 pimpinan rumah sakit se DKI Jakarta berkaitan dengan kewajiban rumah sakit memberi penanganan pasien gawat darurat tanpa meminta uang muka di Kantor Dinas Kesehatan DKI Jakarta, 15 September 2017. Tempo/Yusuf Manurung.
Jadi begini, bapak ibu yang dirahmati Tuhan.
Semua dokter, ketika bekerja di UGD, dijamin hidupnya tidak akan pernah tenang. Menjelang jaga, pasti doanya semoga pasien yang datang ga jelek-jelek amat. Gimana bisa tenang, nyawa manusia ada di tangan kita. Kepercayaan pasien dan keluarganya ada di pundak kita. Nama baik profesi dan rumah sakit berada di dalam tanggung jawab kita.
Unit Gawat Darurat itu, sebagaimana namanya, isinya ya pasien-pasien yang akan membuat kita lelah secara fisik dan otak. Otak akan lelah karena terus berpikir prosedur apa lagi yang harus dilakukan, terapi apa yang paling tepat, bahkan diagnosa paling pasti itu apa, meski diagnosis sering berubah sesuai kondisi pasien. Sedangkan fisik, kelelahan akan timbul karena berlari sana sini mengambil obat, melakukan resusitasi jantung paru, bolak-balik mengawasi pasien dan menulis laporan medis. Berbeda sekali dengan dokter di ruangan, meski tanggung jawabnya sama besar. Jadi, cukup jelas bahwa tidak akan pernah ada dokter yang akan tinggal diam dalam menjaga dan merawat pasiennya disana.
Hal kedua, sistem.
Bekerja di rumah sakit, bukan berarti kita para dokter bisa dengan mudah melakukan segala sesuatunya. Meskipun itu demi kebaikan pasien, ada prosedur yang mesti diikuti. Ada aturan yang mesti ditaati. Tujuan prosedur dan aturan adalah untuk melindungi semua pihak yang berbagian di dalam pelayanan ini. Bukan saja melindungi pasien, tapi dokter, perawat, petugas laboratorium, hingga rumah sakit secara institusi. Di dalam pelaksanaannya, dokter akan selalu berkonsultasi kepada pemangku jabatan diatasnya. Konsultasi secara medis dilakukan kepada dokter spesialis sesuai dengan penyakit pasien, konsultasi administratif kepada manajer pelayanan rumah sakit sebagai penghubung dan pengganti direksi selama masa kerja aktif di rumah sakit. Sistem ini telah diatur dan dikelola sedemikian rupa, sehingga apabila satu bagian berupaya kreatif dalam melakukan terobosan, misalnya dokter UGD langsung memasukkan pasien ke ICU, tentu saja akan mendapat pertanyaan dan penapisan dari bagian lain yang ada. Bagian ICU, adalah bagian yang menjadi bagian pertama yang akan melakukan konfirmasi. Lalu bagian administrasi. Dan seterusnya. Kenapa bisa begitu? Karena semua bagian telah disosialisasikan bagaimana prosedur yang harus dijalankan secara teamwork.
Dokter ketika bekerja di rumah sakit, adalah sama statusnya sebagai karyawan lain yang harus mengikuti aturan yang ada. Tidak bisa serta merta mengirim pasien ke ICU tanpa melalui proses konfirmasi. Jika ada dokter UGD yang bisa langsung memasukkan pasien ke ICU, tolong sampaikan kepada saya dimana rumah sakit itu. Saya dan teman-teman lain akan segera melamar untuk bekerja disana.
Hal ketiga. Situasi di UGD tidak pernah menjadi situasi yang baik-baik saja manakala ada pasien gawat darurat masuk disana. Teriakan-teriakan pasti ada. Kalau bukan pasien yang berteriak, keluarga pasien yang akan berteriak. Makin riuh kalau ada keluarga lain yang penuh kompor berteriak kepada tenaga medis maupun paramedis. Semakin seru jika dokter yang teriak. “Mas, itu adrenalinnya di laci no 3! Buruan! Bisa cepat ndak sih?!” Teriak dokter kepada perawat. Atau “Bu, jangan berdiri disini dong. Kita gimana mau RJP pasien??” Teriak perawat kepada keluarga pasien yang sibuk menonton. Atau koor dokter dan perawat,”Tolong ya jangan ambil foto disini!”.
Dengan situasi seperti itu, apa iya kita bisa menilai secara objektif akan apa sebenarnya terjadi? Pasien selamat saja, subjektivitas emosional akan sangat kentara,”Dokter penyelamat jiwa bapakku. Aku ga bisa bayangkan kalau tidak ada dokter…” Dan bla bla bla disertai pelukan dan tangisan bahagia. Bisa bayangkan apabila pasien tidak selamat? Dokter dan perawat akan dianggap orang jahat tentu saja. Dan dikatakan tidak punya empati. Mengabaikan kondisi sebenarnya pasien, mengabaikan usaha optimal yang sudah diberikan.
Sekarang, bila kita melakukan investigasi kepada keluarga yang berduka akan kejadian yang dialaminya, seberapa besar sih objektivitas yang akan muncul dalam membuat keterangan kepada sang pewawancara? Dengan kondisi emosi yang sedih, pola penuturan akan menjadi berbeda. Maka dari itu, adalah penting membuat sebuah tulisan publik dengan melakukan kroscek kepada 2 pihak.
Ada sistem yang perlu dibenahi, itu benar. Dan ini melibatkan pengertian banyak pihak. Dengan membuat ulasan berupa tudingan serta opini yang dipenuhi kemarahan, apa iya membantu dalam proses pembenahan sistem ini. Lalu, apabila hati kita puas dengan membuat tuduhan kepada pihak yang bisa dikambinghitamkan, apa iya kita benar-benar berduka akan kejadian adik Debora itu? Mari kita tanyakan pada diri kita sendiri.
Istirahat yang tenang, adik kecil Debora. Sampai berjumpa muka dengan muka dirumah Tuhan.
POLEMIK IURAN BPJS DARI KACAMATA PESERTA BPJS PENERIMA BANTUAN IURAN PEMERINTAH Sejujurnya saya tergerak menuliskan tentang hal ini dikarenakan saya...
Indovoices.com -Direktur Jenderal Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Kemenkes, Anung Sugihantono mengatakan penyakit Hepatitis A bisa sembuh bila dikelola dengan...
Indovoices.com -Penderita penyakit Tuberkulosis (TBC) di Kabupaten Aceh Utara mengalami kenaikan. Pada 2017, penderita TBC di Aceh Utara sebanyak 460...
Indovoices.com -Dalam rangka meningkatkan kemampuan ketahanan nasional dalam menghadapi kedaruratan kesehatan masyarakat dan/atau bencana nonalam akibat wabah penyakit, pendemi global,...