Minggu lalu, saya dan isteri sempat berlibur selama seminggu di Negeri Belanda. Sekaligus memanfaatkan peluang ini untuk bertemu dengan kerabat kami, yang sudah puluhan tahun tidak pernah bertemu.
Kami dijemput di Bandara Schipol oleh Om Ronald dan isterinya, yang kami panggil tante Yet. Sebuah pertemuan yang tentu saja sangat membahagiakan, karena sudah puluhan tahun kami tidak pernah bertemu lagi, sejak keduanya hijrah ke Negeri Belanda. Disini Ronald, menjadi dosen di salah satu Universitas di Tilburg, namun kini sudah pensiun.
Kanal Amsterdam
Setelah istirahat seharian, esok harinya, kami langsung diajak jalan-jalan dengan Speed Boat, yang berjejeran disana. Kita tinggal memilh, mana yang berkenan dihati. Oleh Ronald, kami diajak naik ke Speed Boat, yang akan membawa kami mengelilingi Kanal Amsterdam yang panjangnya mencapai hampir 100 Km.
Setelah membeli tiket seharga 11 Euro atau sekitar Rp.150.000 perorang, maka kami naik ke atas perahu bermotor yang berkapasitas sekitar 20 orang penumpang. Tempat duduk yang lapang dan pemandangan yang mengasyikan, membuat para pelancong tidak memperhatikan air kanal, yang tidak dapat dikatakan bersih, bahkan boleh dikatakan berwarna kusam.
Sepanjang perjalanan, Kapten dari Perahu bermotor ini, merangkap menjadi Pemandu Wisata. Menjelaskan bahwa perahu yang sudah tidak layak pakai, dimodifikasi dijadikan rumah terapung dan setelah diperbaiki dan disesuaikan dengan aturan pemerintah setempat, rumah-rumah terapung ini di nyatakan legal secara hukum. Jadi bukan perumahan liar.
Melewati Daerah Lampu Merah
Ketika melewati daerah :”Lampu Merah” yang menjadi salah satu ikon kota Amsterdam ini, dari lantai 2 yang mirip estalase berjejeran, tampak para wanita dengan pakaian sangat minim tersenyum manis dari balik kaca estalase. Dan yang tersenyum itu, bukan boneka seperti yang banyak kita tengok di butik-butik di negeri kita, melainkan wanita yang sedang memperagakan kemolekannya. Bagi yang mau menengok boleh saja, tapi jangan coba-coba melakukan gerak gerik yang bisa dianggap melecehkan, karena mereka itu resmi diizinkan oleh hukum yang berlaku disana.
Sementara perahu bermotor terus melaju dan dari jauh tampak bendera warna merah dan hijau yang berbaur jadi satu, adalah bendera dari komunitas gay. Disini,walaupun agama melarang, tapi mereka boleh menikah secara resmi menurut hukum yang berlaku disini. Jadi pria boleh menikah dengan pria dan wanita boleh menikah dengan sesama wanita.
Pemerintah Amsterdam Menangguk Euro di Kanal
Hampir setiap menit, kami berpapasan dengan perahu motor lainnya, yang rata-rata sarat dengan penumpang. Disepanjang tepi kanal, tampak bangunan kuno, yang sudah termasuk heritage building, dijaga kelestariannya. Kapten yang merangkap sebagai Pemandu Wisata, sangat piawai dalam menceritakan nama-nama gedung dan sejarahnya secara singkat. Penjelasan diberikan dalam bahasa Belanda dan Bahasa Inggeris.
Saking asyik mendengarkan penjelasan dan menikmati pemandangan di sekitarnya, para wisatawan, sama sekali tidak memperhatikan tentang air kanal yang warnanya kusam dan tidak dapat dikatakan bersih.
Café Sudah Menunggu
Setelah puas mengelilingi Kanal Amsterdam ini, maka begitu perahu motor kembali kedermaga, di sekitar sana ada Café Café, di mana kita bisa duduk, sambil menikmati aneka ragam minuman. Dari secangkir kopi, minuman ringan, hingga birdan makanan kecil.
Sebagai warga DKI, pikiran saya sempat melayang ke Jakarta, yang belakangan ini heboh tentang kali yang airnya hitam. Seandainya, bisa dikemas sebagai wisata air, mungkin bisa menjadi salah satu destinasi wisata air bagi para pengunjung Jakarta. Tapi mungkin pikiran ini, merupakan impian yang terlalu muluk bagi Jakarta?
Tjiptadinata Effendi
Trailer Wisata Di Kanal Amsterdam